Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi hari disambut Ciara dengan suka cita. Dirinya kini resmi memakai seragam SD merah putih. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah libur panjang.

"Oma, Cia udah besar sekarang."

Ciara memamerkan seragam barunya lengkap dengan kerudung. Gadis kecil itu akan bersekolah di salah satu SD Islam terbaik di Kota Malang.

"Masa, sih? Tapi, masih tidur bertiga gitu," ejek Bu Sasti yang sedang memberesakn meja yang baru dipakai untuk sarapan.

Ciara mencebik manja. Ia gagal tidur sendiri. Dua malam ini, dirinya tidur bertiga di kamar Elang.

"Cia takut mimpi buruk lagi, Oma."

Bu Sasti tertawa menanggapi keluhan cucunya. "Iya, iya. Yang pintar nanti sekolahnya, ya."

Ciara manggut-manggut. "Kan, ditungguin Mama."

"Cia, ini tasnya." Rara muncul dari kamar Ciara. Mereka sudah siap berangkat. Tinggal menunggu Elang yang masih berganti pakaian.

"Papa lama amat, Ma. Nanti Cia terlambat gimana?" Ciara menyilangkan kedua tangan di depan dada. Bibirnya tampak maju sedikit. Sementara itu, kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri.

Rara tertawa melihat tingkah Ciara. "Udah kayak orang gede aja gayamu, Ci."

"Cia kesel," ujar Ciara sembari melirik ke samping dengan sikap tubuh yang sama seperti tadi.

"Yaa Allah, gemesin banget anak Mama ini." Rara memeluk Ciara dengan gemas. Mereka pun bersenda gurau.

Elang menatap pemandangan di hadapannya, antara istri dan anaknya dengan pikiran berkecamuk. Antara bersyukur Ciara mendapatkan ibu sambung yang tepat tetapi bimbang karena ucapannya pada Rara dahulu. Di satu sisi, Elang mampu merasakan ketulusan hati Rara yang menyayangi putrinya. Namun, ia juga tidak mau memaksakan pernikahan yang tidak dilandasi cinta itu tetap berlangsung.

"Loh, Papa kok, diam aja? Ayo berangkat. Nanti Cia telat, loh." Ciara menyadari lebih dulu kehadiaran papanya di ruang tengah.

Rara yang berhadapan dengan Ciara, menoleh ke belakang. Ia lalu beranjak dari duduknya. Mereka bertiga pun berpamitan kepada Bu Sasti. Kini perempuan satu cucu itu tidak perlu repot mengantar cucu kesayangan. Sudah ada menantu yang menggantikannya.

"Mama di depan sama Papa." Ciara menghalau Rara yang akan masuk ke pintu belakang.

"Iya di depan saja. Kalau di belakang semua, papa jadi supir, dong," sahut Elang.

Rara tersenyum manis. Ia lalu mengikuti perintah. Dirinya pun duduk bersampingan dengan Elang.

Perjalanan menuju sekolah tidak lama. Hanya sepuluh menit saja sudah sampai.

"Nanti pulangnya sama Mama, ya." Elang memutar tubuh menghadap belakang seraya mengulurkan tangan ke Ciara.

"Iya, Pa." Ciara menyambut tangan Elang lalu mengecupnya.

"Kiss papa dulu," pinta Elang seraya menunjuk pipinya.

Ciara mengecup kedua pipi dan kening Elang, begitu pun sebaliknya.

"Udah, Pa. Dada, Papa." Ciara yang masih duduk di kursi belakang melambaikan tangannya. Elang pun melakukan hal yang sama.

"Saya turun dulu, Pak. Eh, Mas," pamit Rara yang kembali salah tingkah. Saat hendak membuka pintu, Ciara berteriak.

"Papa!"

Elang melonjak kaget. "Apa, sih, Cia? Bikin kaget aja."

"Cium Mama juga. Mama salim ke Papa juga."

Rara tercengang mendengar permintaan Ciara. Ia hanya membeku sembari menatap Elang dengan perasaan sungkan.

Elang yang tahu karakter anaknya, menganggukkan kepala ke arah Rara. Bisa-bisa Ciara akan mengamuk jika permintaannya tidak dituruti. Ia lalu mengulurkan tangannya ke perempuan yang mengenakan gamis polos berwarna abu-abu tersebut.

Rara dengan gugup meraih tangan Elang, lalu mengecupnya dengan takzim. Saat akan menjauhkan kepala, ia terkejut karena merasa kepalnya di pegang. Tiba-tiba saja, Rara merasakan bibir Elang menyentuh dahinya. Sontak saja wajahnya memanas. Ia juga merasakan tubuhnya lemas. Kecupan pertama yang baru dirasakan seumur hidupnya, dan dari suami yang dicintai tentunya.

"Udah," kata Elang pada Ciara.

"Oke, Papa. Mama, ayo turun."

Rara masih bergeming dengan detak jantung yang ritmenya meningkat.

"Mama! Ayo."

Ciara membuyarkan lamunan Rara. Perempuan dengn kerudung segitiga motif bunga itu pun bergegas turun.

Elang melambaikan tangan ke Ciara. Ia lalu tertawa kecil melihat respon istrinya.

"Polos banget kamu Rachita."

***

Peristiwa kecupan pertama dari Elang di depan Ciara semakin membuat Rara kerap salah tingkah jika bertemu Elang. Mereka pun masih berkomunikasi seperlunya saja. Tidak ada senda gurau selayaknya pasangan suami istri. Pun saat mereka harus berada di kamar dalam waktu yang sama. Rara biasanya memilih untuk keluar. Sama seperti pagi ini ketika Rara tengah memberesakan kamar, Elang masuk dengan rambut basah dan tubuh yang hanya memakai celana bokser saja. Perempuan dengan daster lengan pendek dan panjang di bawah lutut itu menghentikan aktivitasnya, lalu beranjak keluar tanpa bersuara.

Elang menggosok rambut dengan handuk sembari menuju meja kerja. Ia belum sempat merapikan tas yang akan dibawa berangkat ke kampus. Matanya mengernyit mendapati meja yang sudah rapi. Ia lalu mengecek tas, tidak ditemukannya buku catatan pribadi miliknya.

"Ck, harusnya nggak perlu rapihin mejaku. Gini jadi susah kalau ada yang hilang," ungkap Elang sembari mencari buku kecil agak tebal di tumpukan buku. Beruntung, dirinya menemukan benda itu di antara tumpukan tersebut.

Elang kemudian menuju lemari. Ia meraih singlet berwarna putih, kemudian memakainya. Setelah itu, tangan laki-laki itu sibuk memilah kemeja yang tertata rapi di rak paling atas.

"Mana, nih?"

Elang masih terus mencari kemeja berwarna putih lengan panjang miliknya. Ia lalu melirik jam dinding. Setengah jam lagi, sekolah Ciara dimulai. Butuh perjalanan sepuluh menit menuju kampus. Ia pun bergegas keluar kamar.

"Bu, tahu kemeja warna putihku?" tanya Elang pada Bu Sasti yang baru keluar dari kamar mandi.

"Loh, kok tanya ibu?"

"Iya, iya." Elang paham makna pertanyaan balik dari Bu Sasti. "Rara di mana?"

"Kayaknya di kamar Cia."

Elang bergegas menuju kamar putrinya. "Miss."

Ciara yang sedang dibantu memakai seragam oleh Rara sontak menoleh. Begitu juga dengan Rara. Tatapan putrinya membuat Elang menyadari sesuatu.

"Dik ... Dik. Dik Rara lihat kemeja putihku?" Tangan Elang menggenggam pegangan pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro