Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjelang ashar, Dea dan Vanya pamit kembali ke hotel. Awalnya, mereka hanya akan sampai siang saja di rumah Rara. Namun, Ciara menahan mereka untuk tidak pulang dahulu. Gadis kecil itu rupanya sangat menyukai Vanya. Ciara kerap terlihat gemas sendiri saat mengajat Vanya bermain.

"Besok main ke sini lagi kan, Tante?" Ciara menarik lengan baju Dea yang tengah berbicara dengan Rara.

Dea menoleh ke bawah. "Besok udah pulang ke Rembang, Cia."

"Nggak ke sini lagi?" Raut wajah Ciara sudah berubah sedih.

Rara menyadari perubahan ekspresi tersebut. Ia lalu jongkok di samping Ciara. "Kapan-kapan kita main ke rumah Vanya, ya."

"Bener, Ma?" Binar bahagia menghiasi wajah Ciara begitu sang ibu menganggukkan kepala. Ia pun bersorak senang. "Asik, asik, bisa main lagi sama Vanya."

Dea menatap Ciara dengan perasaan terharu. Ia lega melihat sahabatnya memiliki putri sambung yang sangat manis, bukan seperti cerita banyak orang tentang hubungan jelek antara ibu dan anak tiri.

"Dia beneran sayang banget sama kamu, Ra," bisik Dea.

"Banget. Kamu tahu kan, dia alasan utama aku nerima pernikahan ini."

Dea mengiyakan. Ia juga paham jika sahabatnya itu juga mencintai ayah dari Ciara. Dirinya hanya tidak tahu jika Elang belum menyentuh Rara sama sekali.

"Eh, itu taksi online-nya sudah datang. Aku balik dulu ya, Ra." Dea mengecup pipi Rara. Ia lalu membungkukkan punggung di hadapan Ciara. "Terima kasih Kakak Cia, Adik Vanya senang sekali bertemu Kakak."

Ciara manggut-manggut. Ia tidak sedih lagi ditinggal Vanya. Ibunya berjanji akan membawanya berkunjung ke rumah bayi lucu itu suatu hari nanti.

"Sampai jumpa Adik Vanya!" seru Ciara saat Dea sudah di dalam mobil. "Tunggu, Kakak, ya!"

Mobil pun berlalu. Ciara segera masuk ke rumah. Ia berjalan dengan sangat riang. Rara yang memperhatikan dari belakang, takjub melihat suasana hati putrinya tersebut. Selain saat pernikahan dirinya dan Elang, momen ini dirasanya juga membuat bahagia Ciara.

Elang yang sedang bersantai di ruang tengah sampai heran dengan tingkah anaknya. "Cia kenapa?"

"Apa, Pa? Siapa yang kenapa?" Ciara balik bertanya. Ia sudah duduk di karpet di samping sang ayah.

"Cia, Cia kenapa?"

"Papa salah," ucap Ciara tiba-tiba. Kedua tangannya berkacak pinggang.

Elang dan Rara sontak mengernyit. Laki-laki yang tengah bersantai dengan ponsel itu menoleh ke arah istrinya. Dengan kening berkerut, Elang bertanya kepada Rara maksud dari ucapan Ciara. Rara hanya tersenyum sembari menggeleng. Ia juga tidak paham apa maksud gadis kecil itu.

"Papa kan, tanya, Cia. Kok bisa salah?" tanya Rara.

"Papa salah manggilnya, Ma," jawab Ciara sembari memainkan lego miliknya.

"Cia, kan? Papa cuma tanya Cia kenapa? Gitu aja tadi," sahut Elang yang semakin bingung.

Ciara menghentikan aktivitasnya. Ia lalu duduk di sofa, mendekat ke sebelah Elang. "Sekarang jangan panggil Cia aja."

"Terus?" tanya Rara penasaran. Elang pun turut menanti lanjutan ucapan Ciara.

"Panggil Ciara dengan sebutan kakak. Oke? Kakak Cia." Ciara berkata dengan sikap yang centil. Hal itu tidak membuat ayah dan ibunya tergelak. Mereka malah tercengang dengan sebutan yang diinginkan Ciara.

"Cia, ayo ke kamar sama mama, yuk." Rara segera mengalihkan perbincangan. Pembahasan yang dimulai Ciara cukup sensitive bagi dua orang dewasa tersebut.

"Ish, Mama. Kakak, Kakak, bukan Cia doang," protes Ciara sembari mengentakkan kaki kecilnya.

"I—iya, Kakak Cia. Ayo main di kamar." Rara segera beranjak dari posisinya. Sebelum berlalu, ia berkata pada Elang. "Maaf, Pak. Saya akan kasih pengertian ke Ciara."

Elang hanya terdiam. Ia benar-benar tidak menduga jika putrinya menginginkan dipanggil kakak. Secara tidak langsung, Ciara mengharapkan seoarang adik. Hal yang sangat sulit diwujudkan.

***

Panggilan kakak sudah Ciara sampaikan ke Bu Sasti. Ia juga meminta omanya memanggil sesuai keinginannya itu. Saat sedang makan malam, mereka berdua kembali membahasnya.

"Cia, eh Kakak Cia ini sudah siap punya adik, kan?" cetus Bu Sasti sembari menoleh ke cucunya.

Rara yang sedang menyeruput kuah pedas sampai tersedak. Ia pun terbatuk-batuk.

"Ini minum dulu." Elang menyerahkan segelas air putih ke depan Rara yang duduk di sampingnya.

Rara segera meraih gelas tersebut, lalu meminumnya. Kini, tenggorokan yang panas sudah mulai mereda.

"Mama lupa nggak baca doa sebelum makan, ya?" tanya Ciara.

Rara hanya tersenyum sembari memperlihatkan deretan gigi. Bukan masalah itu, dirinya tersedak karena mertuanya sendiri yang membicaran adik untuk Ciara. Rara tidak menduga jika Bu Sasti pun sepemikiran dengan Ciara. Tentu saja bermaksud memintanya untuk segera hamil. Artinya, harus ada hubungan dan komunikasi yang lebih antara dirinya dan sang suami. Kenyataannya, Elang malah berkeinginan memulangkan dirinya ke orang tuanya setelah satu tahun pernikahan.

"Memangnya Cia udah siap punya adik?" tanya Elang mencoba mencari tahu.

"Kakak, Papa. Kakak Cia nggak mau jawab kalau manggilnya cuma Cia aja."

"Iya, iya, Kakak Cia. Kenapa harus dipanggil kakak?"

"Karena Kakak Cia mau punya adik. Kakak Cia udah masuk SD. Udah besar kayak Kak Shanum. Dia udah punya adik dua malah. Masa Kakak Cia satu aja nggak punya," ungkap Ciara dengan wajah manyun. Ia sekarang benar-benar menginginkan seorang adik bayi.

Elang membeku mendengar penjelasan yang cukup panjang dari putrinya. Gadis kecilnya itu benar-benar sudah tumbuh besar sekarang.

"Kapan dikasih adiknya, Ma? Besok, ya?"

"Hah? Emm ...." Rara kesulitan menjawab pertanyaan Ciara. Ia lalu menoleh ke samping. Namun, Elang masih terdiam.

Bu Sasti menyadari obrolan tentang adik cukup membuat suasana makan malam menjadi canggung. "Udah, sekarang Kakak Cia makannya dihabiskan dulu. Nanti dilanjut lagi ngomongin masalah adiknya, ya."

Ciara mengangguk dengan mantap. Ia segera melahap makanannya. Sementara itu, kedua orang tuanya yang duduk di seberang tengah berkecamuk pikirannya. Mereka bingung menanggapi permintaan Ciara. Tidak mudah untuk sekadar menolak saja. Putri kesayangan Elang itu terlalu dimanjakan sedari kecil hingga semua keinginan harus dituruti.

***

Selepas salat Isya, semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah. Mereka tengah menemani Ciara menonton film kartun. Ciara memang tidak dipegangi ponsel sendiri. Elang tidak mau putrinya kecanduan gadget.

"Kakak ngantuk, Ma." Ciara bersandar di lengan Rara.

"Ya udah, ayo tidur."

Ciara tidak menanggapi. Ia hanya diam saja. Hal itu membuat semua orang bingung.

"Ke kamar aja, Ci—eh, Kakak Cia," titah Elang.

Ciara masih tidak berekspresi. Hal itu membuat Rara cemas.

"Ada yang sakit?"

Ciara menggelengkan kepala. "Kakak, em ... Kakak udah nggak bisa tidur bertiga lagi sama Papa dan Mama. Kakak harus tidur di kamar sendiri mulai sekarang."

Elang dan Rara terkejut mendapati pengakuan Ciara. Gadis kecil itu memilih untuk tidur sendiri setelah berhari-hari tidur bertiga. Elang melirik ke arah ibunya. Bu Sasti pura-pura tidak mengetahui tatapan tersebut. Beliau memang sudah memberi pengertian kepada cucunya selepas makan malam tadi, hanya empat mata. Jika ingin cepat punya adik harus tidur sendiri.

Rara menatap Elang. Namun, di satu sisi dirinya juga harus memiliki ketegasan bersikap. Rara tidak ingin membohongi hatinya. Ia juga menginginkan darah daging Elang lahir dari rahimnya.

"Mama temani di kamar sampai Kakak tidur, ya." Ucapan Rara tersebut membuat Elang terkejut.

"Asik, makasih, Mama."

Rara segera mengantar Ciara ke kamarnya. Di ruang tengah hanya tinggal Bu Sasti dan Elang.

"Nggak ada yang salah dengan permintaan Ciara," ujar Bu Sasti membuka percakapan. "Yang salah itu kalau orang tuanya egois."

Elang menghela napas panjang. Ia paham masuk Bu Sasti. "Bu ...."

"Udah enam tahun lebih setelah pengkhianatan itu, Lang. Rara bukanlah wanita seperti Valia. Dia nggak akan melakukan hal rendah seperti yang dilakukan mantan istrimu itu."

Elang terus menatap layar televisi. Namun, telinganya mendengarkan ucapan Bu Sasti dengan saksama.

"Ibu selalu tekankan ke kamu jika Rara itu anugerah. Mana ada zaman sekarang perempuan yang menikahi duda tapi mampu manyayangi anak tirinya sepenuh hati. Sangat jarang, Lang. Rara itu pilihan ibu dan Ciara."

"Tapi, Bu ...."

"Masalah cinta? Nggak kapok sama masa lalu? Kamu nggak ingat apa gimana gilanya kamu jatuh cinta sama mantanmu itu tapi akhirnya disakiti."

"Ibu jangan bawa-bawa masa itu lagi."

"Nggak bisa, kamu belum juga bisa ambil hikmahnya. Kadang itu ibu geregetan sama kamu, Lang. Kadang ibu juga kasihan sama Rara. Satu perempuan saja yang nyakitin kamu dan membuat hatimu tertutup, Lang. Ibu paham, tapi jangan malah nyakitin perempuan lain yang ingin membuka hatimu."

Elang menatap ibunya begitu kalimat tentang Rara terucap. Ia merasa Bu Sasti menyadari sikap dinginnya pada sang istri.

"Witing trisno jalaran soko kulino. Nanti juga tumbuh sendiri. Nggak usah khawatir. Hati manusia itu gampang dibolak-balik."

Elang menarik napas panjang. "Aku ke kamar dulu, Bu. Udah ngantuk." Ia pun beranjak dari duduknya.

Bu Sasti berdecak kesal. "Dasar keras kepala. Udah punya anak masih aja susah dibilangin."

Setelah Elang masuk kamar, sepuluh menit kemudia Rara masuk. Sebelumnya, perempuan yang sudah berganti pakaian tidur tersebut bingung bagaimana harus bersikap di dalam kamar. Namun, ia akhirnya menguatkan tekad untuk bersikap santai di hadapan Elang.

"Cia udah tidur?"

"Sudah. Langsung terlelap tadi. Sepertinya ngantuk berat." Rara lalu menutup pintu.

"Oh, syukurlah. Pintunya nggak perlu ditutup siapa tahu Ciara kebangun lagi."

Rara mengangguk dan kembali membuka pintu. Ia lalu menuju ranjang. Mereka pun berbaring dengan posisi telentang. Tatapan keduanya lurus ke depan. Suasana pun terasa canggung.

"Saya belum siap mengabulkan permintaan Ciara." Tiba-tiba Elang bersuara. Ia lalu menoleh ke samping.

Rara terkesiap. Ia mencoba mengulas senyuman, kemudian menoleh ke samping. Ia kembali tergemap saat kedua matanya bersirobok dengan tatapan Elang.

"Pak Elang tidak akan pernah siap. Tenang saja, Pak. Saya akan berusaha mengalihkan pikiran Ciara tentang adik," jelas Rara dengan tegas. Ia kembali tersenyum. Tidak lama kemudian, Rara mengubah posisi. "Maaf, saya izin tidur dahulu."

Elang membeliak kaget. Ia tidak bermaksud seperti yang diutarakan Rara. Setelah berbincang dengan Bu Sasti, pikirannya mulai terbuka. Dirinya saat ini hanya belum siap. Tentu nanti bisa saja berubah. Elang pun mulai kebingungan sendiri dengan tanggapan Rara.

Sementara itu, Rara yang berbaring menghadap dinding membiarkan air mata membasahi pipinya. Ia masih sakit hati dengan ucapan Elang yang tidak siap memberi Ciara adik. Itu sama saja dengan ucapan Elang yang lalu akan pelan-pelan terwujud.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro