Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rara menyambut pagi dengan hati yang remuk. Ia menyerah untuk terus memperjuangkan cinta dan pernikahannya. Semalam adalah pengalaman pertama satu ranjang dengan suaminya. Namun, menjelang tidur Elang mengatakan kalimat yang bagi Rara sangat menyakitkan.

Rara menoleh ke samping. Ia kaget mendapati sosok Elang sudah tidak ada di atas kasur. Biasanya saat dirinya akan bangun untuk mendirikan salat Subuh, laki-laki yang sudah menjadi dosen tetap di salah satu universitas negeri itu masih terlelap. Rara juga baru menyadari jika semalam, Ciara tidak datang ke kamar. Ia pun bergegas menuju kamar sebelah.

Pintu kamar Ciara terbuka sedikit. Rara masuk dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara. Gadis kecil berambut lurus di bawah bahu itu masih tampak pulas.

"Pak Elang ke mana?" gumam Rara sembari keluar dari kamar.

Rara lalu menduga jika suaminya ke kamar mandi. Ia lalu melangkahkan kaki ke sana. Pintu tertutup. Rara mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada jawaban. Ia pun membukanya dan masuk untuk mengambil air wudhu. Setelah itu segera kembali ke kamar untuk mendirikan salat.

Saat selesai salam terakhir, Rara mendengar pintu pagar dibuka. Biasanya mertuanya jam-jam ini baru turun dari masjid untuk salat Subuh berjamaah. Namun, ia dibuat tercengang karena terdengar suara dua orang. Itu Bu Sasti dan Elang!

Rara mengintip dari jendela kamar yang masih tertutup tirai. Posisi jendela langsung menghadap garasi. Benar saja, suaminya sedang bersama Bu Sasti. Yang lebih membuat Rara tercengang, Elang tengah memakai sarung, baju koko, lengkap dengan peci hitam.

"Pak Elang solat di masjid?"

Rara membeliak lebar sembari menutup bibirnya. Ada keharuan yang menyeruak. Rasa syukur yang turut membuncah melihat perubahan baik suaminya. Namun, mendadak hatinya nyeri mengingat ucapan Elang yang tidak mengharapkan pernikahan ini. Rara segera melipat mukenanya. Ia harus bergegas menyiapkan sarapan bersama sang mertua sebelum menyiapkan Ciara untuk sekolah.

Sapaan salam terdengar begitu Rara keluar dari kamar. Muncul Bu Sasti dan Elang dari arah ruang tamu.

"Wa-waalaikumsalam."

Rara tergemap melihat penampilan Elang yang pesonanya terpancar dengan pakaian seperti itu. Apalagi senyum manis menghiasi wajah dengan rahang tegas tersebut. Ia sampai tidak fokus jika Bu Sasti tengah mengajaknya berbicara.

"Ra, Rara." Panggil Bu Sasti.

"Oh, iya, Bu." Rara tersadar. "Kenapa, Bu?"

"Enaknya masak apa pagi ini, ya?" Bu Sasti selalu meminta pendapat menantunya untuk menu yang akan dimasak. Beliau seringnya kehabisan ide.

"Cia kemarin pesan ayam kecap, Bu. Saya belikan dulu ayamnya di depan."

"Lagi libur Pak Mlijo. Kemarin udah bilang. Kayaknya harus ke pasar, Ra."

"Iya, Bu. Saya ambil kerudung dulu." Rara kembali ke kamar. Di sana sudah ada Elang yang duduk di atas kasur sembari memegang ponsel.

"Cia nggak kebangun ya semalam?" tanya Elang.

"Sepertinya enggak, Pak. Masih nyenyak juga sekarang."

"Alhamdulillah. Baru kali ini dia tidur sendiri. Saya sebenarnya nggak tega, Dik. Dari kecil tidurnya kalau nggak sama saya, ya sama Ibu."

Mata Rara membulat saat mendengar Elang memanggilnya dengan sebutan 'Dik.' Untung saja dirinya sedang berdiri di depan lemari. Elang tidak melihat raut keterkejutannya.

"I—ya, Pak. Cia udah besar sekarang," ucap Rara seraya mengenakan kerudung.

"Mau ke mana pagi-pagi?" tanya Elang.

"Ke pasar beli ayam. Saya pinjam motornya ya, Pak."

Elang tidak menjawab, tetapi malah bangkit dari duduknya. "Saya antar saja."

Rara kembali membeliak lebar. Ia lalu mengerjap untuk memastikan bahwa pendengarannya masih normal. "Diantar, Pak?"

Elang manggut-manggut. Ia lalu meraih jaket yang digantung di pintu. "Ayo, Dik."

Rara manggut-manggut. Helaan napasnya panjang untuk meredakan debar di dada yang semakin bertalu.

Maksudnya apa, sih, Pak Elang ini?

Rara menggelengkan kepalanya karena bingung dengan apa yang terjadi. Perubahan Elang dari bangun tidur terasa sangat mengejutkan bagi Rara.

"Papa sama Mama mau ke mana?" tanya Ciara yang sudah duduk di sofa ruang tengah.

"Wah, anak papa udah bangun." Elang menghampiri Ciara, kemudian berjongkok di depan gadis kecil yang rambutnya masih acak-acakan tersebut. Ia lalu mengecup kening sang anak. "Pintar ya, udah berani tidur sendiri."

"Kan, mau punya adik. Udah jadi Kakak Cia. Papa lupa, ya?" Ciara mencebik manja. Ia kesal jika orang-orang di sekitarnya, terutama sang ayah menganggap lalu keinginan tulusnya itu.

"Enggak, Sayang." Elang mengusap kepala Ciara.

Sementara itu, Rara yang berdiri di belakangnya menghela napas pendek. Perempuan yang mengenakan jaket muslimah berwarna Fanta itu mendesah pelan. Tentu sulit untuk memberitahu Ciara bahwa tidak akan ada adik bayi di keluarga mereka.

"Papa mau ke mana?" Ciara menegakkan punggungnya.

"Mau antar Mama ke pasar."

"Ikut! Kakak mau ikut!" Ciara mulai merengek.

"Pakai jaket dulu." Rara melambaikan tangan ke arah Ciara.

Gadis itu pun menurut. Ia segera masuk ke kamar menyusul Rara untuk memakai jaket.

"Mau ke mana, Lang?" Bu Sasti muncul dari kamar.

"Nganter Rara ke pasar, Bu. Cia mau ikut juga."

Bu Sasti tersenyum penuh arti. Akhirnya, Elang mau juga berinteraksi baik dengan Rara. Anak, menantu dan cucu beliau pun bersiap berangkat.

"Oma, Kakak Cia ikut Mama sama Papa dulu, ya. Dadah Oma, Asalammualaikum." Ciara melambaikan tangan ke arah Bu Sasti.

"Waalaikumsalam." Bu Sasti ikut melambaikan tangan. Hati beliau menghangat melihat keluaga kecil itu naik motor. "Alhamdulillah."

***

Mereka pun sampai di pasar yang terletak tidak jauh dari rumah. Elang memarkir motor. Ia lalu menyusul Rara dan Ciara yang sudah berjalan lebih dahulu. Istrinya itu sedang berhenti di depan penjual buah mangga yang ada di depan gerbang pasar. Rara sedang mengamati tumpukan Mangga Harum Manis dan Manalagi.

Rara terkejut mendapati Elang sudah berada di sampingnya. Keningnya mengernyit menebak tujuan suaminya ikut masuk ke pasar.

"Nggak nunggu di motor saja, Pak?"

Elang menggelengkan kepala. "Pingin lihat-lihat juga."

Mereka bertiga pun mulai melangkah masuk ke pasar. Namun, baru berapa langkah, Ciara yang berjalan dengan menggandeng tangan Rara, berhenti.

"Ish, lantainya kotor. Basah di mana-mana." Ciara mulai mengeluh. "Papa, gendong kakak." Ia pun mengulurkan tangan ke arah sang ayah.

"Hemm katanya udah jadi kakak." Rara menggoda Ciara yang yang sudah dalam gendongan Elang. "Jalan aja sama mama."

"Nanti kakiku kotor, Ma. Enak belanja yang pakai kereta didorong itu."

Rara tertawa mennaggapi ocehan Ciara yang lebih suka di supermarket. Ia sampai tidak menyadari jika di belakangnya sedang ada seorang bapak yang sedang memanggul dua karung besar berisi kubis.

"Awas! Minggir!" seru Bapak tersebut.

Elang dengan cepat meraih bahu Rara, lalu mendekapanya. Tubuh mereka pun kini tak berjarak. Rara membeku menyadari sikap Elang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro