Empat Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Di pasar nggak boleh lengah."

Tangan Elang masih mencengkeram lengan Rara. Ia tadi reflek meraih istrinya. Pasar yang mereka datangi saat ini memang selalu ramai selepas subuh.

"Maaf, Pak," ucap Rara sembari menunduk. Ia segera menjauhkan tubuhnya.

"Enggak apa-apa, Dik. Tadi kamu hampir aja ditabrak bapaknya." Elang benar, Bapak tersebut buru-buru dalam berjalan. Jalanan yang ada hanya muat dua orang.

"Terima kasih, Pak."

Rara segera menuju tempat penjual ayam potong. Ia terus berdecak lirih karena tersipu dan salah tingkah. Rara pun tidak menyadari jika Ciara tengah membicarakannya bersama Elang.

"Mama kenapa, Pa?" tanya Ciara yang memperhatikan Rara sedari saat hampir tertabrak tadi.

"Kenapa memangnya?" Elang memperbaiki posisi tangan yang menggendong Ciara. "Ugh, Cia udah gede. Berat ini, papa nggak kuat."

"Kakak Cia, Pa. Itu kenapa pipi Mama jadi merah semua gitu?" Ciara masih heran dnegan air muka Rara saat ini. Wajah bersih itu memang berubah seperti udang rebus, memerah.

Elang yang tidak menyadarinya langsung menoleh ke arah istrinya yang baru berbalik menuju tempat mereka. Ia terkesiap melihat wajah Rara.

"Dik, kamu sakit, ya?" tanya Elang begitu Rara sudah sampai di depannya.

"Hah? Enggak kok, Pak."

"Pak?" Ciara mengulai ucapan Rara saat menyebut ayahnya. Ekspresi matanya antara heran dan bingung. "Mama kok, balik manggil Papa jadi pak lagi, sih."

"Eh, maaf mama lupa, Sayang." Rara memperlihatkan deretan gigi putih dengan gingsul di taring kanan atas.

Elang hanya senyum-senyum. Ia paham betapa kritis putri kebanggannya itu. "Udah belanjanya?"

Rara mengangguk. "Cuma ayam aja."

"Nggak beli yang lainnya?" tanya Elang kembali.

"Nggak, Mas." Rara harus mengingat panggilan tersebut jika tidak berdua.

"Ya udah, kalau gitu langsung pulang. Kakak beneran berat, nih. Turun, ya." Elang mulai membujuk Ciara.

Rara mendesah pelan mendengar Elang memanggil Ciara dengan sebutan kakak. Ia berharap Elang membantunya mengalihkan perhatian gadis kecil itu untuk permintaan yang sulit diwujudkan tersebut.

"Nggak mau ... masih kotor lantainya, Papa." Ciara merengek dengan manja.

"Lah, katanya mau punya adik. Nggak jadi panggil kakak, ya." Elang terus menggoda Ciara. Putrinya pun semakin bergelayut manja padanya.

Rara kembali tersentak. Ia bahkan sampai mengernyitkan kening.

Adik dari Hongkong? Nggak mau ngasih juga.

"Dik, duluan ke parkir sama Ciara, ya," cetus Elang yang sudah menurunkan Ciara dari gendongannya. Hal itu sontak mengejutkan Rara yang tengah berbicara dalam hati. Perempuan dengan tubuh sedikit kurus itu pun mengangguk cepat.

Rara dan Ciara menunggu di parkiran. Mereka sudah berdiri di samping motor selama lebih dari lima menit.

"Aduh, kakak kebelet pipis, Ma." Ciara menggerak-gerakkan kakinya.

"Tadi bangun tidur nggak langsung pipis?"

Ciara menggelengkan kepala. "Papa ngapain, sih?"

"Nggak tau juga." Rara mengedarkan pandang ke arah depan. Ia tidak bisa menghubungi Elang karena dua-duanya tidak membawa ponsel. "Tahan dulu, ya, Cia."

"Kakak, Mama." Ciara mencebik kesal.

"Iya, iya, Kakak." Rara mendesah pasrah. Ia tidak tega untuk menghancurkan impian tulus putri sambungnya tersebut.

"Harus dapat adik bayi secepatnya biar nggak salah panggil lagi," ujar Ciara dengan polosnya.

"Hah?" Rara benar-benar tidak menyangka dengan pemikiran Ciara. Ia lalu tertawa.

Tidak lama kemudian, Elang datang dengan kantong plastik berwarna hitam di tangan kiri. Ia pun disambut dengan teriakan nyaring Ciara.

"Papa! Kakak kebelet pipis!"

"Waduh, ayo cepetan pulang. Jangan ngompol, ya." Elang menyerahkan kantung plastik tersebut ke Rara.

"Apa ini?"

"Mangga." Elang berucap dengan senyuman.

Rara terkesiap mendapati pemberian Elang. Buah yang sempat ingin dibelinya saat baru tiba tadi.

"Terima kasih, Mas."

Elang menganggukkan kepala. Setelah semua naik ke motor, ia segera menyalakan mesin. Motor pun melaju dengan cepat ke rumah.

Begitu sampai dan motor berhenti di garasi, Ciara langsung berlari ke dalam rumah.

"Oma ...! Kebelet pipis!"

Rara sepanjang perjalanan tadi memikirkan tentang mangga yang ada di tangannya. Ia mencoba menepis kemungkinan bahwa Elang tahu keinginannya saat tiba di pasar tadi.

"Pak, nanti mau dibawakan bekal mangga potong?"

"Saya? Bekal ke kampus?" Elang berpikir sejenak. Sepanjang menikah hingga menjadi duda, dirinya tidak pernah sekalipun membawa bekal dari rumah ke kampus. "Nggak usah."

"Oh, iya, Pak."

Rara segera menuju ke dapur. Ia tidak ikut memasak. Dirinya hanya perlu menyiapkan Ciara. Jam setengah tujuh pagi tinggal lima puluh menit lagi. Ia pun bergegas menyiapkan air panas untuk sang anak.

Hanya dua puluh menit saja untuk membuat Ciara sudah cantik dan rapi dalam balutan seragam sekolah. Kini tinggal dirinya yang bebersih diri untuk mengantar dan menunggui Ciara. Jadwal sekolah masih belum normal, hanya sampai jam sepuluh pagi saja. Rara memilih untuk menunggu di sekolah.

Masih ada sepuluh menit menjelang jam berangkat setelah sarapan. Rara bergegas memotong mangga yang dibelikan Elang. Ia berniat membawanya untuk camilan selama di sekolah.

Elang yang membawa piringnya ke dapur, memperhatikan aktivitas Rara. Ia penasaran dengan rasa buah yang dibelinya tersebut.

"Manis, nggak?"

"Manis banget, Pak." Rara menoleh sekilas ke Elang, lalu kembali memotong mangga yang besarnya setelapa tangannya.

"Nyicip coba, Dik."

"Ini silakan, Pak," ucap Rara tanpa melihat Elang.

Elang mengambil satu potong mangga, lalu memasukkannya ke mulut. "Hemm, manis banget. Pintar ya, saya milihnya."

Rara mengacungkan ibu jari. "Nggak ada asam-asamnya."

"Itu mau buat siapa mangganya?"

"Buat bekal di sekolah. Bapak mau makan sekarang?"

"Oh enggak. Kenyang banget sarapan," tukas Elang sembari berlalu dari dapur.

Rara tersenyum tipis. Ia kembali menyuap potongan mangga tersebut.

"Nggak bisa berhenti nyicipin ini," ucap Rara dengan bahagia.

***

Elang, Rara, dan Ciara sudah sampai di depan sekolah. Mereka masih berangkat bersama. Rara belum mendapat izin dari Elang untuk mengantar Ciara dengan motor. Laki-laki itu masih ingin membersamai putrinya saat pagi. Dibolehkan ketika Ciara sudah tidak ditunggui lagi, baru Rara boleh mengendarai motor.

Setelah salim ke ayahnya, Ciara bergegas turun. Kini giliran Rara yang berpamitan. Ia pun mengecup punggung tangan Elang. Berbeda dari sebelumnya yang dikecup kening, Elang tidak melakukannya saat ini. Rara paham, jika sikap tersebut memang diperuntukkan saat ada Ciara.

Rara membuka ransel kecilnya. Ia lalu meletakkan kotak makanan berukuran kecil di kursi depan semetara dirinya sudah berdiri di samping.

"Itu apa?" tanya Elang heran.

"Mangga, Pak. Mungkin akan semakin manis saat dinikmati ketika jam makan siang." Rara menundukkan kepalanya, lalu menutup pintu. Ia bergegas melakukannya karena menghindari Elang menolak pemberiannya. Rara pun berlari kecil menyusul Ciara yang sudah berdiri di depan gerbang sekolah.

"Dik! Dik!" panggilan Elang tidak dihiraukan Rara.

Elang menatap kotak bekal dan pemberinya secara bergantian. Ia lalu menghela napas panjang sebelum menyalakan mesin mobil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro