Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terima kasih teman-teman yang setia menunggu up date cerita Ciara dan kedua orang tuanya
sehat selalu buat teman-teman pembaca 

Rara menunggu kepulangan Ciara dengan duduk di bangku panjang yang ada di taman depan. Wali murid hanya diperbolehkan berada di sana. Gerbang kedua steril hanya untuk warga sekolah. Saat sedang asik memindai postingan-postingan di beranda Instagram, ada yang menyapanya.

"Loh, Miss Rara?"

Rara mendongakkan wajah. Ia mengerutkan kening sebentar. Tak lama kemudian senyuman mengembang di bibirnya.

"Mama Raline?"

"Benar, Miss. Alhamdulillah masih ingat saya," ucap perempuan yang disebut Rara sebagai mama Raline.

"Tentu ingat, Ma. Raline sekolah di sini, Ma?"

"Iya, Miss. Eh, kok nggak di TK, Miss?"

Rara tersenyum manis. "Saya sudah resign, Ma."

"Wah, sayang sekali. Padahal Miss Rara ini idolanya anak-anak, loh. Kenapa, Miss? Apa pindah ngajar di SD sini?"

Rara tertawa ringan. "Alhamdulillah saya baru menikah, Ma. Jadi biar fokus ngurus keluarga."

Mama Raline manggut-manggut. "Terus, ngapain di sini, Miss?" Perempuan dengan pashmina kekinian berwarna salem itu masih terus mencari tahu.

"Putri saya sekolah di sini."

Mama Raline tercengang mendengar pengakuan Rara. Ia terdiam beberapa menit, mencoba mencerna ucapan guru anaknya saat masih TK tersebut.

"Bentar, bentar, Miss. Saya kok, kayak nge-blank, ya." Mama Raline meletakkan tangan kiri di pinggang sedangkan tangan kanannya di kening.

Rara tertawa melihat sosok di sampingnya itu. Ia paham kenapa mantan wali muridnya itu kebingungan dengan penjelasannya.

"Mama Raline ingat Ciara adik kelasnya Raline?"

"Ciara yang ditungguin omanya di sekolah itu, Miss?"

Rara mengangguk mantap. "Dia itu putri sambung saya, Ma."

Mulut Mama Raline terbuka, tetapi sedetik kemudian langsung ditutup. "Miss berarti nikah sama Elang?"

"Iya, Ma." Rara tersenyum canggung.

"Wah, saya bener-bener kaget. Tapi, selamat atas pernikahannya, Miss. Maaf, bener-bener nggak nyangka kalau ternyata Miss Rara yang menjadi ibu sambung Ciara. Sungguh beruntung anak itu memiliki ibu seperti Miss Rara."

"MasyaAllah, saya juga masih belajar jadi ibu yang baik, Ma."

Wajah Mama Raline berubah sendu. "Saya itu kalau lihat Ciara rasanya pingin nangis."

"Kenapa, Ma?"

"Masih bayi udah ditinggal ibunya. Kalau yang tahu certanya pasti bakal geregetan sama ibunya itu, Miss. Eh, maaf kok saya jadi banyak omong gini." Mama Raline menangkupkan kedua tangan. "Maaf, ya, Miss."

"Nggak apa-apa, Ma. Santai saja sama saya," ujar Rara dengan senyum hangat.

Cerita Mama Raline memang sepotong, tetapi Rara sudah paham maksudnya. Ia tahu kisah mantan istri suaminya itu yang berselingkuh saat Ciara masih berusia tiga bulan. Bu Sasti pernah menceritakannya saat Ciara baru masuk TK.

"Valia itu teman kuliah saya, Miss," lanjut Mama Raline.

Rara mengernyit penuh tanya. "Valia?"

"Ibunya Ciara. Aduh, maaf lagi, Miss. Kok saya kelepasan gini." Mama Raline memukul bibirnya berulang kali.

Rara mengulas senyum tipis. Ia akhirnya tahu nama mantan istri suaminya. Bu Sasti tidak pernah menyebutkan nama itu apalagi Elang. Laki-laki itu benar-benar trauma akan masa lalunya. Rara terkadang penasaran akan keberadaan Valia saat ini. Ada kekhawatiran yang muncul jika sosok itu hadir kembali di kehidupan Ciara dan tentu saja Elang.

"Berarti masih komunikasi kalau teman kuliah, Ma?" Rara memberanikan diri bertanya untuk membunuh rasa penasarannya.

Mama Raline menggerakkan tangannya dengan cepat. "Udah nggak, Miss. Teman-teman yang lain juga. Kayaknya Valia ganti nomor HP dan sosial media. Lagian, dia udah balik ke luar Jawa. Benar-benar nggak meninggalkan jejak di Malang."

Rara mendengarkan penjelasan mama Raline dengan saksama. Ada perasaan lega saat mendengar bahwa masa lalu suaminya sudah tak beredar lagi di dekat mereka.

"Padahal saya juga sering ngobrol sama oma Ciara pas di TK dulu, kok nggak kabar-kabar kalau mau mantu. Miss juga nih, nggak undang-undang," tutur mama Raline yang masih bersemangat mengobrol.

Rara yang sudah paham bagaimana lawan bicaranya, hanya senyum-senyum dan menjawab seperlunya. "Memang acaranya sederhana saja, Ma. Mohon doanya saja untuk pernikahan kami."

"Siap, Miss. Semoga menjadi keluraga yang sakina mawadah wa rahmah. Pokoknya nanti kalau udah lahiran kabari loh, Miss. Pasti walimurid angkatan kami bakal jenguk."

Rara terkejut mendengar permintaan mama Raline. Ia hanya menjawab dengan senyuman. Lagi-lagi tentang bayi. Rara menghela napas panjang, Ia hanya bisa berharap hati Elang bisa segera dimilikinya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Rara yakin hanya Allah SWT yang maha membolak-balikan hati, termasuk hati sedingin es milik Elang.

***

"Siang, Pak."

Kata-kata sapaan seperti itu terdengar, begitu Elang keluar dari kelas hingga masuk ke kantor jurusan. Banyak mahasiswa yang menyapanya. Elang segera meletakkan ransel hitam miliknya di meja kerja. Ia lalu mengempaskan tubuh di kursi dengan sandaran tersebut. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang.

"Bu Din, udah azan Zuhur?" tanya Elang pada rekan sejawat yang duduk di meja seberangnya.

"Udah, Pak. Setengah dua belas zuhurnya," jawab Dinar, teman Elang.

"Oke, terima kasih, Bu Din."

Elang hendak beranjak menuju mushala dekat kantor. Namun, saat akan melepas sepatu untuk berganti sandal yang tersimpan di bawah kursinya, matanya tertuju pada tas kertas berisi kotak bekal yang disiapkan Rara. Elang lalu meraih dan mengeluarkannya. Ia pun membuka kotak makan berwarna kuning dan hijau dari salah satu merk terkenal tersebut. Aroma legit mangga seketika menyapa indera penciumannya.

"Wihhh, Pak Elang sekarang bawa bekal." Suara Sakti, junior Elang terdengar dari samping. "Kayak anak sekolah aja, Pak."

Elang hanya tertawa kecil. Ia pun menutup kembali bekal tersebut. Saat akan memasukkan ke tas, Dinar menghentikan dengan ucapannya.

"Enak kan, punya istri lagi, Pak. Dibawain bekal dari rumah. Pak Sakti iri aja itu, Pak. Kan, masih jomlo." Dinar membela Elang.

"Bukan gitu, Bu. Di sini jarang lihat bapak-bapak dibawakan bekal sama istrinya," ujar Sakti membela diri.

Dinar memajukan bibir bawahnya bermaksud mengejek alasan Sakti. "Udah dimakan aja, Pak. Kasian istri Pak Elang kalau lihat bekalnya masih utuh."

"Belum lapar kok, Bu," ucap Elang singkat. "Nanti saya makannya."

"Isri bawain bekal itu jangan dikira hanya biar nggak kelaparan, Pak. Sebagai seorang istri, saya paham maknanya. Itu tanda rasa sayang dan cinta seorang istri untuk suaminya." Dinar terus berbicara tanpa diminta. Kalimat terakhir, sontak membuat Elang terkesiap.

Sakti langsung meraih kursi. Ia lalu duduk di samping Dinar. "Ayo lanjut kursus pernikahannya, Bu. Biar saya nanti paham menghadapi istri."

Dinar tergelak. "Calonnya udah ada apa masih ngumpet, Pak?"

Sakti mencebik bercanda. Sementara itu, Elang masih termenung. Ia benar-benar menggarisbawahi ucapan Dinar tentang rasa cinta istri untuk suami.

Rara mencintaiku?

"Menyiapkan bekal bagi istri itu bukan masalah sepele. Dia pasti dengan gembira menyiapkannya. Misal bawain makanan yang dia buat, itu biar suami selalu ingat rasa masakannya ketika di tempat kerja digempur makanan dari warung atau katering. Istri berharap dari hal tersebut, rasa cinta suami akan semakin bertambah. Intinya semakin menjaga keharmonisan rumah tangga. Kalaupun misalnya nggak enak, jangan bilang enak. Bahaya itu. Mending jujur apa adanya. Nanti istri bakal memperbaiki masakannya. Pokoknya jadi suami itu agak peka dikitlah."

"Gituloh, Pak." Ucapan Sakti mengangetkan Elang yang dengan serius menyimak penjelasan Dinar. "Emang dibawain apa, Pak? Lagi lapar ini saya."

Dinar dan Elang tergelak. Ayah satu anak itu segera beranjak dari duduknya. Ia lalu menyambar tas bekal tersebut.

"Maaf, Pak. Ini khusus buat saya," ujar Elang dengan senyum mengembang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro