Enam Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima kasih mangganya." Elang meletakkan kotak bekal di depan Rara yang sedang mengupas wortel di dapur.

Rara kaget mendengar suara dan melihat sosok Elang di hadapannya. Ia buru-buru berdiri dari duduk di kursi. "Maaf saya nggak dengar kalau Bapak udah datang."

"Nggak apa-apa, tadi pas sampai rumah, ketemu Ibu sama Ciara di depan jadi salamnya nggak kedengeran sampai dapur. Silakan dilanjut, Dik."

Elang mempersilakan Rara melanjutkan aktvitasnya. Ia akan ke kamar terlebih dahulu sebelum membersihkan diri di kamar mandi.

Rara mengangguk sembari tersenyum. Begitu Elang berlalu dari hadapannya, ia pun meraih tas berisi kotak bekal tersebut. Rara membuka benda yang sebenarnya milik Ciara itu. Senyuman manis penuh kebahagiaan tersungging di wajah tanpa polesan make up tersebut.

"Habis," ucap Rara sembari senyum-senyum.

Ada perasaan senang sekalipun hanya melihat isi dalam kotak itu habis dan menyisakan garpu plastik saja. Ia lalu mendekap kotak makan tersebut. Kedua sudut bibirnya masih terangkat naik.

"Dik."

Suara Elang terdengar. Langkah kakinya mendekat kembali ke dapur. Rara buru-buru meletakkan kotak bekal tersebut. Ia langsung meraih wortel dan pisau.

"Iya, Pak," jawab Rara dengan perasaan gugup. Bisa semakin malu dirinya jika Elang memergoki sikapnya barusan.

"Handuk di luar, ya?"

"Oh, saya cuci, Pak. Sebentar saya ambilkan yang baru."

Rara segera beranjak dari duduknya setelah meletakkan kembali wortel dan pisau. Ia berjalan cepat ke arah kamar. Namun, langkahnya terhenti saat perempuan yang mengenakan kulot dan kaus oblong itu merasakan pergelangan tangannya ada yang memegang.

Rara menatap tangan Elang yang menyentuh tangannya. Mata mereka pun bertemu. Degup jantung Rara sudah tak karuan.

"Biar saya ambil sendiri." Elang berucap seraya melepas cengkeraman tangannya. "Dik Rara lanjut aja ngupasnya."

Rara manggut-manggut seraya menundukkan wajah. Ia pun memutar tubuh kembali ke dapur. Begitu sampai, empasan tubuhnya ke kursi berlangung cukup keras dikarenakan rasa lemas yang menyergap. Rara selalu seperti itu jika mendapati hal-hal yang membuatnya bergedup karena interaksi dengan Elang, ia akan merasakan tubuhnya menjadi tidak bertenaga.

Rara menarik napas panjang. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri dengan kuat.

Nggak, enggak boleh berharap lebih.

Rara berusaha menolak harapan yang muncul di pikirannya. Namun, mendapati sikap Elang yang sedikit menghangat padanya, membuat dirinya terbawa perasaan. Rara kembali teringat akan obrolan bersama Mama Raline tadi pagi. Trauma Elang akan cinta tentu sangat dalam. Tidak mungkin semudah itu teralihkan padanya.

"Sabar Rara, sabar aja terus," ucap Rara pada dirinya sendiri sembari mengusap dada. Pernikahan baginya adalah ibadah terpanjang. "Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Aku yakin itu."

***

Sore menjelang maghrib, Ciara pulang dari mengaji. Ia datang bersama Bu Sasti. Oma kesayangannya itu masih ingin terus menemani sang cucu. Beliau membagi tugas dengan Rara. Jika sekolah umum, menantunya yang mengantar.

"Asalammualaikum!" seru Ciara dengan nada ceria.

"Waalaikumsalam." Rara berjalan menyambut Ciara. "Kok lama pulangnya, Bu?" Rara celingukan mencari Ciara.

"Iya tadi mampir ke Bu Trisno. Itu lagi di depan anaknya." Bu Sasti menujuk ke arah teras.

"Cia, Kakak Cia. Udah mau maghrib ini, ayo masuk." Rara menyusul Ciara. Namun, begitu sampai di depan pintu, perempuan yang memiliki hobi membaca ini tersentak.

Ciara heran mendapati mamanya kaget. Ia pun beranjak dari posisinya yang berjongkok. "Mama kenapa?"

"Stop, Cia. Jangan dibawa masuk." Tubuh Rara sudah gemetar melihat hewan mungil di gendongan Ciara. Putri sambungnya itu bingung sehingga terus berjalan mendekat ke arah Rara.

"Lucu, ya, Ma. Dikasih Eyang Tis ini." Ciara asik membelai bulu anak kucing bercorak putih cokelat muda tersebut. "Mama mau gendong?"

Rara menggeleng dengan kuat. Ia terus menutup hidung dengan bagian leher kausnya. Indera penciumannya itu mulai terasa gatal. "Jangan dibawa masuk, Cia."

Anak kucing itu terus mengeong. Ciara pun tidak memedulikan ucapan Rara. Ia malah menuju ruang tengah.

Tak lama kemudian, terdengar suara bersin-bersin dari ruang depan. Alergi bulu kucing Rara mulai kambuh. Ia tidak bisa dekat-dekat dengan hewan lucu itu.

"Kucing siapa itu?" tanya Elang begitu keluar dari kamar.

"Kucing kakak lah, Pa. Dikasih Eyang Tis. Di rumahnya ada banyak kucing lucu. Kakak Cia dikasih, deh." Ciara terus mengelus tubuh kucing yang tidak lepas dari gendongannya.

"Bersih nggak itu kucingnya?"

Elang sebenarnya santai saja melihat kucing, hanya tidak mau memelihara karena baginya ribet. Berbeda dengan putrinya yang suka gemas melihat hewan berbulu itu.

"Bersih, kok, Pa. Nih, coba gendong."

"Enggak, enggak." Elang duduk di dekat Ciara. "Kan, Papa belum kasih izin buat Kakak Cia pelihara kucing. Nunggu udah besar dulu. Nanti kalau kucingnya jadi sakit gimana?"

"Ya dibawa ke dokter."

"Tapi tetap perawatannya ribet, Kak. Kalau dia eek sembarangan gimana? Kakak Cia mau beresin?" Kalimat itu selalu menjadi andalan Elang saat menolak permintaan putrinya.

"Kakak udah besar, Papa. Udah masuk SD. Kata Oma gitu, kok. Jadi udah boleh." Ciara membela diri.

Elang menarik napas panjang. Berdebat dengan Ciara sama saja akan membuat putrinya itu sedih.

"Eh, yang bersin-bersin siapa itu?" Elang baru menyadari ada suara bersin yang tiada henti dari ruang depan. Ia pun beranjak ke sana.

"Mama kayaknya," jawab Ciara santai.

Elang sudah di ruang depan. Ia melihat Rara tengah duduk sambil menempelkan tisu ke hidung.

"Dik, kamu sakit?"

Rara masih terus bersin. Ia lalu mendongak ke Elang tanpa mengeluarkan satu kata pun.

"Astagfirullah!" Elang tersentak melihat wajah Rara. Mata dan hidung memerah. Istrinya bahkan sampai mengeluarkan air mata. "Bu! Ibu! Coba sini sebentar."

Elang berjongkok di depan Rara. Mendadak ia merasa khawatir atas kondisi sang istri. Reflek, ia menggerakkan telapak tangan ke kening Rara.

Rara terkesiap sebentar. Ia tidak ada waktu untuk gugup lagi. Dirinya sudah tersiksa dengan alergi bulu kucing yang tengah dialaminya itu.

"Nggak demam. Kamu kenapa, Dik?"

Belum sempat menjawab, Bu Sasti datang. "Kenapa, Lang?"

"Rara sakit kayaknya, Bu."

"Loh, sakit apa, Ra?" Bu Sasti mendekat. "Yaa Allah, kenapa ini?"

Diantara jeda bersinnya, Rara menjawab, "Alergi, Bu."

Elang dan Bu Sasti saling berpandangan. Tiba-tiba muncul Ciara di antara mereka.

"Mama kenapa?"

Rara kembali bersin-bersin. Ia pun menggeser duduknya.

"Oh, alergi bulu kucing, ya?" tebak Elang. Rara pun mengangguk.

"Alergi?" tanya Ciara heran.

"Kakak, kucingnya ditaruh di luar dulu, ya." Elang mencoba berbicara dengan lembut ke sang anak. Ia kasihan melihat penderitaan istrinya.

Ciara menggelengkan kepala dengan cepat. "Mau tidur sama kucing."

"Nggak boleh. Papa nggak izinkan kucing masuk rumah." Nada suara Elang mulai terdengar tegas.

Ciara tersentak. "Kakak suka kucing, Papa. Dia kalau di luar kedinginan."

"Kembalikan saja ke Eyang Tis."

Ciara menggelengkan kepalanya. Ia lalu berlari ke ruang tengah.

"Ciara!"

Nada suara yang meninggi itu membuat Rara terkejut. Ia tidak menginginkan Ciara bersedih.

"Sudah, Pak. Biarkan saja. Kalau sudah minum obat nanti juga reda alerginya."

Elang menatap Rara. "Obatnya apa namanya, biar saya belikan di apotik."

Rara terdiam. Ia kemudian disenggol Bu Sasti.

"Obatnya apa, Ra? Biar masmu yang belikan."

Rara pun menyebutkan nama obat andalannya saat alergi kambuh. Hanya dibelikan obat saja, hatinya langsung tersentuh. Elang rupanya sosok yang perhatian.

"Masuk kamar dulu aja, Ra. Nanti ibu cari cara biar Ciara lepas dari kucing."

"Iya, Bu. Maaf jadi merepotkan."

Bu Sasti menggelengkan kepala sembari tersenyum. "Istirahat aja."

Rara mengangguk patuh. Ia pun segera menuju kamar.

Tidak lama kemudian, Elang datang dari apotik. Ia lalu masuk ke kamar sembari membawa segelas air putih.

Rara yang sedang berbaring, segera bersandar di sandaran ranjang. Tisu masih tidak lepas dari tangannya.

"Benar ini obatnya?" tanya Elang memastikan yang dibeinya tidak salah.

"Benar, Pak." Rara hendak meraih obat yang ada di tangan Elang. Namun, laki-laki itu menepisnya.

"Biar saya bukain dulu."

Rara kembali tersentuh. Kadar zat Norepinefrin pun meningkat pada system saraf pusatnya. Ia belum pernah mendapatkan perlakuan manis dari suaminya. Akan tetapi, hal sepele semacam ini dirasanya mengubah momen menjadi romantis.

"Ini." Elang menyerahkan satu butir tablet anti alergi.

Rara segera menerimanya. "Terima kasih, Pak."

Elang mengulurkan gelas berisi air putih. Rara pun meraihnya, lalu menenggak obat dan mendorongnya dengan air putih.

"Istirahat dulu aja. Nggak usah keluar kamar. Saya bujuk Ciara dulu."

"Terima kasih, Pak. Maaf, alergi saya beneran bandel kalau kena bulu kucing."

"Nggak papa. Dari kecil alerginya?"

"Iya, Pak. Mulai SMP tepatnya."

Elang manggut-manggut mendengar cerita Rara. "Istirahat aja kalau gitu, Dik."

"Habis ini udah maghrib, Pak."

"Oh, iya. Harus keluar kamar buat wudhu, ya." Elang tengah berpikir. "Nggak boleh tayamum?"

Rara menggeleng pelan. "Saya masih kuat jalan. Nggak apa-apa, Pak. Nanti langsung lari ke kamar mandi aja."

"Jangan, saya punya ide," ungkap Elang dengan senyum mengembang. Ia bahkan menjentikan jemarinya.

InsyaAllah akan ada versi ebook juga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro