Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rara mengerjap kaget mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Elang. Ia pun berdecak lirih. Dirinya tidak suka jika Elang membohongi Ciara.

"Benar, Pa?" tanya Ciara dengan binar bahagia. Elang mengangguk sembari tersenyum. "Hore!" Ciara pun kembali mendekap Rara.

Rara masih menatap Elang dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia kecewa karena seperti dipermainkan oleh Elang. Kata-kata dari laki-laki yang berusia tiga tahun di atasnya itu tidak konsisten.

"Cia, habis ini Ashar," ucap Rara dengan tatapan hangat. "Mau solat sama Mama?"

Ciara mengangguk cepat. Ia senang akhirnya bisa solat bersama seperti saat di TK dulu. Di rumah, dirinya hampir tidak pernah diajak solat oleh sang ayah, sedangkan neneknya memilih berjamaah di masjid.

"Kalau gitu tunggu di kamar Cia, ya. Mama ambil mukena dulu."

Ciara pun patuh. Ia segera meninggalkan kamar Elang dengan hati riang. Kini tinggal sepasang pengantin baru di sana.

"Saya tidak suka cara Bapak membohongi Ciara." Rara berterus terang.

Elang tersentak. Ia sadar, obrolan dengan Ciara terhubung dengan pembahasan sebelumnya bersama Rara.

"Bapak tadi bilang hanya satu tahun. Kenapa bilang ke Cia kalau selamanya? Maaf, Pak, saya tidak suka sikap Bapak seperti ini."

"Saya tidak mungkin jujur ke Cia, Miss."

"Itu sama saja Bapak mengajari Cia berbohong, meskipun dengan dalih demi kebaikan. Bukan hanya Cia, Bapak jelas membohongi semua orang, termasuk ijab kabul yang sudah diucapkan kemarin."

Elang kembali tersentak dengan ucapan Rara. Perempuan yang sudah berdiri di hadapannya itu ternayata cukup tegas.

"Maaf ...." Hanya itu kata-kata yang keluar dari bibir Elang. Ia sedang tidak bisa memberi keputusan.

Rara mengembuskan napas berat. Tanpa berucap, ia segera keluar dari kamar setelah meraih mukena yang ada di atas meja. Dadanya terasa sesak. Impian membangun rumah tangga yang indah dan penuh cinta bersama suami dan anak tirinya serasa berada di ujung jurang. Rara menutup pintu, lalu menyandarkan punggung di sana. Matanya terpejam hingga setetes cairan bening kembali membasahi pipi.

****

Satu minggu sudah usia pernikahan Elang dan Rara. Selama itu juga mereka belum pernah tidur satu kamar. Rara memilih menemani Ciara di kamarnya. Tentu saja hal itu terjadi atas permintaan sang anak yang tidak mau jauh dari ibunya. Elang pun tidak masalah karena memang dirinya tidak siap untuk berbagi selimut dengan istrinya.

"Cia, sekarang masih TK apa sudah SD?" tanya Bu Sasti saat duduk di sofa ruang tengah bersama cucunya.

"Emmm ... udah nggak TK tapi masih belum masuk SD. Kenapa, Oma?" tanya Ciara. Ia memang baru masuk sekolah untuk tahun ajaran baru dua hari lagi.

"Itu namanya udah SD, Cia. Berarti udah besar, kan?"

Ciara menggelengkan kepala sembari memasukkan biskuit Oreo mini ke mulutnya. "Masih kecil, Oma."

Bu Sasti mendesah pelan. "Besarnya kapan, dong?"

Ciara melirik ke atas. Jari telunjuknya menepuk lembut dagu. "Kayaknya kalau udah punya adik kayak Kak Shanum, baru itu namanya besar."

Bu Sasti membeliak lebar. Akhirnya Ciara membuka topik obrolan yang memang akan dibahas. Pemahaman cucunya tentang sudah besar ternyata merujuk pada sepupunya sendiri yang sudah memiliki adik.

"Cia mau punya adik, nggak?" tanya Bu Sasti bersemangat.

Ciara manggut-manggut. "Tapi sama Papa belum dibelikan."

"Nggak perlu beli. Papa sama Mama bisa kasih sendiri adik bayi yang lucu."

Ciara menoleh ke sang nenek. "Masa sih, Oma?"

Bu Sasti manggut-manggut. "Tapi ada syaratnya. Cia nggak boleh tidur sama Mama lagi di kamar. Sebagai calon kakak, Cia harus berani tidur sendiri."

Ciara mencebik kesal. "Nanti Mama pergi dari rumah ini. Cia nggak mau."

"Tentu tidak, Sayang. Malah kalau punya adik, Mama Rara bakal tinggal di sini selamanya. Gimana? Mau cepat punya adik atau nggak?"

"Mau, mau, mau." Ciara mengangguk dengan penuh semangat.

Bu Sasti tersenyum penuh kelegaan. Langkah untuk mendekatkan Elang dan Rara akan segera dimulai. Beliau sempat cemas karena sejak tiba di sini, Rara tidur di kamar Ciara terus. Namun, Bu Sasti tidak bisa terus terang meminta putranya atau menantunya tidur satu kamar berdua saja.

***

Rara sudah mulai menjalankan perannya sebagai istri, ibu, dan menantu di dalam rumah. Ia sudah mulai memiliki kesibukan untuk membersihan rumah. Sekalipun sikap Elang masih dingin, ia tetap menjalankan tugasnya dengan baik, dari menyiapkan baju kerja hingga hingga makan. Perihal memasak, masih dipegang ibu mertuanya. Rara sadar diri jika masakan buatannya masih jauh dari lezat. Dirinya tidak mau Ciara yang masih pilih-pilih makanan itu malah mogok makan gara-gara citarasa masakannya.

Sore ini, Rara sedang berkutat dengan tumpukan pakaian yang akan disetrika. Ia memilih menyetrika di ruang tengah. Rumah suaminya tidak cukup luas untuk memiliki ruang setrika sendiri.

Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Rara bergegas bangkit dari posisinya, lalu mencabut kabel setrika. Ia pun segera menuju halaman rumah untuk membuka gerbang. Begitu sampai di depan, ternyata Elang sudah membuka sendiri pagar yang hanya dikunci engsel saja. Rara berlari tanpa mengenakan sandal untuk ikut menarik pagar ke samping. Elang memperhatikan istrinya sekejap, lalu masuk ke mobil.

Mobil pun sudah masuk. Rara segera menutup gerbang. Ia lalu masuk ke rumah. Dirinya belum berani meraih tangan Elang untuk dikecupnya dengan takzim. Komunikasi antar pasangan baru itu pun cukup seperlunya saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro