Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Duduk sini sebentar." Elang menepuk kasur di sampingnya.

Rara mengangguk sambil sedikit menundukkan pandangannya. Ia tidak berani menatap wajah suaminya itu. Kegugupan semakin menguasai perasaannya. Rara tidak tahu, jika raut wajah Elang menyiratkan sebuah sikap yang serius.

Muncul secercah harapan tentang hal yang lumrah dilakukan oleh pengantin baru dalam pikiran Rara mendapati sikap Elang kali ini. Tidak sampai ke hubungan yang intim, bersenda gurau berdua pun sangat disyukurinya. Apalagi mereka menikah tanpa ada tahap perkenalan dari hati ke hati terlebih dahulu.

"Maaf sebelumnya kalau kata-kataku nanti terlalu menyinggung." Elang memulai pembicaraan. Mereka duduk berdampingan tetapi tidak saling bertatap muka.

Rara memalingkan wajah ke arah suaminya. Ingin bibirnya bertanya tentang obrolan apa yang akan diperbincangkan. Namun, bibirnya seolah kelu untuk hanya berucap kata 'iya'. Rara pun hanya menganggukkan kepala, lalu kembali menunduk.

"Miss—eh maaf, saya nggak tau harus memanggil apa sekarang. Saya lebih nyaman menganggap Miss Rara sebagai guru Ciara seperti sebelumnya."

Deg!

Hati Rara sontak seperti tersayat. Telinganya tidak salah menangkap kalimat Elang.

"Iya silakan, Pak," sahut Rara mencoba menutupi perasaan yang sebenarnya.

"Begini, Anda pasti tahu jika pernikahan ini terjadi karena Ciara." Kata-kata Elang terkesan kaku, jauh dari obrolan santai suami istri.

Rara mengangguk pelan. Ia sudah memahami hal tersebut dari awal. Rara menatap Elang yang pandangannya lurus ke depan.

"Bapak pun sudah tahu jika saya menerima pernikahan ini karena Ciara juga. Karena saya menyayangi putri Bapak."

Elang menoleh ke arah Rara. Tatapan mereka bersirobok. Rara kalah, ia memilih menunduk kembali.

Elang menghela napas panjang. Ia memang tidak meragukan kasih sayang istri barunya itu terhadap putri kesayangannya tersebut. Sudah enam tahun lebih menduda dan tidak ingin menikah alasannya hanya satu. Tidak ingin salah memilih istri lagi. Apalagi jika perempuan itu hanya mencintai dirinya, tidak terhadap Ciara. Namun, kini kenyataannya malah berbeda seratus delapan puluh derajat. Perempuan yang menjadi istrinya itu malah sangat mencintai putrinya.

Elang kembali melanjutkan ucapannya. "Tidak mungkin pernikahan bisa berjalan dengan baik jika nahkoda dan awaknya tidak saling mencintai. Tidak ada cinta di antara kita, Miss."

Rara terkesiap. Ia pun berbicara dalam hati.

Ada, ada cinta buatmu di hati ini, Pak. Cinta yang tumbuh saat ibumu memintaku menjadi istri dari anaknya.

"Anggap saja kita orang asing yang berada dalam kamar yang sama. Setelah satu tahun, saya akan mengembalikan Anda ke orang tua. Anda bebas menikahi laki-laki yang Anda cintai."

Rara sontak menatap Elang dengan pandangan kaget. Ia tidak menduga jika suaminya akan berbicara seperti itu.

"Maksudnya pernikahan kita ini kontrak, Pak?" tanya Rara memastikan.

Elang mengangguk mantap. "Hanya satu tahun, mohon bersabar, Miss. Saya tidak mungkin menceraikan Anda dalam waktu satu atau dua bulan."

"Astagfirullahaladzim ...."

Rara mengusap dadanya dengan tatapan kecewa. Ia bisa melihat Elang terkejut dengan reaksinya.

"Maaf, Pak. Kita adalah muslim. Tidak ada pernikahan kontrak di dalam Islam. Dosa jika melakukan pernikahan semacam itu, Pak."

"Maksud saya masa depan Miss Rara. Saya tidak mau membuat Anda tersiksa dengan pernikahan ini." Elang mulai salah tingkah. Ia tidak menyangka jika tanggapan Rara kebalikan darinya. Dipikirnya, Rara pun merasakan hal yang sama dengannya. Terpaksa menerima pernikahan ini karena Ciara.

Rara sudah tidak tahan lagi untuk tidak bersuara. Ia harus memberi penegasan kepada Elang.

"Jika memang seperti itu, kenapa tidak menolak saja dari awal?" tanya Rara dengan tatapan tajam. "Oke, semua memang demi Ciara. Tapi, menikah itu ... bagi saya adalah ibadah, Pak. Saya ... saya tidak ingin mempermainkan perjanjian besar yang sudah bapak ucapkan di depan ayah saya."

Nada bicara Rara mulai tersendat. Ia sedang berusaha kuat menahan air mata untuk tidak keluar membasahi pipi. Rara kembali menundukkan wajah. Kini, air yang menggenang di sudut mata itu tumpah.

Elang menghela napas panjang. Matanya melirik ke arah berlawanan. Kedua tangannya saling bertaut. Elang mendesah bingung. Ia tidak menyangka respon Rara akan semengejutkan itu. Laki-laki yang masih memiliki trauma masa lalu itu mengira jika istrinya itu merasakan hal yang sama dengannya atas pernikahan mendadak tersebut.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Muncul Ciara yang berjalan masuk sembari menggenggam boneka Koala berwarna biru muda.

"Papa ...." Ciara berjalan cepat ke arah papanya. Wajahnya tampak basah oleh air mata.

"Mimpi buruk, ya?" Elang menggendong Ciara ke dalam dekapan. Laki-laki berambut hitam lurus itu mengusap pucuk kepala sang anak. Ciara mengangguk.

Rara menyusut air matanya. Ia tidak boleh memperlihatkan kesedihannya di hadapan Ciara.

"Mama Rara pergi, Pa," ungkap Ciara yang berbicara sembari menenggelamkan wajahnya di dada sang ayah. "Ke rumah cuma nganterin Cia bubuk aja."

Rara mendongak kaget. Rupanya Ciara tidak menyadari kehadirannya di samping sang ayah. Wajar saja, kondisi gadis itu baru terbangun dan posisi duduknya di tepi kasur dekat dinding.

"Cia ...," panggil Rara dengan lembut.

Ciara yang sedang terisak sontak menoleh. "Mama ...."

Gadis berkulit bersih dengan bentuk wajah mirip Elang itu segera berpindah posisi. Ia menghambur ke pelukan Rara.

"Cia pikir Mama nggak tinggal di sini lagi. Kata Oma, Mama sampai lama tinggal di sini. Benar, kan, Ma?" tanya Ciara sembari menatap wajah ibu tirinya.

Rara terdiam mendapati pertanyaan Ciara. Obrolan yang baru saja terjadi dengan Elang, membuatnya berat untuk sekadar menganggukkan kepala atas pertanyaan Ciara.

"Oma bohong, ya?" Ekspresi Ciara berubah muram. Sementara itu Rara masih membisu.

"Nggak, Oma bener, Sayang. Miss Rara akan tinggal di sini." Elang akhirnya bersuara sembari menatap Rara. Istrinya itu pun balik menatap dengan pandangan penuh tanya. "Tinggal ... selamanya di sini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro