Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan menuju Malang pun dimulai. Sebelum berangkat, terjadi perdebatan siapa yang duduk di depan. Ciara memaksa duduk dekat Rara sedangkan Bu Sasti meminta menantunya duduk di depan. Akhirnya, Rara dan Ciara duduk di kursi tengah, sementara Bu Sasti di depan samping Elang.

Sepanjang perjalanan, Ciara tidak hentinya berceloteh. Ada saja topik yang dibicarakannya.

"Nanti pas udah masuk sekolah, aku maunya diantar jemput Mama aja."

"Iya, Sayang," jawab Rara sembari mengusap pucuk kepala Ciara. Ia memang sudah resign dari mengajar TK. Dirinya ingin fokus menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan putrinya.

"Aku mau kayak teman-teman. Pulang sekolah diajak mamanya makan-makan. Kalau sama Oma, nggak pernah mampir ke mana-mana. Apalagi Papa, aduh mampirnya malah ke kampus."

Elang yang sedang fokus dibalik kemudi, melirik lewat spion tengah. "Papa kan, kerja, Sayang. Kalau libur kita kan sering makan-makan di luar."

"Aku kan, bilangnya pulang sekolah, Pa," protes Ciara. "Nanti Cia nggak akan ganggu Papa kerja lagi. Setuju kan, Ma?" Ciara menoleh ke samping. Senyum manis Rara disertai anggukan menjadi respon.

Elang menghela napas panjang. Kehadiaran Rara seolah menjauhkan Ciara darinya. Namun, hal itu juga membuat putrinya bahagia.

Bu Sasti menangkap raut kekecewaan Elang atas ucapan Ciara. "Nggak usah cemburu sama istri sendiri."

Elang mengernyitkan dahi. "Apa, sih, Bu ...."

Bu Sasti tertawa kecil. Beliau tidak cemas akan hubungan cucunya dengan ibu tirinya. Perempuan yang sudah menjanda selama sepuluh tahun itu sedang berusaha dalam diam untuk membuat hati putra satu-satunya terbuka kepada menantu yang direstuinya itu.

****

Mobil sudah memasuki area perumahan Graha Nirwana setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam. Elang memutar kemudi ke depan rumah dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sebuah hunian yang baru satu tahun dibeli dengan hasil jerih payahnya sebagai pendidik.

"Saya bukakan dulu, Pak." Rara bergegas membuka pintu mobil setelah memindah kepala Ciara yang tidur dipangkuannya ke kursi.

Elang hanya diam di balik kemudi. Ia lalu mengulurkan kunci. Dirinya tidak perlu turun membuka pagar.

"Kok, Pak, sih, Lang," cetus Bu Sasti.

"Terserah dia mau manggilnya apa, Bu."

"Ya udah, nanti ibu suruh Rara ganti panggilan ke Mas. Nggak enak didengarnya kalau kayak gitu."

Elang mendesah pelan. Ia lalu menginjak gas untuk memasukkan mobil ke halaman. Baru juga mobil berhenti, terdengar rengekan Ciara yang terbangun.

"Mama ... mana Mama?" Ciara mulai terisak dengan mata yang masih mengantuk. Suaranya terdengar parau.

Elang segera melepas sabuk pengaman lalu keluar menuju kursi tengah menghampiri putrinya yang menangis. "Ayo turun sama Papa."

"Nggak mau! Mama mana?" Ciara menempelkan punggung di sandaran kursi. "Mama ...."

Rara membuka pintu mobil begitu mendengar tangisan Ciara. Ia segera merentangkan tangan untuk menggendong gadis kecil itu keluar mobil.

Elang berdecak kesal. Ia benar-benar tidak dibutuhkan oleh Ciara sekarang. Dirinya merasa sudah diduakan oleh putri kesayangannya itu.

"Lang! Ngapain ngelamun di mobil? Ayo cepetan turunin barang-barang." Bu Sasti berteriak dari jendela mobil.

Elang terkejut. Ia lalu turun dari mobil dan menurunkan semua koper dan juga kardus berisi oleh-oleh dari mertuanya. Laki-laki dengan kemeja lengan pendek motif garis itu kemudian menyeret kopernya ke dalam kamar.

Sementara itu, Rara tengah berada di kamar Ciara yang ada di samping kamar Elang. Ia tengah menidurkan kembali putri sambung yang sudah disayangi sepenuh hati itu. Dirinya juga tidak sulit menemukan kamar Ciara karena pernah beberapa kali diajak Bu Sasti main ke rumah ini.

"Udah tidur lagi?" Bu Sasti muncul di balik pintu dengan suara pelan.

"Sudah, Bu." Rara tengah menyelimuti Ciara.

"Kalau gitu dimasukin aja kopernya, Ra."

"Iya, Bu."

Bu Sasti kembali ke dapur sedangkan Rara masih bergeming. Perempuan lulusan Pendidikan Anak Usia Dini itu menarik napas panjang. Ia bingung harus membawa ke mana koper miliknya. Tidak mungkin tiba-tiba masuk ke kamar Elang.

"Di bawa ke sini aja, deh."

Rara melangkah keluar kamar. Ia lalu menyeret koper dan menenteng tasnya kembali ke kamar Ciara.

"Loh, loh, Ra?" Bu Sasti yang sedang menuju ruang tengah, heran melihat menantunya memasukkan koper ke kamar sang cucu.

"Eh, iya, Bu. Ada apa?" tanya Rara kaget.

"Kok, dimasukin ke kamar Cia?" Bu Sasti mendekat. Tangan beliau mengambil alih koper dari tangan Rara. "Ini loh kamar Elang."

Rara tersenyum canggung. Ia menggigit bibir bawahnya saat melihat Bu Sasti membuka pintu kamar putranya.

"Lang!" Bu Sasti masuk ke kamar.

"Kenapa, Bu?" tanya Elang yang sedang berbaring di ranjang dengan seprai polos berwarna navy tersebut.

"Kenapa, kenapa? Nih, kopernya Rara kok nggak dibawain ke kamar. Loh, Ra! Sini, Nak."

Elang mendesah pasrah. Ia berharap, istrinya itu tinggal di kamar Ciara.

"Iya, Bu." Rara menyusul Bu Sasti. Kegugupan tengah melanda hatinya, antara takut dan canggung.

"Langsung ditata aja barang-barangnya. Udah ibu kosongin lemari yang sebelah kanan."

Rara mengangguk patuh. Ia tidak berani melirik ke arah Elang. Dirinya mulai membuka lemari kayu berukuran besar tersebut. Ada tiga susunan rak di sana yang terlihat bersih tanpa satu butir debu yang nampak.

"Nanti kalau udah selesai, bantu ibu ngeluarin oleh-oleh di dapur, ya."

"Baik, Bu."

Bu Sasti pun keluar kamar. Suasana di ruangan bercat putih itu hening. Rara mulai membuka koper dan memasukkan bajunya satu persatu ke lemari.

Elang yang sedang duduk di atas kasur beranjak dari posisinya. Langkahnya mendekat ke arah Rara.

"Bisa bicara sebentar?"

"Eh, iya, Pak. Bisa." Rara memutar tubuh. Kini mereka saling berhadapan.

"Sebentar." Elang melangkah menuju pintu, lalu menutupnya dan menguncinya. Ia kembali duduk di atas ranjang.

Rara membeliak kaget. Baru kali ini dirinya satu ruangan berdua saja dengan laki-laki. Kemarin, masih ada Ciara yang bisa mencairkan suasana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro