Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mohon maaf ganti judul, Guys
sama cover juga. Semoga semakin tertarik baca kisah Rara, Ciara, dan bapaknya yang dingin.

Rara tidak punya cara lagi. Ia paham siapa Ciara. Senantiasa menjadi putri dan cucu satu-satunya, gadis itu tentu mendapat perlakuan yang dimanjakan. Saat menginginkan sesuatu, harus terwujud. Jika tidak, Ciara akan mudah jatuh sakit. Seperti saat anak kecil tersebut menginginkan Rara menjadi ibunya. Ciara bahkan masuk rumah sakit akibat mogok makan.

"Cia! Papa nggak suka kamu gini. Ayo cepat bangun." Nada bicara Elang mulai meninggi.

Ciara mulai terisak. Tangisannya pun perlahan mulai terdengar nyaring. Rara segera menenangkan gadis berambut lurus sebahu tersebut.

"Udah, bubuk sama Mama aja. Kita baca cerita, sambil tidur, yuk?"

"Nggak mau. Cia maunya tidur bertiga." Ciara mulai tergugu. Elang berusaha menahan amarahnya. Ciara melanjutkan ucapannya. "Cia pingin seperti teman-teman yang tidur malam bertiga sama Mama dan papanya."

Deg!

Elang tidak bisa mendengar hal seperti itu keluar dari bibir Ciara. Ia selalu sedih jika putrinya mendapatkan jalan hidup yang berbeda dari teman-temannya. Elang akan selalu menjadi yang terdepan bagi kebahagiaan Ciara. Termasuk pernikahannya dengan Rara, perempuan yang tidak dicintainya.

"Ya udah, ayo tidur di kasur." Elang beranjak dari duduknya.

Ciara melonjak bahagia. Ia langsung loncat-loncat di atas kasur yang nyaman tersebut. Elang langsung merebahkan tubuhnya di sana. Sementara Rara, masih bingung harus bersikap. Ia hanya duduk di ujung kasur dekat dinding.

"Ayo tidur, Ma," pinta Ciara yang sudah berbaring di samping ayahnya. Matanya sudah tidak sanggup untuk terbuka lebar. Dirinya sudah sangat lelah dan mengantuk. Begitu juga dengan Elang yang sudah memejamkan mata.

"Bentar, Cia. Mama ganti baju dulu." Rara meraih piama yang sudah disiapkannya di atas meja. Ia lalu masuk ke kamar mandi.

"Mama! Cepat ganti bajunya!" teriak Ciara dengan mata terpejam.

Rara yang sedang melamun, bergegas mengganti bajunya. Ia lalu keluar. Kerudung sudah dilepasnya. Bagaimana pun juga, dirinya sudah sah menjadi istri Elang. Suaminya berhak mengetahui seluruh bagian dari tubuhnya.

Rara tercengang mendapati posisi Ciara yang sudah bergeser di dekat dinding. Gadis itu meyisakan ruang di antara dirinya sendiri dan sang ayah.

Ciara memaksaan diri membuka mata. "Oh ... Mama udah lepas jilbab. Sini, Ma."

Elang yang masih terjaga, sontak tertarik dengan ucapan anaknya. Namun, ia mengurungkan diri membuka mata.

"Mama ...," rengek Ciara sembari mengentakkan kakinya di atas kasur.

"Oh, iya iya." Rara segera mendekat. Ia tidak mau Ciara mengganggu tidur Elang. Bisa-bisa, Ciara mendapat omelan lagi dari sang ayah.

Ciara mengubah posisi menjadi memunggungi dinding. Ia terus saja mengoceh dengan mata terpejam.

"Mama di tengah, ya. Cia nggak bisa tidur kalau nggak pegang tembok," ungkap Ciara sembari telapak tangan kanannya menyentuh dinding.

Rara mendesah pasrah. Ia merasakan kegugupan luar biasa melebihi akad nikah tadi. Dirinya akan tidur di samping Elang. Rara segera menaiki ranjang saat rengekan Ciara kembali terdengar. Ia gelisah mendapati posisinya sekarang. Rara merapatkan tubuhnya ke dekat Ciara.

Elang yang sebelumnya telentang, kini berubah menyamping. Tepatnya memunggungi Rara. Ia kini hanya perlu menunggu Ciara terlelap sebelum kembali ke Sofa. Dirinya tidak akan pernah seranjang dengan istrinya tanpa perasaan cinta.

****

Pengantin baru hanya satu malam saja di Mojokerto, kampung halaman Rara. Siang ini, mereka bersama Bu Sasti dan Ciara akan bertolak ke Malang. Mereka menyempatkan makan siang di rumah orang tua Rara sekalian mengambil barang-barangnya. Elang sengaja tidak mengambil cuti. Esok sudah hari Senin, ia sudah kembali mengajar di kampus.

"Cia nggak mau menginap di rumah nenek, nih?" tanya Bu Sofa saat Ciara hendak berpamitan. "Main-main sama Kakak Rafa." Bu Sofa menunjuk cucu pertamanya dari kakak Rara.

Ciara mengangguk pelan. Ia lalu menoleh ke arah Bu Sasti dan Rara. "Tapi, besok Papa udah masuk kampus, Nek."

"Nanti liburan main ke sini, ya."

Ciara manggut-manggut. Wajahnya kembali cerah. Ia sebenarnya enggan pulang ke rumah. Gadis kecil itu sudah nyaman bermain dengan Rafa, saudara baru yang usianya setahun lebih tua darinya.

"Bu, saya pamit dulu. Terima kasih untuk semuanya." Kini giliran Bu Sasti menyalami sang besan.

"Sama-sama, Bu. Mohon maaf jika banyak kekurangan. Saya nitip Rara ya, Bu. Dimarahin saja jika anaknya malas-malasan."

Rara yang disinggung mencebik manja. Tangan Bu Sasti menepuk tangan Bu Sofa.

"Tentu, Bu. Rara sudah jadi putri saya juga sekarang. Kita semua sudah menjadi keluarga sekarang."

Bu Sofa terharu mendapati respon besannya. Beliau sangat bersyukur memiliki besan sebaik dan penyayang seperti Bu Sasti. Bu Sofa hanya masih meragukan menantunya yang seolah belum mencintai putrinya. Dua perempuan paruh baya itu pun berpelukan dengan penuh kehangatan.

"Saya tunggu kedatangannya di Malang, ya, Bu," ucap Bu Sasti. Memang tidak ada acara ngunduh mantu. Lagi-lagi karena Elang menginginkan pernikahan yang sederhana.

"Insya Allah, Bu."

Mereka pun segera menuju halaman rumah. Elang pun segera berpamitan ke ayah mertuanya, kemudian ke Bu Sofa.

"Nak Elang," panggil Bu Sofa saat menantunya hendak melepas jabatan tangan. Elang mendongak. "Tolong buat bahagia putri ibu, ya."

Rara yang berada di belakang Elang tersentak. Ibunya sungguh berterus terang. Perempuan dengan gamis polos berwarna ungu tua itu bingung bersikap.

"Bu—"

"Insya Allah, Bu. Kami pamit dulu." Ucapan Rara bersamaan dengan Elang menanggapi ucapan Bu Sofa.

Bu Sofa manggut-manggut. Setitik perasaan lega menyeruak mendengar ucapan Elang. Beliau pun melepas putri kesayangannya tinggal bersama sang suami di luar kota, kota yang juga menjadi tempat merantau Rara sejak sembilan tahun yang lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro