Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Acara akad nikah hingga resepsi sederhana, berlangsung dengan sukses. Menjelang maghrib, acara pun selesai. Semua undangan dan sanak saudara dari keluaraga besar Rara sudah pulang. Di hotel, hanya tinggal keluarga besar Elang dan juga keluarga inti dari orang tua Rara. Mereka kemudian makan malam bersama di restoran hotel.

"Aduh, Cia kok, ngantuk," keluh Ciara seusai menghabiskan sepiring nasih goreng dan chicken katsu.

"Oma juga. Ayo balik ke kamar." Bu Sasti bersiap beranjak dari kursi.

Ciara menggelengkan kepala dengan cepat. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Ia tengah duduk di antara Rara dan Elang.

"Loh, katanya Cia ngantuk?" Rara menyahut.

Ciara manggut-manggut. "Cia maunya tidur sama Mama."

"Loh, nggak boleh, Cia." Bu Sasti mencoba mencegah keinginan cucunya itu.

Bibir manyun Ciara semakin mengerucut. Ia pun melaksanakan aksi tutup mulut.

Rara tersenyum paham. "Boleh, kok. Ayo ke kamar, yuk."

Ciara menegakkan punggungnya. Ia bersiap turun dari kursi. Namun, ia mendadak mengurungkannya. Ciara malah menoleh ke arah Elang.

"Tidur bertiga ya, Pa?"

Elang mengangguk tanpa bersuara. Ia memang tidak banyak bicara hari ini. Hal itu membuat Bu Sofa semakin menerka-nerka.

"Maaf, ya, Bu. Ciara udah lengket banget sama Rara. Pas udah nikah gini jadi semakin manja." Bu Sasti merasa sungkan kepada besannya.

Bu Sofa terkesiap. "Oh, nggak papa, Bu. Namannya juga anak-anak, pingin dekat sama orang tuanya."

Bu Sofa kembali memperhatikan bahasa tubuh menantunya. Mereka sedang berjalan bertiga. Namun, hanya Ciara dan Rara saja yang bersenda gurau.

Elang, Rara, dan Ciara sudah sampai di kamar hotel. Mereka menempati single room yang menyajikan satu single bed, sofa, dan kamar mandi. Elang yang memilih kamar tersebut. Ia memang memiliki tujuan tersendiri. Sementara Rara, ia menerima semua yang disiapkan suaminya untuk acara pernikahan hari ini.

Keluarga Rara sempat menentang prosesi yang cukup sederhana tersebut. Orang tua Rara terutama Bu Sofa menginginkan perhelatan di rumah mereka yang memiliki halaman luas. Keinginan menggelar pesta besar dengan mengundang tayub untuk pernikahan putri bungsu yang sangat dinantikan harus dikubur dalam-dalam. Rara lebih setuju dengan keinginan Elang yang ingin resepsi terbatas dan tidak melibatkan banyak orang untuk membantu.

"Wuah!!! Ada lope lope warna pink!" pekik Ciara bahagia saat melihat dua handuk yang dibentuk menyerupai Burung Bangau saling mengecup. "Aku mau itu, aku mau, Pa!"

Elang mengangguk sembari tersenyum. Ia sudah paham jika putrinya tidak bisa berpaling dari segala benda berwarna merah muda. Ciara adalah seorang pinky girl.

"Sikat gigi Cia di mana?" tanya Rara pada Ciara begitu mereka sudah duduk di atas kasur.

"Ada di koper." Ciara menunjuk koper berwarna hitam berkuran sedang yang ada di dekat sofa. "Papa tolong ambilkan sikat Cia, ya."

Elang yang sudah merebahkan tubuh di sofa segera beranjak meraih koper. Ia lalu mengambil sikat gigi berwarana merah muda milik putrinya. Tidak lupa, ia juga menyertakan pasta gigi rasa stroberi. Elang mengulurkan peralatan tersebut ke arah putrinya.

"Ingat, harus bersih. Nanti papa cek giginya."

Ciara meraih pemberian Elang dengan cepat. "Nggak mau."

"Cia ...!" Nada bicara Elang terdengar lebih keras.

Rara yang ada di dekat Ciara, meraih perhelangan tangan putri sambungnya tersebut. Dengan tatapan mata dan gelengan kepala, ia bermaksud memberi tahu Ciara jika sikapnya tersebut tidak baik.

"Maksud Cia gini loh, Papa. Udah ada Mama. Cia udah nggak butuh Papa buat ngecek gigi Cia. Ayo, Ma." Ciara dengan santainya menarik tangan Rara untuk mengikutinya ke kamar mandi.

Elang hanya melongo mendengar ucapan putrinya. Sudah bertahun-tahun dirinya menemani rutinitas sikat gigi malam Ciara. Kini, tiba-tiba saja dirinya tidak dibutuhkan untuk ikut serta.

"Cia! Papa harus periksa gigi Cia!" ucap Elang dengan suara keras karena Ciara sudah di kamar mandi.

"Udah, Papa main HP aja sekarang. Puas-puasin main hape-nya!" Ciara terkikik menjawabnya. Begitu juga dengan Rara. Mereka pun mulai menyikat gigi bersama.

"Mama Rara, kok, jilbabnya nggak dilepas?"

"Eh, emmm."

Rara terkesiap mendengar pertanyaan Ciara. Ia memang belum melepas penutup mahkotanya. Dirinya masih canggung membuka kerudung di depan lawan jenis meskipun suaminya. Rasanya, Rara masih menganggap Elang adalah orang asing karena persiapan pernikahan yang sangat mendadak itu.

"Cia udah nggak penasaran sama rambut Mama. Kan, dulu pas salat di rumah Cia, Mama pernah buka kerudung di kamar Cia."

"Nah, betul betul."

"Tapi, kasihan Papa. Dia sendiri yang belum tahu rambut Mama," celetuk Ciara.

Mendadak, wajah Rara menghangat. Membayangkan saja sudah membuatnya tersipu. "Nanti saja pas udah pindah ke rumah Ciara, ya. Miss, eh Mama nggak tahan sama AC jadi harus pakai kerudung.

"Oh, begitu. Santai aja, di rumah Cia nggak ada AC. Mama bisa sepuasnya buka kerudung," ujar Ciara sembari melanjutkan menggosok gigi.

Rara tersenyum sembari mengangguk. Ia menatap tingkah Ciara yang memperlihatkan deretan gigi susunya yang putih dan rapi. Rara tidak pernah menduga, jika takdirnya adalah menjadi ibu sambung dari muridnya saat di TK A dulu. Takdir menjadi seorang istri dari duda dengan satu anak.

"Selesai!" Ciara berseru senang seraya mengusap bibir. "Ayo tidur, Ma."

Rara manggut-manggut. Ia segera menyelesaikan aktivitasnya. Mereka pun segera menuju kasur. Perasaan gugup menyergap Rara saat melihat ranjang. Bayangan akan malam yang dilalui pengantin baru berkelebat. Namun, saat melihat Ciara, ia sedikit lega. Pun saat melihat suaminya sudah nyaman di sofa. Hati Rara berkecamuk, antara sedih dan lega.

"Papa, ayo pindah," ajak Ciara sembari menarik tangan sang ayah.

"Ke mana?" Kening Elang berkerut.

"Ke kasur, Pa. Buruan, Cia udah mulai ngantuk ini." Elang dan Rara tersentak mendengar permintaan Ciara.

"Enggak, ah. Papa di sofa aja. Nggak muat di kasur," tolak Elang. Dirinya tidak mungkin mewujudkan permintaan sang anak. Ia memilih ruang ini karena ada sofa.

"Ih, Papa jahat, nih." Ciara menyilangkan kedua tangan di depan dada. Bibirnya mulai mencebik sedih.

Rara bergegas menenangkan Ciara yang ngambek. "Tidur sama Miss, eh Mama aja, ya, Cia?"

Ciara menggelengkan kepala dengan cepat. Ia bahkan langsung duduk di lantai. "Cia nggak mau tidur kalau Papa nggak ikut tidur di kasur."

Adududuudu, permintaan Ciara to the point banget, ya, Kak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro