Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Miss Rara, bentar lagi udah boleh aku ganti panggilannya?"

Ciara tiba-tiba muncul di sebelah Rara yang sedang dirapikan kerudungnya oleh MUA. Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu pun menoleh ke samping.

"Ganti panggilan apa, Cia?" tanya Rara dengan nada penuh kelembutan.

"Dari Miss jadi Mama," ucap Ciara dengan senyum semringah. Ia juga merentangkan tangan dengan gembira.

Hati Rara sontak menghangat. Ia lalu merengkuh calon anak tirinya dengan perasaan haru. Sebentar lagi, dirinya akan sah menjadi istri dari Elang Hartadi, ayah dari Ciara, gadis kecil yang tiga bulan lagi berusia tujuh tahun tersebut.

"Cia boleh banget manggil mama ke Miss Rara."

Ciara mengepalkan kedua tangannya ke udara dengan perasaan senang. "Hore! Aku sekarang punya mama!"

Wajah dengan cinta yang tulus untuknya itu, membuat Rara tidak bisa menahan air mata haru untuk membasahi riasannya. Ia buru-buru menyeka sudut matanya dengan tisu.

"Mama, sekarang aja, ya, aku panggilnya. Kelamaan nunggu bentar lagi," ucap Ciara dengan polosnya. "Aku ke depan dulu, ya, Ma. Mau nemenin Papa, biar lancar nanti menikahnya."

Ciara segera berlari keluar kamar dengan suasana hati yang riang. Ia ingin mendampingi sang ayah yang akan menikahi ibu gurunya saat TK dulu karena dirinya sekarang sudah masuk SD. Gadis itu tidak paham apa itu ijab kabul, yang diketahuinya, jika sang ayah duduk dengan pakaian pengantin, tandanya akan menikah.

Sementara itu di dalam kamar. Rara tidak hanya bersama MUA. Bu Sofa, sang ibu turut serata mendampingi putrinya yang sedang dirias. Beliau pun menyaksikan tingkah polos Ciara tadi.

"Kak, beneran sudah yakin menikah dengan Pak Elang?" Bu Sofa masih menyebut calon menantunya dengan pak karena Rara pun masih memanggilnya seperti itu.

Rara menatap ibunya sembari tersenyum manis. Ia pun menganggukkan kepalanya dengan mantap.

Bu Sofa menghela napas panjang. Beliau tidak menyangka, putri sulungnya yang sudah dinantikan pernikahannya, ternyata berjodoh dengan duda satu anak.

"Ya semoga saja, suamimu nanti benar-benar mencintaimu."

"Bu ... doakan saja anakmu ini bahagia, ya." Rara menggenggam tangan sang ibunda. Ia paham tentang kekhawatiran Bu Sofa atas keputusannya yang memilih menikahi duda.

Bu Sofa terdiam. Beliau masih belum ikhlas melepas sang anak menikah dengan duda. Bu Sofa mengharapkan Rara menikah dengan laki-laki bujang. Namun, hatinya juga tersentuh melihat ketulusan Ciara menerima Rara sebagai calon ibu tiri. Hanya calon menantunya saja yang membuatnya cemas. Proses dari lamaran hingga akad nikah cukup singkat, satu bulan saja. Selama itu, tidak didapatinya mata calon menantunya menunjukkan binar cinta untuk putri kesayangannya itu.

"Pasti, Kak. Doa ibu nggak akan pernah putus untuk anaknya." Bu Sofa mengusap bahu Rara. "Kalau Kakak bahagia, ibu dan Ayah pun sama."

Rara meraih tangan sang ibu, kemudian menggenggamnya dengan erat. Menjelang proses ijab kabul, tidak dipungkiri ada perasaan gugup yang melanda. Rara menarik napas panjang, lalu menatap pantulan wajahnya di cermin. Riasan natural yang membuatnya tampil manglingi sangat memuaskan sesuai impiannya sejak lama.

Satu jam kemudian, acara ijab kabul akan segera dimulai. Rara berjalan memasuki hall didampingi ibu dan juga kakak iparnya. Ruangan yang cukup luas itu tampak dipenuhi keluarga besar kedua mempelai. Di sisi kanan gedung, terdapat pelaminan yang sederhana tetapi terkesan elegan dengan nuansa bunga mawar pink dan merah. Di depannya, terdapat meja dan juga kursi berjumlah tujuh buah.

"Mama!"

Ciara melambaikan tangan ke arah Rara yang berjalan menuju meja akad nikah. Pekikan gadis mungil itu membuat Elang sontak menoleh.

"Mama?"

"Miss Rara udah jadi mamaku. Iya, kan, Pa?" Ciara meminta penegasan.

Elang tidak menanggapi pertanyaan Ciara, malah menoleh ke arah Rara yang sudah duduk di samping Ciara. Putrinya itu memaksa ingin ikut duduk di samping ayah dan calon ibu sambungnya.

"Pa ...." Ciara menarik-narik celana putih Elang. "Iya, kan?"

Elang terkesiap. Ia terpana melihat penampilan berbeda Rara yang memakai riasan. Biasanya, ibu guru dari putrinya itu hanya berpenampilan sederhana tanpa make up dengan kerudung segitiga yang dibiarkan menjuntai tanpa dihiasi bros.

"Eh, iya iya."

Ciara tersenyum lebar. Gadis kecil yang mengenakan dress putih lengan pendek dengan bordir di bagian dada itu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya sendiri. Punggungnya pun tegak dengan senyum yang tersungging manis. Matanya berbinar bergantian menatap sang ayah, Rara, dan penghulu.

Elang mengamati wajah Ciara. Perasaannya kini berkecamuk. Antara lega melihat kebahagiaan putri satu-satunya yang terpancar dan juga kesal karena harus melakukan ijab kabul yang tidak diinginkannya. Bagaimana tidak, luka di hatinya masih menganga atas pengkhianatan enam tahun silam.

"Baiklah, mari kita mulai ijab kabulnya," ucap penghulu.

Momen sakral itu pun segera dilaksanakan. Elang menjawab ucapan ijab ayah Rara dengan satu kali tarikan napas. Suasana haru pun menyeruak. Bu Sasti, ibu Elang yang paling tidak bisa menahan tangisnya. Perempuan paruh baya yang mengenakan kebaya brokat berwarna sage itu terus mengusap sudut matanya dengan tisu. Akhirnya, putra satu-satunya melepas masa duda. Bu Sasti sangat bersyukur, perempuan yang kini menjadi menantunya adalah sosok yang direstuinya, berbeda saat pernikahan Elang dengan mantan istrinya dahulu.

Ciara bingung melihat ibu barunya menangis. Saat menoleh ke belakang, ia juga mendapati Oma kesayangannya tersedu.

"Kenapa semua sedih gini?" tanya Ciara lirih dengan bibir cemberut.

Elang hanya menatap sekilas ke sang anak. Ia masih mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Perjanjian besar yang baru saja diucapkannya seakan memberi beban yang teramat berat.

"Bukan sedih, Cia Sayang. Ini tangisan bahagia." Rara memberi penjelasan ke Ciara.

"Oh, begitu, ya, Ma. Tapi, Cia kok, nggak nangis, ya? Padahal, lagi bahagia sekali lihat Papa sama Mama menikah," ungkap Ciara dengan mata berbinar.

Rara tersenyum hangat sembari mengusap rambut putri sambungnya. Ia juga mencuri pandang dengan lirikan sekejap ke arah Elang. Rara lalu mengulas senyum tipis melihat wajah datar suaminya.

"Pa, senyum, dong," bisik Ciara paa Elang. "Lagi di foto itu."

"Oh, iya." Elang memasang senyum tipis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro