Sembilan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang mulai bingung menyusun kata-kata mendengar pertanyaan Rara. Ia ingin dengan tegas mencabut kata-katanya saat itu. Sementara itu, Rara harap-harap cemas menanti Elang bersuara. Ia sudah telanjut berharap lebih. Perempuan dengan rambut ikal dikuncir kuda itu beranjak dari posisinya.

"Pak, eh, Mas."

Rara sudah duduk menghadap Elang. Hal itu sempat membuat sang suami terkejut. Tak lama kemudian, Elang pun ikut duduk. Mereka akhirnya berhadapan.

"Ada yang salah dengan ucapan Mas dulu itu. Benar?"

Rara tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia bukanlah wanita yang tidak punya prinsip.

Elang terperangah. Tidak menduga istrinya bisa seterusterang itu. Ia pun menganggukan kepala dengan lambat.

"Ucapan dulu dan tadi di hadapan Ciara itu sangat bertolak belakang, Mas. Aku sebagai istri, jujur sangat sakit mendengarnya."

"Maaf, Dik. Aku tidak tahu harus bilang bagaimana sekarang."

"Aku cuma minta satu hal. Cabut janji untuk Ciara." Rara berusaha bersikap tegar. Rasanya kini dadanya sudah sesak. Ia menahan air mata untuk muncul.

Elang terkesiap melihat mata Rara yang sudah berembun. Ia tidak menyangka ucapannya teramat menyakitkan hati perempuan yang rela menjadi ibu sambung daru putrinya.

"Aku butuh waktu. Maksudnya, aku tetap pada janjiku pada Ciara."

Rara mengerjap kaget. "Lalu? Jangan tidak punya prinsip gini, Mas. Aku ini istri yang berusaha patuh pada suami. Kalau Mas bilang seperti itu sama Ciara, lalu bagaimana aku menjalaninya?"

Elang tidak menyangka Rara bisa setegas ini. Ia hanya berpikir bahwa Rara adalah perempuan lemah yang mau saja dijodohkan dengan duda beranak satu. Malam ini, Elang paham bahwa istrinya berbeda dengan Valia atau mungkin perempuan di luar sana.

"Tolong, anggap saja kata-kata yang dulu itu tidak pernah terucap." Elang menundukkan wajahnya. Ia menyadari dirinya adalah pecundang. "Maaf."

Rara terdiam sembari menatap Elang yang merasa bersalah. Helaan napas panjang terdengar dari bibir yang mulai bergetar menahan tangisan. Rara ingin kalimat yang jelas keluar dari bibir suaminya.

"Mas maunya gimana?" tanya Rara seraya menyeka air di ujung matanya. "Jangan buat aku bingung. Oke, kalau memang satu tahun pernikahan aku diceraikan. Tapi ... aku nggak terima Ciara dibohongi seperti."

Kepala Elang terangkat. Ia tersentak mendapati mata Rara sudah basah. Seolah ada tamparan keras di pipi hingga membuat perempuan yang tulus menyayangi anaknya menangis. Keegoisan Elang akan keyakinannya bahwa semua perempuan senang menyakiti seolah menguap. Ia sendiri yang sekarang menjadi penjahatnya.

"Aku minta maaf, Dik. Sudah, jangan diingat kata-kata setahun bercerai itu. Aku salah, nggak seharusnya ngomong seperti itu."

Rara berdecak kesal. Ia menerima permintaan maaf itu. Namun, dirinya juga butuh kepastian akan dibawa ke mana pernikahan yang baru berumur satu bulan ini. Permintaan Ciara semakin memperumit hubungannya dengan suami.

"Kita jalani seperti ini saja," ucap Elang akhirnya. Ia bingung mengutarakan pikirannya. Masih ada trauma mendalam atas komitmen di masa lalu. Dirinya belum mau terikat penuh dengan istrinya. Elang takut akan kembali terkhianati seklaipun Rara tetaplah Rara, bukan Valia.

Rara manggut-manggut. Ia memkasa senyuman terbit di bibirnya.

"Aku tidur dulu, Mas."

Elang bergeming. Matanya terus menatap Rara yang kembali berbaring, kini memunggunginya. Suasana tidak hangat malam ini sepertinya akan berlajut esok harinya.

***

Rara tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia terus memikirkan ucapan-ucapan suaminya. Dirinya berusaha untuk tidak mencipta harapan. Menarik ucapan menyakitkan untuk berpisah dan memilih berjanji kepada Ciara. Rara tidak mau berharap lebih tentang urusan hati.

Saat waktu menunjuk pukul dua dini hari, Rara mulai beranjak dari pembaringan. Rara memilih untuk pergi ke kamar mandi mengambil air wudhu. Ia ingin mengadukan keluh kesahnya kepada dzat yang maha memberi segalanya.

Rara kembali ke kamar. Tatapannya tertuju pada Elang yang tidur menghadap pintu kamar. Sosok yang mampu memorakporandakan hatinya itu tampak tenang. Rara mendesah pelan. Ia ingin sang suami memperjelas ucapan yang berkaitan dengan janji kepada Ciara. Adik bayi akan hadir jika suaminya itu menyentuhnya.

Rara mulai mengenakan mukena. Ia lalu mendirikan salat malam. Dirinya memang belum rutin melaksanakan salat tahajud. Rara sadar, jika sedang ada maunya, ia akan mendekat. Terkadang, ia bersyukur diberi masalah. Manusia memang seruwet itu.

Selesai salam, Rara mulai berzikir. Tangannya lalu terangkat. Tak terasa air mata mengalir deras. Dalam muanajatnya, ia meminta agar hati sanga suami dibukakan untuknya. Rara pun terisak pilu hingga menutup matanya dengan kedua tangan. Rara tidak sadar jika Elang terbangun.

Elang semakin merasa bersalah melihat pemandangan ini. Namun, dirinya tidak memiliki keberanian untuk merengkuh Rara dalam dekapannya. Ia pun kembali memejamkan mata. Dalam gelapnya pandangan, ia bisa mendengar aktivitas Rara yang kini keluar kamar.

Rara berbelok ke kamar Ciara. Putri sambungnya itu masih terlihat lelap. Rara pun merapikan selimut berwarna biru muda bergambar unicorn tersebut yang sudah berada di telapak kaki Ciara. Ia sudah paham jika dalam tidurnya, Ciara akan menendang selimut. Rara lalu menutupi tubuh gadis kecil dengan selimut hinga leher. Tangannya lalu mengusap rambut lurus itu dengan lembut.

"Terima kasih sudah memilihku untuk jadi ibumu. Terima kasih sudah mencintaiku dengan tulus, Ciara."

Rara menatap wajah Ciara dengan hati yang menghangat. Keharuan sontak merebak. Perempuan bernama lengkap Rachita Andini itu kembali meneteskan air mata. Menjelang siklus bulanan, perasaannya seringkali begitu peka. Ia akan mudah menjadi cengeng. Rara pun segera mengusap air matanya. Ciara jangan sampaiterbangun dan melihatnya menangis. Ia pun segera beranjak dari duduk.

Rara berjalan menuju dapur. Ia lalu mengecek stok makanan beku di freezer. Ada nugget crunchy kesukaan Ciara, sosis ayam, dan French fries. Rara mengeluarkan semuanya dan mengambil secukupkan bahan-bahan tersebut untuk diolah sebagai bekal Ciara nanti. Rara sangat bersemangat menyiapkan makaanan yang akan dibawa putrinya itu ke sekolah.

"Seandainya suamiku mau dibawakan bekal juga," ucap Rara dengan lirih. Ia iri dengan konten-konten di sosial media tentang istri yang menyiapkan beragam makanan untuk makan siang suaminya di tempat kerja.

Azan Subuh masih satu jam lagi. Rara tidak mungkin memasak lauk. Itu adalah zona mertuanya. Ia hanya bisa membantu menanak nasi. Rara pun mulai membersihkan rumah. Biasanya, saat Bu Sasti memasak, dirinya baru membereskan rumah.

"Seru juga bersih-bersih pagi banget."

Rara membuka pintu depan. Langit masih gelap. Hanya ada beberapa bintang yang berkelip. Sapu yang sudah ada di tangan, diletakkannya di depan pintu. Rara malah asik duduk menikmati langit.

Romantis mungkin duduk berdua suami sambil menikmati the panas di sini. Eh, nggak harus dini hari. Malam kayaknya seru.

Rara menggelengkan kepalnya dengan kuat. Ia tersipu sendiri membayangkan hal-hal manis yang seolah sulit diwujudkannya.

"Ra, kenapa?"

Rara melonjak kaget begitu terdengar suara menyapanya. "Astagfirullah, Bu. Kaget saya."

"Kamu ngapain pagi buta gini nongkrong di teras?" tanya Bu Sasti yang masih terheran mendapati sang menantu melamun di teras.

Rara mulai cengengesan. Ia bergegas meraih sapu yang ada di samping ibu mertuanya. "Ini mau nyapu, Bu."

"Owalah, kirain ngapain, Ra. Ya udah, Ibu mau siap-siap ke masjid dulu."

"Iya, Bu." Rara tersenyum lebar sembari memperlihatkan gigi gingsul di taring kanan atas.

Bu Sasti masuk ke rumah. Saat melewati ruang tengah, ia berpapasan dengan putra tunggalnya.

"Siapa pagi-pagi bertamu, Bu?"

"Bertamu?" Bu Sasti menautkan kedua alisnya. "Mana ada."

"Kayaknya Ibu tadi ngobrol di depan."

"Oh, itu Rara."

"Ngapain di sana?"

"Nongkrong." Bu Sasti berucap sembari berlalu menuju kamar mandi. Beliau sudah tidak tahan untuk buang air kecil.

Elang menoleh ke arah ruang tamu. Ia bermaksud menyusul sang istri. Bisa jadi suasana hati Rara sudah membaik karena obrolan semalam. Baru tiga langkah, Rara sudah muncul di hadapannya.

Rara tersentak mendapati Elang sudah bangun. Ia terdiam sembari menatap mata suaminya dengan tanpa senyuman. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro