Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang terpaku mendapati tatapan Rara. Pandangan yang mudah diartikannya. Kekecewaan atas ucapannya semalam. Elang ingin bersuara, tetapi lidah dirasakannya sangat kelu. Rara pun berlalu dari hadapannya menuju dapur.

Elang mendesah pasrah mendapati suasana yang sedingin pagi ini. Bertahun-tahun menduda dan tidak menjalin hubungan sama sekali dengan perempuan, membuatnya seolah harus belajar memahami makhluk bernama wanita itu.

"Pagi bener bangun, Lang?"

Bu sasti yang baru keluar dari kamar mandi heran melihat putranya sudah ada di ruang tengah.

"Biasanya juga gini, Bu."

"Setelah nikah baru gini."

"Yak an harus berubah, Bu."

Bu Sasti hanya senyum-senyum menggoda seraya mauk kamar. Beliau bersyukur, perubahan baik Elang setelah menikah dengan Rara semakin terlihat. Hanya satu yang dinantikan Bu Sasti, melihat kemesraan anak dan menantunya itu.

Elang berjalan menuju kamar mandi. Namun, ia berpapasan dnegan Rara yang juga akan menggunakan tempat tersebut.

"Duluan aja." Elang mempersilakan.

Rara menggelengkan kepala. "Mas aja dulu."

"Nggak papa, aku nanti aja."

Rara terkesiap. Elang sudah benar-benar membahasakan diri lebh akrab.

"Mas yang mau ke masjid. Sudah mau azan. Aku nanti saja." Rara mengikuti gaya berbicara Elang.

Elang tersenyum manis seraya mengangguk. "Baiklah, aku dulu."

Rara manggut-manggut. Ia lalu kembali ke ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Dalam keheningan di ruang paling belakan rumah ini, Rara menghela napas panjang. Pikirannya mulai dipenuhi harapan-harapan yang sebisa mungkin sudah ditahannya untuk muncul. Ia ingin menjalani pernikahan semsetinya dengan penuh cinta bersama suaminya.

Kalau bukan aku yang memperjuangkannya, siapa lagi? Nunggu suami yang mulai?

Rara benar-benar bingung bersikap. Sudah satu bulan lebih usia pernikahan mereka, bahkan hampir menginjak dua bulan. Rara meletakkan kedua siku di atas meja makan. Ia lalu mencengkeram rambut tebalnya dengan kuat.

"Sakit kepala, Dik?"

"Hah?!"

Rara melonjak kaget. Ia tidak sadar jika Elang sudah keluar dari kamar mandi.

"Eh, maaf. Bikin kaget, ya?"

Rara sontak menggelengkan kepala. "Nggak papa, Mas."

Elang ikut duduk di sebelah Rara. "Lagi nggak enak badan?"

Rara bingung mendapati pertanyaan itu. "Baik-baik aja, kok."

"Oh, syukurlah. Tadi kayak skait kepala jambak-jambak rambut sendiri."

"Bukan apa-apa kok, Mas. Aku ke kamar mandi dulu." Rara langsung meninggalkan Elang yang masih berada di posisinya.

Elang menatap punggung sang istri yang berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia kecewa melihat Rara yang seperti menghindarinya. Semua memang karena kata-kata yang keluar dari bibirnya kemarin.

***

Persiapan berangkat sekolah dan ke kampus dan sarapan sudah rampung sejak

Pukul setengah tujuh. Ciara sudah bersiap berangkat. Gadis kecil itu pun segera berpamitan ke neneknya.

"Yang pinter di sekolah." Bu sasti menghujani sang cucu dengan kecupan sayang.

"Iya, Oma." Ciara lalu berjalan menyusul ayahnya yang sudah ada di teras.

"Mama mana?" tanya Elang yang tidak mendapati istrinya bersama Ciara.

"Masih masukin bekal."

"Bekal?" tanya Elang semabri menatap Ciara.

"Iya, bekal kakak, Papa."

"Papa nggak dibuatin?"

"Ih, udah gede bawa bekal." Ciara tertawa. Bayangannya, yang boleh membawa bekal hanyalah anak sekolah saja.

"Papa kan juga lapar kalau siang, Ci, eh, Kak."

"Coba minta sama Mama."

"Nggak usah, deh. Ayo masuk mobil dulu."

Ciara manggut-manggut. Ia meraih tangan Elang yang terulur. Ayah dan anak itu pun berjalan menuju garasi. Mereka kemudian masuk ke mobil. Elang mulai memanasi mesin.

"Katanya udah mau jadi kakak, kok masih ditungguin di sekolah?" Elang membuka pembicaraan dengan putrinya.

"Kan aku baru masuk kelas satu, Pa."

"Baru apanya, udah satu bulan."

Ciara terdiam sejenak. "Nanti kalau Mama nggak jagain, pas kakak sekolah, tiba-tiba Mama pulang ke rumah Oma Mojokerto. Kakak nggak mau."

Ciara masih belum paham siapa nama ibu Rara. Ia pun memanggilnya dengan sebutan Oma Mojokerto.

"Ya enggaklah, Kak. Mama nggak akan pergi dari rumah kita."

"Janji?"

Elang manggut-manggut. "Kalau Mama nggak jagain di sekolah, bisa ajdi adik bayi segera ada di perut Mama."

"Bener, Pa?!"

Ciara membeliak kaget. Ia mengepalkan kedua tangan dengan gembira saat Elang menganggukkan kepala.

Suara ketukan di kaca mobil terdengar. Rupanya Rara sudah datang.

"Pa bukain jendela mobil aja. Jangan pintu." Ciara memberi instruksi pada ayahnya. Elang menuruti permintaan sang anak.

"Kok nggak dibukain pintu, Kak?" tanya Rara bingung.

Ciara menggelengkan kepalanya. "Mana bekal Kakak, Ma?"

"Ini udah ada. Bukain dulu kuncinya. Atau mama duduk di belakang?"

"Nggak. Mama di rumah aja."

Rara megernyit heran. Ia lalu menatap Elang. Suaminya malah emnganggukkan kepala sembari tersenyum manis.

"Ciara minta dijemput aja, Dik. Udah nggak mau ditungguin."

Rara terkejut. "Masa sih, Kak? Mama nggak nungguin?"

Ciara manggut-manggut. Ia lalu meminta bekalnya. "Oh, iya, Ma. Papa minta dibawain bekal juga tadi. Iri lihat kakak bawa bekal."

Elang sontak salah tingkah. Ia sibuk membenarkan kunci mobil yang sudah terpasang dengan baik.

Rara terpaku di tempatnya berdiri. Sedetik kemudian ia pun bersuara.

"Udah aku siapin kok, Mas. Bentar ya, aku ambilkan dulu."

Elang mendongakkan kepala. Tanpa sadar ia pun manggut-manggut. Rara ternyata masi peduli dengannya. Senyuman samar pun terbit di bibirnya.

Tidak lama kemudian, Rara kembali dengan sebuah tas kecil berwarna biru muda berisi dua kotak bekal berwarna navy. Ia sudah berinisiatif membawakan bekal untuk Elang saat melihat suaminya begitu lahap menikmati sarapan. Menu yang dimasak mertuanya adalah kesukaan Elang, tumis cumi hitam pedas. Ia tinggal menambahkan nugget dan sosis yang sudah disiapkannya untuk Ciara.

"Terima kasih, Dik," ucap Elang begitu Rara mengulurkan tas berisi bekal tersebut.

"Sama-sama, Mas." Rara mengalihkan pandangan ke Ciara. "Nanti tunggu mama jemput ya, Kak. Nggak boleh main ke mana-mana."

"Iya, Mama."

Ciara pun mengecup tangan Rara. Sementara itu, ibu sambungnya berbalas mengecup keningnya. Elang yang menyaksikan pemandangan itu merasa mereka bukanlah ibu dan anak tiri. Mereka seperti terlahir dengan darah yang sama.

"Mama di rumah aja ya. Tunggu sampai adik abyi ada di deprut Mama," ucap Ciara sebelum mobil melaju.

Rara tidak berekspresi. Ia hanya melambaikan tangan, membalas lambaian Ciara.

"Adik bayi di perut Mama?" Suara Bu Sasti terdengar dari belakang. Rara pun tersentak.

"Eh, itu ucapan Mas Elang ke Ciara, Bu." Rara pun salah tingkah. Tema yang akan dibahas mertuanya terlalu sensitive baginya.

"Bagus dong, Ra. Ciara udah cukup besar untuk punya adik. Apalagi udah ngebet minta sendiri."

Rara tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun merasakan tangan snag mertua mengusap bahunya.

"Sabar, ya, Nak. Elang nanti juga akan luluh. Pernikahan kalian memang bukan diawali pacaran. Tapi ibu bersyukur dengan proses ini."

Rara terkesiap. Ia bersyukur memiliki mertua yang bisa memahami kondisinya.

"Bagaimana kalau weekend ini kalian berdua bula madu saja?"

"Hah? Bulan madu, Bu?"

"Iya, nginep di mana gitu. Jangan jauh-jauh. Ke Batu apa Bromo gitu."

Wajah Rara sontak bersemu merah. Tempat yang disebutkan mertuanya itu adalah loaksi dengan suhu udara yang dingin. Memang cocok untuk yang ingi berbulan madu.

"Nanti Ciara nyariin kami, Bu."

"Ciara gampang. Kalau dibilang biar cepat punya adik bayi pasti dibolehin."

"Mas Elang mungkin nggak mau, Bu."

"Mau, mau. Kan belum dicoba. Nanti ibu bantu ngomong."

"Jangan deh, Bu. Saya malu, nih."

"Suami istri kok, malu-malu. Tenang aja, ada ibu."

Rara hanya bisa tersenyum malu-malu. Mertuanya memang selalu bisa diandalkan. Ia pun berharap, rencana yang dikemukakan Bu Sasti di ACC oleh Elang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro