Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu Din! Pak Elang bawa bekal!" seru Sakti begitu Elang membuka bekal yang dibuatkan Rara.

Elang hanya tertawa mendengar ucapan rekan kerjanya itu. "Saya makan dulu, ya, Pak."

Dinar yang berjalan ke meja Sakti dan Elang tergelak. "Jomlo mah iri aja, Pak."

Ruang dosen pun dipenuhi gelak tawa dari dosen-dosen muda tersebut. Beruntung dosen senior sedang berada di luar ruangan. Ada juga satu dosen senior yang ada di sana, tetapi laki-laki yang sudah berusia di atas lima puluhan itu terlaku cuek dengan sekitarnya.

"Enak banget menunya, Pak. Tumis cumi hitam." Dinar memindai pandangan di kotak bekal Elang.

"Karena enak ini, Bu. Jadi nggak saya bagi." Elang kembali menikmati makanannya.

"Tuh denger Pak Sakti. Jangan ngarep dibagi," goda Dinar.

"Ya sadar dirilah saya, Bu," ucap Sakti. "Eh, Pak. Kapan ini istrinya dikenalin ke kita? Nggak ada resepsi di Malang juga nikahnya."

"Betul ini. Suami saya udah kenal sama kalian, sekarang istri Pak Elang harus dikenalkan."

Elang meletakkan sendok. Dalam aktivitas mengunyahnya, ia memikirkan ucapan kedua koleganya. Tidak ada salahnya mengenalkan Rara sebagai istrinya. Dirinya sudah merasa siap untuk itu. Tidak seperti hari-hari awal pernikahan yang dijalani dengan terpaksa tersebut.

"Oke, nanti saya ajak istri saya. Eh, minggu depan ada undangan resepsi pernikahan anak Pak Dekan, ya?" Elang memastikan undangan yang sudah masuk satu minggu yang lalu tersebut.

"Nah, momen pas itu, Pak." Dinar menepuk tangannya.

"Tinggal saya yang nggak ngenalin," ujar Sakti dengan wajah memelas.

"Anda jomblo, Pak," sahut Elang dan Dinar bebarengan. Circle mereka memang cukup rame di jurusan.

Sakti berlalu dengan wajah manyun. Hal itu semakin membuat kedua temannya tertawa senang.

"Pak, udah pernah ke Jatim Park 2?"

"Udah, Bu. Kenapa?"

"Saya punya tiga tiket nganggur dari kantor suami. Nah, waktunya itu gak bisa diganti. Harus Sabtu ini. Masalahnya, saya udah janji mau mudik ke rumah mertua. Pak Elang mau?"

Elang terdiam sejenak. Ia sudah dua kali ke tempat wisata yang memperkenalkan aneka satwa tersebut. Tiba-tiba saja terlintas ide untuk mengakhiri suasana dingin dengan istrinya.

"Mau, Bu. Makasih sebelumnya, ya."

***

Hari pertama menjemput sekolah berjalan dengan lancar. Ciara tidak rewel sama sekali ketika tidak ditungguin ibunya. Rara sampai heran karena saat TK dua tahun penuh gadis kecil itu harus ditungguin oleh neneknya meskipun di halaman sekolah.

"Kakak mau beli kue?" tanya Rara saat Ciara akan naik motor. Ia tengah memakaikan putrinya helm. Hukumnya wajib bagi Elang dan Rara untuk Ciara saat dibonceng motor harus mengenakan helm.

"Enggak, mau langsung pulang aja."

"Beneran? Nggak mau jalan-jalan dulu kayak biasanya?"

"Iya, Mama."

Rara takjub mendapati perubahan Ciara. Namun, muncul setitik kekhawatiran akan kondisi sang anak.

"Kakak lagi sakit?"

"Enggak. Udah pulang aja, Ma." Ciara pun bergegas naik ke atas motor Scoopy milik Bu Sasti.

Rara mulai melajukan motor dengan kecepatan sedang. Ia terus meminta Ciara tidak melepas tangan mungilnya yang sudah melingkar di perutnya.

"Kakak kenapa minta cepat pulang?" tanya Rara begitu motor berhenti di lampu merah.

"Biar Mama di rumah."

"Hah? Kan, mama emang di rumah. Nggak akan pergi ke Oma Mojokerto, kok. Ke sana bareng sama Kakak Cia nanti."

Ciara menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan tetap mendekap Rara dari belakang. "Bukan itu. Kata Papa, kalau Mama di rumah terus, adik bayi bisa cepat datang di perut Mama."

Deg! Rara tanpa sadar tersenyum mendengar alasannya Ciara. Ia geleng-geleng kepala mendapati doktrin Elang pada Ciara.

"Udah ada di perut sekarang, Ma?"

"Siapa?"

"Adik bayi-lah."

"Belum, Kak. Didoain ya pas solat. Semoga mama bisa cepat hamil."

"Oh, hamil ya." Ciara seperti tidak asing mendengar kata tersebut.

"Iya. Hamil itu perut ibu jadi besar karena ada bayi di dalamnya."

Ciara manggut-manggut. Ia lalu mengusap perut Rara sehingga membuat sang ibu geli sendiri. Mereka pun tertawa bersama hingga tidak sadar lampu sudah hijau.

Tiiin! Tiin! Tiin!

"Jangan bercanda di jalan, Bu!" seru seorang bapak mendahului motor Rara. Wajahnya tampak kesal.

Rara tersenyum canggung. Ia pun melajukan motor membelah keramaian jalanan Kota Malang. Lima menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah.

"Loh, Papa udah pulang," kata Ciara begitu melihat mobil Elang sudah terparkir di depan rumah.

Rara menghentikan motor di halaman. Ia pun bertanya-tanya kenapa Elang sudah ada di rumah siang ini. Biasanya sang suami pulang dari kampus sore hari.

"Papa!" Ciara berlari ke dalam. Ia pun disambut oleh Elang yang baru keluar dari kamar.

"Waah, anak papa sudah datang." Elang merentangkan tangan menyambut Ciara yang kemudia digendongnya. "Gimana sekolahnya?"

"Biasa aja."

"Masa biasa aja?" tanya Elang.

"Maksud Ciara seperti biasanya, Mas." Rara yang sudah ada di anatar mereka menyahut.

"Oh ... gitu." Elang takjub dengan pemahaman Rara terhadap bahasa Ciara. "Nggak rewel tadi nggak ditungguin?"

"Enggak. Kan biar dapat adik bayi," ucap Ciara dengan penuh semangat.

Kalimat singkat tapi langsung membuat dua orang dewasa yang ada di dekat Ciara bermain dengan pikirannya masing-masing.

"Iya kan, Pa?"

"Eh, iya, Sayang. Ya udah ganti baju sana."

Ciara patuh. Ia segera masuk ke kamar diikuti Rara.

"Dik, sebentar sini dulu." Elang mengajak rara duduk di sofa.

Rara tidak langsung menanggapi suaminya. Ia agak trauma dengan ajakan bicara Elang. Takut jika aka nada pembahasan yang menyakitkan.

"Dik?"

"Iya, Mas. Kenapa?" Rara kini sudah duduk di dekat Elang.

"Bisa minta nomor rekening?" Elang sudah siap dengan ponsel di tangan.

"Buat apa, Mas?" Rara tentu heran dengan permintaan tidak biasa itu.

"Mau transfer."

Rara tidak mau berharap mendapat nafkah. Ia menunggu saja kesadaran dari sang suami. "Maksudnya mau pinjam buat transfer?"

"Bukan, mau kutransfer buat nafkah."

Rara terkesiap. Hatinya ontak menghangat. Ia usdah merasa diperlakukan selayaknya sebgai istri di bulan kedua pernikahan sekalipun belum seutuhnya.

"Oh, boleh. Sebentar." Rara mengeluarkan ponsel dari tas selempang yang dibawa untuk menjemput Ciara tadi.

"Kirim ke WA ya."

Rara menghentikan aktivitas tangannya. Ia lalu menarik napas panjang. "Kita belum saling menyimpan nomor WA, Mas."

Elang yang sedang duduk sembari menempelkan punggung di sandaran sofa sampai menegakkan tubuhnya. "Maaf aku belum minta."

Rara mengangguk pelan. Akhirnya, tiba masa di mana nomornya akan disimpan oleh Elang.

"Nomor WA berapa, Dik?"

Rara pun menyebutkan nomornya. Berbincang seperti ini saja sudah membuat jantungnya berdetak lebih keras. Memang, jantung tidak akan pernah bohong kepada siapa dia akan berdegup lebih kencang.

"Sudah aku WA."

Rara segera mengecek ponselnya. Nama Suamiku disertai emotikon love berwarna merah muncul di chat teratas. Ia sudah menyimpan nomor Elang jauh sebelum mereka menikah. Rara mengambilnya dari dokumen yang akan diserahkan ke KUA.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro