Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kirim nomor rekening, ya."

"Iya, Mas." Rara mulai mengetik nomor rekeningnya. "Sudah."

Elang mulai sibuk dengan ponselnya. Ia segera mengirimkan kewajibannya kepada sang istri. "Sudah masuk."

Rara mengecek m-Banking. Ia bersyukur menadapat berapapun dari suami.

"Terima kasih, Mas."

"Sama-sama, Dik. Kalau kurang buat kebutuhan pribadi, minta saja. Untuk kebutuhan rumah sudah aku kirim ke Ibu, seperti biasa. Tidak apa-apa, kan?"

Rara menggelengkan kepala dengan kuat. "Ini sudah lebih dari cukup, Mas."

Hati Elang tersentuh mendapati respon dari Rara. Sebenarnya, dirinya bisa memberi lebih. Ia hanya ingin melihat reaksi istrinya. Apakah sama seperti Valia dulu yang selalu menuntut lebih? Ternyata sangat berbeda!

"Mama! Kakak lapar."

Ciara berlari mendekati ibunya. Ia sudah berganti pakaian.

"Kakak mau makan di luar?" tawar Elang.

"Mauuuu!"

"Oke, kita siap-siap."

Ciara kembali ke kamarnya. Ia terlihat sangat bersemangat. Baginya, makan di luar adalah saat yang menyenangkan. Ia bisa meminta semua yang tidak ada di rumah.

"Mas nggak balik ke kampus?" Rara memberanikan diri bertanya.

"Enggak, tadi ada tugas keluar tapi ternyata cuma sebentar."

Suasana kembali hening. Sepasang suami istri itu kembali diterpa suasana canggung.

"Loh, Ibu belum dikasih tahu." Rara beranjak dari posisinya. Ia bermaksud menemui ibu mertuanya di dapur, tempat favorit Bu Sasti.

"Ibu ada acara di tetangga. Tadi papasan pas baru datang."

"Oh, begitu."

Keheningan kembali menyergap. Rara paling benci suasana ini. Ia ingin bergelayut manja di lengan suaminya ketika duduk berdua di sofa ini. Namun, semua masih impian.

"Kakak sudah siap." Ciara datang dengan celana jeans dan tunik motif bunga. Ia memang sudah terbiasa memilih dan memakai baju sendiri meskipun lemari menjadi berantakan.

"Sini mama kuncir rambutnya."

Rara mulai merapikan rambut hitam sedikit ikal milik Ciara. Ia beberapa kali membatin jika rambut gadis kecil ini membawa gen dari ibunya. Elang dan Bu Sasti memiliki rambut yang lurus semua.

Tidak lama kemudian mereka berangkat menuju tempat makan. Rumah makan lesehan menjadi pilihan Ciara. Gadis itu mengincar ikan bakar madu kesukaannya. Selain itu, di sana juga dikelilingi kolam ikan. Ciara begitu bersemangat memindai ikan-ikan dari gazebo tempat mereka duduk.

"Dik, Sabtu ini kita ke Jatim Park 2." Elang membuka percakapan setelah memesan menu.

"Ngapain, Mas?" Pertanyaan konyol yang sontak keluar dari bibir Rara. "Eh, maksudnya dalam rangka apa?"

"Liburan bertiga aja." Elang lalu menjelaskan tentang tiket yang didapatnya.

"Ibu diajak sekalian, Mas."

"Ibu ada dasawisma. Kita bertiga nggak papa. Lagian, Ibu udah dua kali ke sana, bosen bilangnya."

"Ciara sudah tahu?"

"Belum nanti kita kasih kejutan saja. Langsung diajak ke sana."

"Bagus ini, Mas." Rara setuju dengan ide Elang.

"Sekalian nginep di Hotel Pohon Inn."

Mendadak pipi Rara terasa panas. Ia teringat ucapan mertuanya tentang honeymoon. Namun, bulan madu kok bertiga sama anak?

***

Hari yang dinantikan Ciara beserta kedua orangtuanya pun tiba. Elang sendiri yang tidak sabar memberitahu sang anak. Kejutan pun gagal total.

Rara sudah bersiap bahkan seteah selesai sarapan. Padahal rencana berangkat baru pukul sembilan pagi, masih satu jam kemudian. Rara pun masih menyelesaikan cucian baju yang tinggal dijemur. Sementara itu, Elang tengah mempersiapkan mobil.

Bu Sasti berjalan menuju garasi. Beliau ingin menyampaikan sesuatu kepada putra tunggalnya itu.

"Kenapa, Bu?" tanya Elang sembari mengeringkan bagian luar mobilnya.

"Emm, kalian jadi nginep, kan?"

"Iya jadi, Bu."

"Gini, Lang. Apa Ibu perlu ikut?" Bu Sasti agak segan mengutarakannya. Hal yang ingin disampaikan terlalu sensitif.

"Boleh. Katanya mau dasawisma?"

"Bisa nitip arisannya."

Elang manggut-manggut. "Ya udah buruan siap-siap, Bu."

"Iya." Bu Sasti masih tetap di tempat. Hal itu menjadikan Elang penasaran dengan ibunya.

"Apalagi, ibuku sayang?"

"Nanti pesan kamarnya dua, kan?"

Elang mengernyit. Ia seperti tahu maksud ibunya.

"Satu, Bu. Hemat," jelas Elang sembari melanjutkan pekerjaannya.

Bu Sasti berdecak kesal. "Ibu nggak jadi ikut!"

Elang tersentak mendapati ucapan emosional ibunya. Meskipun ibunya marah, hal tersebut malah membuatnya terkikik sendiri. Ia paham maksud ibunya menginginkan dua kamar.

***

Sesuai rencana, jam sembilan Elang dan keluarga kecilnya akan berangkat ke Batu. Ciara sudah heboh saja. Memang bukan pertama kali dirinya ke Jatim park 2. Namun, ini adalah pengalaman pertama berwisata dengan orang tua yang lengkap seperti teman-temannya. Biasanya ia hanya bersama ayah dan neneknya saja.

Wajah Bu Sasti masih terlihat masam. Elang terkikik sendiri. Hal itu membuat Rara jadi bertanya-tanya.

"Ibu kenapa ya, Mas? Tadi baik-baik aja, deh. Apa nggak diajak saja?" tanya Rara saat abru masuk ke mobil. Ia sudah tahu tempat duduknya sekarang, di samping Elang. Sementara itu, Ciara duduk di kursi belakang.

"Nggak papa, kok. Udah bosan Ibu ke sana."

"Tapi jadi nggak tenang ninggalin Ibu kalau suasana kayak gini."

"Nggak papa, Dik. Ibu kadang suka kayak gitu."

Rara menatap sang mertua yang tengah berbincang dengan Ciara lewat jendela mobil. Ia pun berharap tidak ada masalah apapun antara dirinya dan sang mertua.

"Oma mau dibawakan oleh-oleh apa?" tanya Ciara.

Bu Sasti melirik Elang yang sudah bersiap di balik kemudi. "Dibawakan cucu baru!"

Elang dan Rara terkesiap mendengar permintaan Bu Sasti yang terucap dengan nada cukup nyaring. Kikikan pun terdengar dari bibir ayah Ciara. Rara yang ada di sebelahnya masih terkejut dengan keinginan sang mertua.

"Cucu Oma kan kakak. Masa mau yang baru?" protes Ciara. Ia belum paham maksud neneknya.

"Maksud Oma, dibawakan adik bayi. Kakak Ciara mau, kan?"

"Oh, iya mau banget. Tapi Mama Rara belum hamil."

Rara kembali terkesiap mendengar pembicaraan dua perempuan berbeda generasi itu. Apalagi Ciara sudah mulai mengerti tentang kata hamil. Ia menduga pasti dari pembicaraan saat di atas motor dulu.

"Iya gapapa." Bu Sasti mulai kebingungan sendiri. Beliau kembali melirik sang putra. Elang tengah senyum-senyum. "Ya udah berangkat sana. Kakak jangan rewel, ya, Nggak boleh bikin repot Mama. Bubuk yang nyenyak."

"Siap, Oma." Ciara melambaikan tangan kepada neneknya.

Elang mulai menghidupkan mesin. Ia mulai memundurkan mobil.

"Ibu ini aneh-aneh aja. Minta kayak gitu kok ke Ciara. Ke anaknya langsung kan bisa."

Rara sontak menoleh ke arah Elang yang tengah mengawasi spion. Ia yakin mendengar perkataan Elang dengan jelas. Hatinya mulai menghangat. Seolah ada setetes air yang menyirami hatinya yang layu.

Tidak sampai satu jam, mereka sudah sampai di lokasi. Setelah memarkir mobil, mereka pun keluar untuk menuju tempat pemesanan tiket.

"Dik, apa langsung check in aja?"

"Boleh pastinya capek nanti Ciara habis muter, Mas. Biar langsung istirahat."

"Ya udah, kita keluarkan koper dulu. Kalian duluan saja, tunggu di loby hotel."

Elang segera membuka bagasi dan mengeluarkan satu koper yang sudah disiapkan Rara. Saat menyeret koper, ada perasaan bahagia menyapa relung hatinya. Sebuah ketenangan atas trauma masa lalu yang bertahun-tahun menghinggapi. Belum seutuhnya, tetapi Elang sudah mensyukurinya.

Jarak Elang melangkah ke tempat anak istrinya menunggu sudah dekat. Ciara terlihat melambaikan tangan dengan antusias ke arahnya. Elang pun membalas lambaian itu. Rara yang di samping Ciara tersenyum menyambutnya. Perempuan yang mengenakan rok lipit krem dan tunik polos berwarna putih dengan belt di pinggang mendadak terlihat lebih cantik di hadapannya. Elang mulai terpesona oleh senyuman perempuan dengan kerudung segiempat berwarna cokelat tua dengan bros bunga kecil tersemat di bawah bahu sebelah kiri.

Apa aku mulai jatuh cinta?

"Papa cepetan!"

Pekikan Ciara membuyarkan lamunan Elang. Ia pun salah tingkah begitu berada di dekat Rara.

"Aku bawakan aja kopernya."

"Oh, silakan." Elang memberikan koper berwarna abu tua itu ke istrinya. Ia langsung ke resepsionis.

Rara mengikuti di belakang Elang. Ia pun mendengar perbincangan suami dan karyawan hotel tersebut. Elang memilih kamar dengan twin bed. Mendengar hal itu, Rara sontak kecewa. Jika ada dua ranjang, tentu suaminya akan memilih tidur sendirian.

"Udah, ayo naruh koper dulu di kamar."

"Ayo, Pa."

Ciara paling bersemangat. Ia pun bergandengan tangan dengan ayahnya. Rara mengekor sembari menyeret koper. Setelah sampai di lantai tempat kamar yang dipesan, Elang segera membuka pintu. Ciara pun meringsek masuk.

"Wuaah! Ada dua kasur, Ma."

Rara mencoba mengulas senyuman. Ia masih kecewa dengan kamar yang dipesan. Tidak sesuai harapannya. Rara menginginkan kamar dengan double bed. Ia bisa tidur di antara suami dan anaknya. Jika dua ranjang seperti ini, tentu semakin membuatnya berjarak dengan Elang.

"Mama mau yang mana?"

"Mama?" tanya Rara menunjuk dirinya sendiri. "Bukannya sama Kakak?"

"Enggak, ah. Aku mau tidur sendiri. Eh, ini dekat tembok." Ciara melepas sepatunya, kemudian langsung naik ke kasur pilihannya dan lompat-lompat seperti main trampoline.

"Hati-hati, Kak." Senyum di wajah Rara pun merekah. Ia akan berada satu ranjang dengan sang suami. Apalagi ukuran kasur lebih kecil tidak seperti di rumah. Bayangannya, dirinya dan Elang akan tanpa jarak.

"Kakak tidur sendiri?" tanya Elang memastikan.

"Iya, Pa."

"Oke, sip. Papa sama Mama di sini."

Rara tercengang mendapati kata-kata yang keluar dari bibir Elang. Bukan itu saja, ekspresi saat mengucapkannya pun terlihat semringah. Bukan Elang yang biasanya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro