Dua Puluh Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Setelah memasukkan koper ke kamar, agenda selanjutnya adalah menuju tempat wisata yang berada tepat di sebelah hotel. Tiket yang diperoleh hanya perlu ditukar dengan tiket yang masuk. Kebetulan saat ini weekend, antrean pun sudah panjang. Mereka bertiga pun berdesakan untuk bisa masuk ke lokasi. Seperti pada tempat wisata lainnya, isi tas pun digeledah. Tentu saja untuk mengecek apakah ada benda berbahaya atau tidak. Dan, menyita nasi, mi, dan lontong!

Elang, Rara, dan Ciara sudah selesai dicek. Mereka pun mulai berjalan mengikuti arah petunjuk. Hewan-hewan menyambut semua pengunjung.

"Papa, capek," keluh Ciara sembari duduk jongkok. Padahal baru seratus meter mereka berjalan.

"Mau sewa E-bike?" tawar Elang. Telunjuknya mengarah pada kendaraan semacam sepeda listrik berwarna kuning yang terparkir di station.

"Kalau pakai E-bike, nggak bisa mampir-mampir ke wahana, Mas. Kakak nggak mau naik bom bom car?"

"Mau. Ya udah jalan lagi." Ciara berdiri, kemudian melanjutkan perjalanan.

Elang dan Rara tersenyum melihat gadis kecil dengan rambut dikuncir dua tersebut. Mereka pun saling berpandangan. Namun, hanya sekejap karena langsung kompak mengalihkan tatapan.

Rara menjadi salah tingkah. Ia tidak tahu jika Elang pun demikian. Suaminya itu kini tengah berlari mengejar Ciara. Rara berjalan santai. Ia tengah menikmati nyeri haid yang menyapa dua hari ini.

"Mama! Ayo sini!" panggil Ciara yang sudah berdiri di depan spot foto dengan Iguana. Ia ingin foto bertiga. "Sekarang aku akan punya foto sama Mama Papa."

Hati Rara tersentuh mendengar ucapan polos Ciara. Anak kecil ini benar-benar menginginkan sosok seorang ibu dalam hidupnya. Rara pun langsung mendekap Ciara hingga membuat sangan anak bingung.

"Terima kasih sudah memilih mama."

"Iya ... kita foto dulu, Ma."

"Oh, iya."

Elang menatap pemandangan mengharukan tersebut dengan senyum mengembang. Ia lalu mendekat ke tempat anak dan istrinya berdiri. Elang dan Rara berdiri bersisisan sementara Ciara did epan memegang Iguana.

Fotografer mulai mengarahkan gaya. "Pak, agak mendekat ke Ibu."

"Oh, baik." Elang mengikuti saran. Ia bahkan melingkarkan tangan kirinya ke belakang punggung Rara hingga tangannya menyentuh lengan sang istri.

Rara pun sontak tergemap. Ia sungguh terkejut dnegan aksi tiba-tiba itu. Tubuhnya mendadak lemas mendapati sentuhan pertama sang suami.

Hasi foto sangat memuaskan. Semua memasang wajah ceria.

"Nanti mau kakak pasang di kamar." Ciara tak hentinya menatap gambar tersebut.

"Boleh. Nanti dibelikan pigura dulu sama Mama," sahut Elang.

"Oke, siap," timpal Rara.

Perjalanan menikmati aneka satwa pun dilanjutkan. Hewan-hewan dari yang jinak ikan, hewan melata, hingga hewan buas semua ada di sini. Aneka wahana pun dicoba Ciara. Tentunya yang tidak menguji adrenalin.

Saat menjelang siang, mereka pun menyempatkan diri makan siang di food court. Setelah selesai, baru melanjutkan perjalanan. Di tengah menjelajajh sesuai rute, beberapa kali Ciara minta digendong.

"Kasian Papa capek, Kak." Rara mengingatkan. "Mau digendong Mama? Tapi kayaknya nggak kuat, deh."

"Ish, Mama nggak niat nggendong aku." Ciara menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia pun memasang wajah cemberut.

"Ya udah duduk di sini dulu." Elang mengaja anak dan istrinya duduk di kursi. "Udah jam satu. Lagi nggak solat, ya, Dik?"

Rara mengangguk. "Mas mau solat dulu?"

"Iya. Tunggu di sini dulu."

"Kakak mau main trampoline," rengek Ciara.

"Ya udah, kami tunggu di playground, Mas."

Elang setuju. Ia pun segera mencari mushola, sedangkan anak dan istrinya menuju tempat bermain.

Setengah jam berlalu. Elang kembali dengan rambut yang basah. Di tangannya sudah ada dua eskrim. Ia pun memberikannya satu kepada Rara.

"Terima kasih," ucap Rara. "Kakak!"

Rara menngangkat gelas plastik berisi eskrim. Ciara seolah tertarik magnet. Ia berlari menghampiri orang tuanya.

"Yey eskrim."

"Tangannya dibersihkan dulu." Rara mengeluarkan tisu basah dari dalam tas. Lalu, mengusap lebut tangan kecil itu.

"Papa nggak mau?"

"Maulah. Kakak mau ngasih?"

"Itu punya Papa." Ciara menunjuk es krim di depan Rara.

"Oh, iya." Elang mengambil gelas es krim tersebut, kemudian menyuapkan sesendok ke dalam mulutnya.

Rara mengerjap tidak percaya melihat aksi Elang. Sendok bekas bibirnya yang dipakai suaminya. Hal baru yang sekarang dialaminya. Ternyata, Elang tidak jijik.

"Dik, tadi di dekat mushola, ada antrean rame banget. Wahana apa, ya?"

"Tadi kita udah lewat?" tanya Rara.

"Belum, itu belok kanan. Ke sini belok kiri."

"Oh, itu rumah hantu, Mas."

"Ke sana habis ini, ya," pinta Elang sembari menatap sang istri.

"Rumah hantu? Terus Ciara?"

"Diajak aja. Mau ya, Kak?"

"Ke mana?" tanya Ciara dengan mulut sudah belepotan.

"Rumah hantu," jawab Elang dan Rara bersamaan.

"Nggak mau."

"Tuh, Mas. Nggak akan berani Ciara."

Elang mendesah pasrah. Ia sudah membayangkan berada di sana bersama Rara. "Padahal papa pingin."

Ciara menatap ayahnya dengan sendok es krim masih tergigit. Ia lalu melepasnya. "Boleh, deh. Tapi, kakak harus digendong dan nggak mau buka mata."

Elang mengerjap senang. Kedua ibu jari diacungkannya ke Ciara. Berbeda dengan sang suami, Rara malah panik sendiri. Ia tipikal penakut akan hantu-hantu ala Indonesia, terutama pocong. Bulu kuduknya pun sudah meremang. Namun, mau menolak rasanya gengsi.

Mereka bertiga kini sudah sampai di wahana Rumah Hantu. Antrean sangat padat. Ada enam baris antrean.

"Mas, yakin mau antre sepanjang ini?"

"Iya. Kenapa? Takut, ya?" Sifat jail Elang mulai muncul.

"Ish, enggaklah." Rara mengelak emskipun dalam hati benar-benar ketakutan. "Pasti sejam nunggunya."

"Enggak, gak akan kerasa."

Rara pun pasrah. Begitu juga dengan Ciara yang masih asik menikmati es krim yang sudah tinggal sedikit. Mereka berbaris seperti pengunjung lain. Elang di depan, Ciara di tengah, dan Rara di belakang.

Rupanya, tidak sampai satu jam. 35menit antrean mereka. Saatnya masuk ke dalam.

"Gendong." Ciara merentangkan kedua tangannya. Sang ayah langsung menyambutnya. Kedua mata langsung dipejamkannya.

Rara berjalan di samping Elang. Ruangan sudah gelap dengan suara-suara khas horror terdengar. Tiba-tiba saja Rara dikejutkan dengan keranda yang bergerak sendiri.

"Aaaaaa!!!" pekikan Rara begitu nyaring. Ia langsung menggamit lengan Elang. Ia pun mengeratkan cengkeraman sembari berulang kali memekik ketakutan.

Elang malah tertawa mendapati rekasi sang istri. Di tengah perjalanan, ia melepas cengkeraman Rara, kemudian menggantinya dengan rengkuhan pada bahu sang istri.

Rara berhenti memekik. Ia kini tengah terpana dengan sikap Elang. Tubuh mereka sudah tak berjarak. Rara bahkan bisa menghidu aroma tubuh suaminya itu. Ia sudah tidak bisa fokus menikmati uji adrenalin tersebut.

"Dik, nggak pingsan, kan?" tanya Elang begitu menyadari istrinya terdiam.

"Enggak," jawab Rara dengan suara yang lemah.

Dalam keremangan cahaya, Elang mencoba mengecek istrinya. Terlihat Rara tengah menundukkan wajahnya. Hal itu membuat dirinya khawatir.

"Kak, turun dulu. Papa mau ngecek kondisi Mama."

Ciara pasrah saja saat diturunkan dari gendongan. Ia masih tetap memejamkan mata.

"Aku nggak pingsan, Mas. Ayo cepat keluar."

Elang menghela napas penuh kelegaan. Ia kembali menggendong Ciara dan memeluk Rara dengan tangan kanannya. Mereka pun akhirnya bisa keluar dari rumah hantu.

Rara berjalan dengan tetap menundukkan wajah. Ia tidak percaya diri untuk mengangkat wajahnya.

"Dik, beneran kamu baik-baik aja?" Elang menahan langkah Rara. Sang istri masih saja menunduk. Elang sontak menempelkan kedua tangannya ke pipi Rara, lalu mengangkat wajah perempuan dengan tinggi sebatas bahunya itu.

"Loh, wajahmu merah semua, Dik!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro