STEP 18 - MEET AGAIN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, beneran kamu dikeluarin dari tim? Astaghfirullah, yang sabar ya, Sha. Nanti bakal ada pengganti yang lebih baik daripada ini, kok!"

Pagi ini Adel baru mendapatkan kabar dari Arasha sendiri yang bercerita bahwa dirinya telah dikeluarkan dari tim perlombaan karena cedera kakinya. Banyak yang merasa sedih dan menyayangkan karena posisi Arasha yang menguntungkan sebagai pusat harus gugur karena cedera.

Adel menutup mulutnya supaya tidak menjerit begitu cerita selesai didengarkan. "Tapi, menurutku pelatih gak mau kamu lebih kenapa-napa. Kalau dipaksakan, takutnya ditengah-tengah lomba kamu jatuh atau terluka. Banyak pertimbangan dan berat melepaskan pastinya, semua ada kelebihan dan kekurangan dalam memutuskan sesuatu kayak gini."

"Iya, aku juga paham banget kok, Del. Aku menerima keputusan dari Pak Sonny dan Pak Ahmad, aku juga tau nantinya pasti jadi beban buat tim aku sendiri," timpal Arasha dan tersenyum tipis. "Aku udah gak pa-pa sekarang."

"Jangan berkecil hati, semangat!"

Ucapan Adel persis yang dikatakan Nesha semalam.

Ngomong-ngomong, ucapan Ares yang memintanya belajar lebih malam daripada sebelumnya adalah mutlak. Bahkan sang mama tidak bisa membantah karena berujung pertengkaran kecil. Arasha merasa tidak enak orang tuanya bertengkar karena dirinya jadi ia memutuskan untuk menerima hukuman Ares.

Ia sudah dikenal sebagai anak yang rajin dan pintar, meskipun mereka yang menyebutnya sebagai sosok sempurna tidak tau bahwa Arasha mati-matian menahan dirinya supaya tidak stress setengah mati karena peraturan dari Ares.

Rencana hari ini Arasha akan ke perpustakaan saja selama istirahat, mumpung dapat kabar bahwa jam pelajaran antara istirahat pertama dan kedua kosong karena guru mata pelajaran sedang izin untuk rapat di luar kota sejak pagi tadi. Hanya saja, ada tugas yang harus dikerjakan dan Arasha tidak mempermasalahkan hal itu.

"Tugasnya adalah membuat cerpen menggunakan bahasa inggris. Temanya bebas, pastikan tidak memuat SARA apapun dan grammarnya juga benar karena akan dicek satu-satu. Minimal cerpen sebanyak dua halaman, akan dipraktekan setelah penilaian grammar. Demikian tugas dari Pak Rozy," kata sang ketua kelas mengumumkan tugas dari guru bahasa inggris mereka dari catatan yang diberikan oleh sang wali kelas.

"Anjir, tugas sih tugas tapi kenapa udah level mau tes TOEFL aja dah," timpal salah satu anak laki-laki di kelasnya.

Namanya juga siswa, sepintar apapun mereka kalau tugasnya dirasa berat pastinya akan melayangkan protes pada yang memberi tugas. Sayangnya, Pak Rozy tidak ada di sana jadi gantinya ia protes ke ketua kelas.

"Kenapa grammar juga harus dicek sih, gue kan jelek banget masalah grammar-grammar ginian. Mending disuruh kerjain 20 soal matematika integral dah," sahut yang lainnya juga memprotes.

Ada yang juga mengiyakan karena mereka jago dalam bidangnya meskipun pada grammar perlu hati-hati dan teliti dalam menyusun. Sebab, grammar memerlukan rumus pada setiap kata dan kondisi tertentu dalam cerita.

Adel menawarkan Arasha untuk mengerjakan bersama di kelas sebelum Arasha pergi ke perpustakaan. Minimal mereka bisa menentukan jalan cerita cerpen untuk tugas bahasa inggris mereka.

"Walau bahasa inggrisku gak bagus-bagus banget, tapi kalau belajar dan ngerjain bareng akunya bisa paham," kata Adel saat ditanya kenapa dia selalu harus bersama jika berkaitan dengan pelajaran bahasa inggris. "Maklum, bahasa inggris emang bahasa internasional tapi bukan bahasa ibu jadi masih kaku buatku yang kebiasa bicara bahasa indonesia atau bahasa daerah."

"Iya, gak pa-pa kok, Del. Nanti kita ngerjain bareng."

"Okey, Sha. Thank you."

***

"Permasalahan antara anak modern sama anak seni tari tradisional udah beneran selesai apa belum sih, Bro?"

Wildan, cowok yang sedang mengunyah bakso mini di mulutnya itu bertanya pada Gheko yang memilih untuk makan ayam geprek di meja kantin yang ramai. Karena pagi tadi Gheko bilang akan mengikuti street competition dance, pastinya butuh latihan untuk memenangkannya.

Karena mulutnya masih penuh dengan nasi bercampur ayam yang pedas, Gheko hanya mengangguk kecil lalu kembali mengunyah dan menelan makannya.

"Udah, setelah diskusi akhirnya guru bilang bakal dibuat jadwal rutin dan harus dipatuhi sama divisi. Gak boleh ada adu debat lagi," jawab Gheko lalu terdengar dengusan sebal karena masih saja ada rasa tidak adil pada modern dance.

"Kayaknya lo sama aja sih kayak mereka, belum bisa terima." Kesimpulan yang Wildan ambil dari raut bete kawannya, lalu ia menepuk bahunya. "Udah, gak usah sedih. Yang penting lo sama temen-temen dance lo masih bisa berekspresi sesuka kalian. Kalau ada kompetisi nasional, pialanya ga usah kasih ke sekolah."

Mereka tertawa karena ucapan Wildan yang terdengar begitu lucu.

Hanya sebentar tawa itu saling lepas, salah satu teman kelas mereka datang menghampiri meja kantin yang keduanya tempati dengan membawa sebuah berita.

"Cuy, Pak Rozy gak masuk hari ini."

"Serius?!" seru Wildan.

"Tapi dapet tugas."

Seketika wajah Wildan tertekuk setelah mendengarnya. "Sama aja, njir. Tugas dari beliau sungguh tidak berotak."

"Namanya juga Pak Rozy. Jadinya, Bu Nida minta tukeran jam deh. Katanya, biar jam pelajaran terakhir ga pada ganggu."

Tambah pengin beristighfar Wildan mendengarnya. Separah-parahnya Pak Rozy, tapi kalau jam pelajaran terakhir jadi kosong malah justru lebih enak daripada kosong di tengah dua waktu istirahat mereka.

"Emang boleh?" tanya Wildan.

Kawannya yang bernama Farid itu menghendikkan bahu.

"Mana gue tau, tapi serah guru. Inget, di atas murid masih ada guru yang berkuasa di sana. Alias ya udahlah, daripada kita protes alah dihukum lagi kek waktu itu, nilai sekelas jadi jeblok jadinya, kan?"

Betul juga, Wildan mengurungkan niatnya untuk memprotes.

Ia tidak mau mempertaruhkan nilai dari guru cantik penanggung jawab mata pelajaran sosiologi tersebut menjadi anjlok karena rasa tidak sukanya. Lagipula, memang Bu Nida juga hari ini tidak mengajar banyak kelas.

Alhasil, Bu Nida akan masuk di dua jam pelajaran terakhir dari sebelumnya akan masuk setelah istirahat pertama ini.

Selesai makan di kantin, Gheko memutuskan untuk mencari referensi setelah mendengarkan rincian tugas dari Pak Rozy dipergantian jam pelajaran. Satu jam awal ia mau duduk di kelas karena kekenyangan makan ayam geprek.

"Mau ke mana, Oit!"

"Nanya tapi ngegas." Gheko menggelengkan kepala pada Wildan yang masih tiduran di bawah AC sambil berseru padanya.

Wildan pun mengulangi ucapannya. "Mau ke mana, Sayang?" Malah ingin Gheko tampol rasanya. "Jijik!"

"Gue mau ke perpustakaan. Males banget jujur tugasnya, tapi kalau nemu bacaan dongeng di perpustakaan 'kan lumayan," kata Gheko kali ini memberikan sebuah jawaban.

"Nitip satu cerita dong, bayarannya boba deket perempatan lampu merah," pinta Wildan.

"Deal, deh."

Gheko membawa buku kosong untuk mencatat tema.

Sesungguhnya, Gheko bukanlah golongan murid yang memiliki otak cerdas dan berperingkat atas. Namun, ia masih tergolong siswa yang rajin sehingga selagi ada usaha disamping kemauan maka ia bisa mengimbangi akademik dengan kegiatan yang disukainya.

Saat hendak turun, ia menatap seberang gedung dimana kelas Arasha juga sedang jam kosong. "Oh iya, biasanya di sana Pak Rozy lagi ngajar. Jadi, sama-sama lagi kosong." Ia bergumam kemudian melanjutkan langkahnya.

Gheko mengira perpustakaan akan sedikit ramai karena banyak anak kelasnya yang keluar dari kelas, ternyata malah sepi dan hanya ada dua adik kelas dan penjaga perpustakaan.

"Dilarang pakai jaket di sekolah loh kecuali kalau lagi sakit," tegur penjaga perpustakaan melihat Gheko mengenakan jaket kesayangannya di sana.

"Sekali aja, Bu. Ini saya lepas deh."

Cowok itu lantas melepaskan jaketnya dan baru diiizinkan untuk berkeliling mengunjungi rak setelah memperlihatkan seragamnya yang lengkap dengan atribut tambahan melekat di badan.

Usai menanyakan letak cerita fiksi oleh penjaga perpustakaan, Gheko mendekati bagian yang ditunjuk. Arahnya berada di rak bagian belakang dekat dengan kumpulan kitab-kitab dan bacaan yang sedikit lebih berat.

Semula, kepala cowok itu terus saja menghadap ke rak bagian atas sambil mencari yang ia cari. Namun, begitu beralih ke sisi lain rak, ia tak sengaja menginjak satu buku dan pandangannya justru beralih pada sosok yang tengah tertidur dengan menyenderkan badan ke rak dan kaki yang diluruskan.

Gheko berjongkok dan melambaikan tangan di depan wajah sosok itu, tidak ada respon yang diberikan.

"Kecapean apa, ya?" gumamnya.

Dengan hati-hati ia meletakkan jaketnya menutupi badan sosok itu tanpa berniat membangunkannya karena kasihan. Lalu, berlanjut mengambil buku fiksi yang dia cari secara acak dan meninggalkan orang itu sendirian.

Belum ada keberanian bagi Gheko untuk kembali mendekati cewek yang berhasil menarik perhatiannya itu. Dia ... Arasha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro