16. Satu Minggu Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah mengganti baju olahraganya menjadi kemeja dan celana dasar, Jella duduk di kursinya dengan wajah ditekuk. Sudah lewat satu jam dari waktunya untuk latihan, tetapi Tim tidak kunjung datang ke mejanya. Kini ia tengah memelototi Tim yang sedang sibuk dengan tumpukan kertas yang mungkin berisi jurnal dan beberapa peta.

Jun tiba di ruangan kerja setelah menghadiri rapat pimpinan di gedung utama. Aura yang dipancarkan pria itu, berbeda dari biasanya, ia kelihatan serius dan penuh wibawa. Tadinya, Jella mengira kalau aura itu dipengaruhi oleh setelan resmi yang dikenakan Jun, tetapi dugaannya salah karena setelah pria berhidung indah itu melepaskan jas, aura berwibawanya masih di sana dan malah tumpah-tumpah.

"Kita rapat sepuluh menit lagi, tolong informasikan pada semua staf herbarium."

Jella hampir melongo karena Jun benar-benar keren. Kalau dibandingkan dengan kabagnya yang lama, jelas kalah jauh.

Kursi di meja rapat ruang kantor yang tadinya sepi, kini sudah terisi penuh. Setidaknya ada lima belas orang yang duduk di sana. Para peneliti yang biasanya ditemui di laboratorium, kini duduk mengelilingi meja rapat dan fokus pada kabag yang usianya jauh lebih muda dari mereka. Papan tulis yang sebelumnya ada di sudut ruangan, sudah berpindah ke tengah ruangan.

"Proyek Inventarisasi Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Taman Nasional Way Kambas akan mulai dilakukan minggu depan, karena itu kita akan melakukan analisis lapangan di rapat kali ini. Untuk proyek ini, Timotheo Nathanael akan menjadi ketua proyek, peneliti utama yang akan terlibat adalah Bu Alia dan Jaella Danastri akan menjadi peneliti muda yang akan akan turun ke lapangan." Jun menunjuk Tim dan Jella bergantian setelah menulis judul penelitian di papan tulis, kemudian ia menunjuk dua orang lain yang akan menjadi anggota sampling di lapangan.

"Sebagai ketua proyek, silakan lanjutkan." Jun mengoper spidolnya pada Tim, tetapi ia tidak duduk, tetapi berdiri di sisi lain papan tulis.

Tim menempelkan sebuah peta dengan magnet. Separuh papan tulis langsung tertutup karenanya. "Ini adalah cakupan wilayah sampling."

Begitu mendengar pernyataan Tim, Jella langsung buru-buru mencari skala yang ada di peta. Luas area yang akan dijelajahi bukan main-main. Meski belum menemukan skala di peta, Jella sudah tahu kalau ia akan menderita mengelilingi area itu.

"Tim sampling sudah memilih titik yang akan kita ambil sampelnya. Berdasarkan jarak tempuh dan keberadaan pos, prediksi kami, penelitian di lapangan akan berlangsung selama lima hari. Jika termasuk perjalanan menuju lokasi, maka akan menjadi tujuh hari." Tim menjelaskan sambil menunjuk titik-titik yang sudah ditandai.

Sekarang Jella mengerti alasan yang membuat Tim melatihnya sampai hampir pingsan. Pria itu pasti tidak mau menambah beban. Kalau saja Jella tumbang di lapangan, bisa-bisa Tim meninggalkannya tanpa peduli.

Beberapa saran dan sedikit perdebatan membuat rapat itu seru. Jella baru tahu kalau kombinasi Tim dan Jun memang seperti yang dikatakan orang-orang. Keduanya saling melengkapi dan tidak jarang mereka berdebat untuk mendapatkan solusi.

"Jun ikut ke lapangan juga?" Salah satu peneliti senior bertanya pada kabagnya, setelah perdebatan Jun dan Tim usai.

Jun sempat terdiam sejenak sebelum menggeleng. "Kita akan kedatangan tamu dari Australia pada tanggal tersebut, belum lagi ada pertukaran spesimen yang harus saya tangani sendiri."

"Ah, pantas saja. Saya kira kalian akan pergi bersama seperti biasa." Peneliti tersebut mengangguk paham. Seolah-olah mengerti mengapa perdebatan teknis lapangan yang terjadi cukup panjang.

"Kita punya Jella. Saya percaya dia bisa menyelesaikan tugas di lapangan. Untuk eksekusi di laboratorium, saya dan Pak Priyo akan bertanggung jawab." Jun berbicara pada peneliti yang bertanya sebelumnya.

"Oke. Terima kasih, Tim. Kita akan lanjut membahas proyek kerjasama dengan Swiss." Jun mengambil alih rapat dan melanjutkan bahasan tentang proyek lain.

Rasa kagum Jella pada Jun, membuatnya hampir tidak mengalihkan pandangan. Pria tampan itu bisa membuatnya tidak mengantuk selama rapat. Suasana rapat yang tercipta juga seru. Lebih seperti diskusi ketimbang pengarahan satu arah. Jella suka, pada rapat, pada Jun juga.

"Biasa aja liatnya!" Tim sengaja meletakkan buku tebal di depan Jella dengan cukup keras.

Jella berdecak. "Ganggu aja."

"Emang niat gue mau ganggu." Tim menarik kursinya mendekat. "Kita nggak akan banyak bawa buku ke lapangan. Lo pilih satu buku yang bisa bantu lo nanti."

Jella baru saja mau menjawab, tetapi Tim lebih dulu menyerobot. "Jangan sombong. Gue tahu, paku-pakuan emang keahlian lo, tapi kita bakal tetep bawa satu buku identifikasi. Gue nggak sepenuhnya percaya sama lo soalnya."

"Dih, kok merendahkan gitu? Emang siapa yang mau nyombong? Kalo bisa bawa semua buku, gue juga pengennya bawa. Lo kira, otak gue buku identifikasi berjalan apa?"

Tim tertawa kecil. "Oh, berarti lo nggak sehebat itu. Dalam satu minggu ini aja, gue udah beresin tiga buku identifikasi."

"Beuh, inget, orang sombong kuburannya sempit." Jella mencibir.

Tim menoyor lengan rekannya pelan. "Ye, yang ada itu, orang pelit, kuburannya sempit."

"Bodo amat. Sebel." Jella cemberut dan memajukan bibirnya.

Jun menghentikan bicaranya. Ia menatap Tim dan Jella dengan tatapan siap menelan mereka hidup-hidup. "Ada masalah?"

"Enggak." Keduanya kompak menjawab dan kembali fokus memperhatikan Jun.

Tanpa terasa, rapat selesai ketika jam makan siang tiba. Kalau saja salah satu peneliti senior tidak menghentikan Jun, bisa-bisa mereka akan rapat sampai sore, tanpa istirahat.

"Masih muda, masih semangat." Salah satu peneliti senior menepuk pundak Jun dan tersenyum ramah.

"Gue nggak nyangka, lo ternyata seserius itu soal kerjaan." Jella bertanya pada kabagnya ketika mereka menuruni tangga bersama.

"Enggak cuma gue, semua orang di sini bakal serius soal kerjaan." Jun mempersempit jaraknya dengan Jella, kemudian ia berbisik, "Lo udah ngerasain gimana seriusnya Tim, kan? Hati-hati kalo sama dia di lapangan nanti."

Jella hanya bisa menelan salivanya. Wanita berambut panjang terurai itu sempat agak tenang karena akan pergi ke lapangan dengan Jun yang notabenenya adalah kabag dan sudah jelas terpercaya. Ia baru sadar kalau akan pergi hanya dengan Tim. Memang mereka tidak hanya pergi berdua, tetapi satu-satunya yang ia kenal dekat adalah Tim.

Jella buru-buru merevisi kata 'dekat' yang muncul di kepalanya. Ia merasa kalau dirinya dan Tim tidak dekat. Kebetulan mereka hanya kenal sedikit lebih lama dari yang lainnya.

"Lo berdua ngatain gue, ya?" Tim langsung mengambil tempat di antara Jella dan Jun.

"Tahu aja." Jun menjawab sambil tersenyum.

"Ngomongin orang di belakang, tuh, sama kejamnya sama fitnah."

Jella langsung menghentikan langkah. "Dih, gue sama Jun ngomongin lo di depan, ya. Lo tadi di belakang kami."

Jun mengangguk setuju. "Nah."

"Lo berpihak sama dia sekarang?" Tim merasa tidak terima. Pria bermata sipit itu langsung melipat tangan di dada dan menatap sahabatnya sinis.

Jun tertawa. "Gue ada di pihak yang benar."

"Dasar, pilih kasih." Tim merajuk. Ia melangkah lebih dulu dan meninggalkan kedua rekan kerjanya begitu saja.

Tawa Jun semakin kencang. "Lo bakal liat gilanya dia lebih banyak pas di hutan."

Jella menggeleng. "Astaga, kadang gue mikir. Tim itu kayak bocah manja yang sombong."

"Emang." Jun menjawab cepat. "Tiba-tiba gue inget. Tim bilang, dia tahu soal gue cariin dia kontrakan dan katanya tahu dari lo."

"Oh, itu. Iya, abisan gue sebel banget liat kalian berantem. Untung-untung nggak gue usir pas tau dia ngontrak di rumah atas."

"Rumah atas?" Jun memiringkan wajahnya.

"Iya, kan, Tim di atas, gue di bawah." Merasa kalau kalimatnya ambigu, Jella buru-buru mengoreksi. "Tim tinggal di rumah atas, gue di rumah bawah."

Jun mengerjap. "Jadi, kalian tinggal serumah?"

Kini, Jella yang mengerjap. Ia tidak percaya kalau ia telah membeberkan dosa besarnya pada Jun yang merupakan pria idamannya. "Enggak gitu."

"Gue harus mastiin ke Tim." Jun langsung berlari mengejar Tim.

Jella menghentakkan kakinya. "Mampus gue."

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Siapa yang amsyong mulu?
Ya, gue lah, siapa lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro