17. Apa itu libur?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pulang kerja di hari Jumat adalah sesuatu yang nikmat. Bagaimana tidak? Jella bisa mendapat libur dua hari dan ia terbebas dari kewajiban bertemu mentornya yang menyebalkan. Wanita berbaju tidur itu sudah siap menyambut hari liburnya esok dengan bersantai sambil menggunakan masker wajah. Namun, persiapan bersantainya langsung hancur berantakan ketika satu pesan masuk ke ponselnya.

Begitu membaca pesan, Jella langsung mau membenturkan kepalanya ke dinding. Namun, ia akan rugi kalau melakukan hal itu. Akhirnya, wanita berambut tergulung itu memilih untuk melakukan pemberontakan.

Jella berdiri di depan pintu rumah atas dan ia menggedor pintu dengan sepenuh nafsu. Namun, tidak ada jawaban. Kesabarannya hampir habis ketika mendapati Tim tiba di belakangnya dengan kantong plastik minimarket dan mulut yang sibuk mengunyah es krim.

"Kayaknya gue bilang ketemunya besok pagi, deh. Segitu nggak sabarnya mau ketemu gue lagi." Tim melanjutkan adegan makan es krim dengan lahap.

Jella memutar bola matanya malas. Ia berkacak pinggang dan jadi tambah kesal. "Bisa nggak bedain jam kerja sama bukan jam kerja? Lo berhak jadi mentor gue di jam kerja, nggak di hari libur!"

Tim mengangguk dan meletakkan kantong plastiknya di lantai, dengan gerakan kelewat santai, ia membuka pintu dan menahannya. "Lo bisa nggak bedain jam kerja sama bukan jam kerja? Ini udah malem dan gue nggak berminat terima tamu."

Jella jadi ingin murka. Ia melepas masker di wajahnya dan melempar benda serupa tisu basah itu dengan sembarangan. "Siapa yang mau bertamu ke rumah lo? Nih, ya, gue nggak terima harus latihan sama lo di hari libur. Gue udah punya jadwal sendiri di hari libur."

Bukannya menjawab, Tim malah tertawa.

"Kok, malah ketawa?" Jella sewot.

Tim tersenyum tipis. Ia menjelaskan dengan nada ramah. "Biar gue tebak, jadwal lo pasti rebahan sama nonton drama, kan? Gue nggak nyuruh lo latihan seharian penuh. Lo cuma butuh olahraga dua jam. Habis olahraga, lo bebas mau ngapain. Itung-itung ganti latihan lo, dua hari nggak latihan fisik, kan?"

Jella tidak bisa membantah. Ia mengubah posisi tangannya yang tadinya ada di pinggang, menjadi terlipat di depan dada. Mata yang tadinya berapi-api, berubah memelas. Kini, mata besarnya tengah menatap Tim dengan tatapan memohon. Bibir tebalnya juga sudah maju hingga membuatnya mirip bebek.

"Nggak ada tawar-tawar. Besok, jam enam ketemu gue di depan." Tim mengambil kantong plastiknya dari lantai, membukanya dan mencari sesuatu. Kemudian, tanpa aba-aba, ia melemparkan satu es krim teh susu dengan boba --sama seperti yang ia makan sebelumnya.

Untungnya, refleks Jella tergolong bagus. Ia menangkap es krim itu dengan baik. Namun, ia juga melongo karena kaget.

"Gue beli satu gratis satu. Inget. Besok, jam enam." Tim langsung menutup pintunya dan meninggalkan Jella yang masih melongo.

***

Tim bisa mendengar dengan jelas suara alarm yang berasal dari rumah bawah. Ia sempat tertawa ketika mendengar Jella menyerukan umpatan yang tak kunjung habis, hingga suara air di kamar mandi terdengar.

"Lo punya kebiasaan unik, ya? Apa mengumpat pagi-pagi bisa bikin lo cepet sadar?"

Jella langsung menatap sinis. Ia mengikat tali sepatu sambil terus mencibir mentornya yang sudah sibuk pemanasan.

"Jangan ngatain gue di belakang. Ini semua demi kebaikan lo. Cepet pemanasan."

Jella berdecak. Namun, tetap melakukan pemanasan. "Demi kebaikan gue, apa demi kebaikan lo?"

"Demi kebaikan lo. Jangan harap gue bakal kasihan, kalo lo nggak sanggup jalan di hutan ntar." Tim menjawab dingin.

Gue cuma mau lo terbiasa, supaya ntar lo bisa jalan sambil senyum, nggak sambil ngeluh.

"Dih, emang dari awal gue udah curiga, sih. Lo ini tipe-tipe yang bakalan ninggalin gue nggak pake mikir."

Tim tidak menyerukan protes, ia lanjut melakukan pemanasan tanpa bicara. Tidak lama setelah itu, mereka berlari bersama mengelilingi komplek. Tim sengaja tidak mengajak Jella ke lapangan karena lingkungan mereka memiliki lebih banyak variasi jalan. Kalau di lapangan, mereka hanya akan bertemu lintasan rata.

Belum juga setengah jam, Jella sudah menyerah. Ia memaksa untuk berhenti. Wanita berpakaian olahraga itu sudah terduduk di tepi aspal.

"Jella, lo berhasil latihan dua jam nggak pake istirahat. Lo juga bisa naik sepeda keliling V-Bio tanpa istirahat, kenapa sekarang jadi lemah?" Tim berjalan mondar-mandir di depan Jella.

"Gue nggak lemah! Bentar napa, perut gue kram."

Tim menghela napas. "Makanya pemanasan yang bener!"

"Bukan karena pemanasan, tahu! Gue lagi dapet. Diem dulu. Bentaran juga baikan." Jella langsung sewot.

Mendengar jawaban Jella yang tidak ada filternya sama sekali, membuat Tim malu. Ia tahu kalau wanita memang mengalami siklus menstruasi setiap bulannya, tetapi ia tidak pernah melihat seseorang yang sampai mengalami kram perut karenanya. Satu-satunya wanita yang dekat dengannya hanya Mama dan ia tidak pernah melihat ibunya mengeluh kram karena datang bulan.

Tim hanya duduk diam dan menunggu hingga Jella bangkit dari duduknya. Namun, wanita di sampingnya tidak menunjukkan tanda-tanda segera bangkit. Tanpa sadar ia mengajukan pertanyaan yang menunjukkan kekhawatirannya dengan jelas. "Lo nggak apa-apa? Masih bisa lanjut? Ada yang bisa gue bantu nggak?"

Jella menepuk lengan Tim pelan. "Jujur, ya. Kadang, tuh, gue nggak bisa bedain mana Tim yang sebenernya. Kadang lo bisa nyebelin tingkat dewa, tapi kadang bisa soft banget kayak pantat bayi."

"Ini pujian, tapi kenapa kedengeran kayak hinaan, ya?"

"Bener hinaan, kok. Yuk, udah mendingan." Jella tertawa. Ia bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada pria yang masih duduk di tepi aspal.

Tim menyipitkan mata karena curiga, terlebih, wanita dengan tingkat kewaspadaan tinggi itu malah mengulurkan tangan lebih dulu. "Bukannya lo nggak suka dipegang sembarangan?"

Wanita bermata besar itu tersenyum hingga matanya menyipit. "Ini nggak sembarangan. Sekarang atau nggak sama sekali."

Dengan gerakan cepat, Tim menyambut uluran tangan itu. Begitu tangan mereka terpaut dan matanya menangkap senyum Jella dengan jelas, tanpa terduga, jantung Tim mengadakan konser dadakan. Ia sempat melotot dan masih berharap kalau debaran itu hanya efek samping dari olahraganya barusan.

"Makasih." Tim berbicara pelan. Ia berusaha mati-matian menahan panas yang merambat di wajahnya. Ia buru-buru buang muka.

"Muka lo merah. Jangan bilang salting?" Jella bertanya tanpa peduli dampak yang sudah ia perbuat akibat pertanyaannya itu.

Mata Tim sibuk melihat sekeliling. Ia berusaha mencari alasan terbaik. Akhirnya ia asal bicara, "Muka gue merah karena matahari kali, noh, udah nongol."

Anehnya, Jella percaya. Wanita berponi itu turut melihat ke arah matahari yang sudah mulai tinggi.

"Ah, iya juga. Udah mulai panas. Yaudah, ayo lanjut." Jella mulai berlari dan memimpin jalan.

Mereka kembali tiba di rumah setelah satu jam berlari. Awalnya, Jella menolak untuk langsung berhenti, tetapi Tim memaksa, beralasan kalau besok mereka masih akan latihan. Satu hal yang tidak Jella tahu, kalau mentornya benar-benar khawatir.

Setelah tiba di rumah atas, Tim buru-buru melakukan pencarian tentang efek samping menstruasi dan segala macam hal yang berhubungan dengan itu. Ia sampai lupa mengganti pakaiannya yang basah karena keringat dan malah tenggelam dalam banyak artikel yang ia baca. Entah sudah berapa lama ia sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba satu panggilan masuk ke ponselnya.

"Lo lagi ngapain sampe nggak baca pesan gue?"

Dengan polosnya, Tim menjelaskan apa yang sedang ia lakukan dengan rinci.

"Gue nggak pernah denger lo sibuk nyari hal yang nggak berhubungan sama penelitian atau jangan-jangan, lo punya cewek, ya?"

Tim terdiam. Ia baru menyadari hal konyol yang dilakukan selama beberapa saat. "Nggak. Gue nggak punya cewek."

"Oh, berarti ada yang ditaksir." Dari suaranya saja, Tim tahu kalau sahabatnya tengah cengar-cengir.

"Nini, dengerin gue. Gue nggak naksir siapapun."

Jun tertawa keras. "Iya, iya, gue percaya, tapi biasanya makin disangkal, makin tepat, sih, dugaan gue."

"Nini, gue lagi nggak pengen bercanda, ya." Tim menyalakan speaker dan sibuk melepas kausnya yang sudah kering.

"Siapa, nih, ceweknya? Jella?"

Tim hampir terjengkang karena pertanyaan sahabatnya. Ia buru-buru melemparkan kaus yang baru ia lepas dan menyerukan penolakan keras. "Enggak, ya. Gue nggak naksir sama dia!"

Jun tertawa keras. "Iya, iya. Lo naksir sama dia."

"Nini!" Tim jadi emosi.

"Oke, enggak. Gue nelpon cuma mau tanya, besok lo mau gereja siang aja, nggak? Nyokap kangen sama lo katanya."

"Ngajak gerejanya pake alasan nyokap segala. Kalo nyokap lo kangen, gue bisa ke sana sekarang kali."

"Nggak, besok aja. Nyokap yang nyuruh."

"Iya. Aman."

Sambungan telepon itu terputus setelah mereka membahas beberapa hal lain. Namun, pikiran Tim malah melayang pada pertanyaan Jun.

Masa iya, gue naksir Jella?

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro