18.Gereja dan Petualangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jella sudah menyelesaikan latihannya bersama Tim. Weekend-nya lumayan terganggu akibat latihan tidak terencana yang tiba-tiba menyeruduk jadwal santainya, tetapi tidak apa-apa, sebab Tim sudah lebih jinak. Meski masih mampu membuat Jella murka dengan mudah, pria itu agak sedikit melunak padanya. Latihan tadi pagi juga tidak membuatnya mengeluh sepanjang jalan. Mungkin ia sudah terbiasa? Bisa jadi.

Hari Minggu Jella tidak akan lengkap tanpa pergi ke gereja. Biasanya, ia akan pergi gereja di pagi hari dan melanjutkan agenda tidur siang hingga sore menjemput, tetapi karena latihannya di pagi hari, Jella jadi harus mengubah jadwalnya menjadi gereja siang. Wanita berambut terurai itu tengah mengunci pintu ketika ponselnya berbunyi. Jella menjawab dengan suara manis, tetapi itu hanyalah pembuka sebelum murkanya meledak seperti bom.

"Hah? Lo nggak jadi gereja siang? Heh! Harimau jadi-jadian! Gue udah siap, ya. Bisa nggak bilangnya, tuh, dari tadi! Gue kira lo udah jalan. Apa? Ojek online? Bukan masalah gue nggak bisa berangkat sendiri, ya! Lo yang bilang mau jemput makanya gue santai. Gue nggak mau telat gereja."

Tim yang melihat Jella murka, langsung tertawa. Ia membuka jok motornya dan mengeluarkan helm dari sana. Ia menunggu hingga wanita berkemeja putih itu menyelesaikan repetan yang ia duga tertuju pada Yosi.

"Sabar, sabar! Gimana gue bisa sabar kalo punya adek kayak lo! Bodo amat." Jella memutuskan sambungan teleponnya dan memasukkan ponselnya ke tas.

"Kayaknya emang tiada hari tanpa lo murka, deh." Tim tertawa.

Jella melengos dan menghela napas berat.

"Jangan marah, gitu. Kalo mau gereja, lo harus tenang dulu."

"Gue juga nggak mau marah, tapi Yosi bikin kesel."

Tim tersenyum tipis dan melemparkan helm pada Jella. Jarak mereka tidak terlalu jauh, sehingga gerakan Tim lebih mirip mengoper. "Biar nggak telat."

Jella tergagap dan matanya mengerjap tidak percaya. "Lo gereja?"

Tim menyalakan motornya dan menatap tetangganya dengan sinis. "Lo kira gue tipe yang nggak akan ke gereja, gitu?"

Jella cengar-cengir. "Nggak gitu."

"Buru, ntar telat."

Jella naik setelah memakai helm. Ini bukan kali pertamanya dibonceng Tim, tetapi ini kali pertamanya ia merasa canggung. Sepanjang perjalanan, mereka tidak bicara, seolah-olah sibuk dengan pikiran masing-masing.

Setibanya di gereja, mereka berdua duduk berdampingan karena tidak banyak bangku yang tersisa. Kecanggungan kembali menyelimuti keduanya. Meski mengenakan pakaian dengan warna senada, tidak adanya interaksi membuat mereka terlihat seperti orang asing. Namun, kecanggungan mereka langsung mencair begitu ibadah selesai. Keduanya berjabat tangan dan mengucapkan salam, Jun dan ibunya muncul kemudian.

"Selamat Minggu, Tim. Apa kabar? Mama kangen banget sama kamu." Ibu Jun langsung memeluk Tim dengan erat. Namun, perhatiannya langsung teralih pada Jella yang berdiri di samping Tim. "Loh, ini siapa?"

"Kenalin, ini Jella, Ma." Jun langsung memperkenalkan Jella dengan ramah.

"Pacarnya Tim cantik banget. Mama suka." Ibu Jun menepuk pundak Jella setelah bersalaman.

Jun tertawa menikmati keterkejutan di wajah sahabatnya.

Belum juga Tim menyangkal, perhatian ibu Jun sudah teralih ke orang lain. Melihat pergerakan wanita yang menuju ke arahnya, membuat Tim langsung buang muka dan ingin segera pergi dari sana.

"Alia, selamat Minggu. Kenalin, ini Jella, pacarnya Tim."

Bak tersambar petir di siang bolong, Jella tidak menduga kalau akan bertemu dengan direktur V-Bio di gereja. Ia sudah gereja di tempat yang sama selama delapan tahun terakhir, tetapi ia tidak pernah bertemu dengan Bu Alia, Tim atau Jun. Namun, semua jadi terasa mungkin karena gereja yang dapat menampung lima ratus jemaat dalam satu sesi itu dibagi menjadi empat sesi ibadah.

Jella langsung gelagapan. Ia sempat menoleh pada Tim yang kelihatannya tidak akan membantu sama sekali. Akhirnya, ia harus menanganinya sendiri. "Enggak, Bu. Saya sama Tim nggak pacaran, kebetulan tadi ketemu aja."

Ibu Jun tersenyum penuh arti. "Ah, jangan malu gitu."

"Selamat Minggu, Jella." Bu Alia memeluk Jella sekilas dan mengulurkan tangannya pada Tim. "Selamat Minggu, Nael."

Melihat Tim yang tak kunjung mengulurkan tangan, membuat Jella gemas. Ia langsung menyenggol lengan pria berkemeja putih yang ada di sampingnya.

Dengan ogah dan diikuti pelototan mata dari Jella, akhirnya Tim menyambut uluran tangan itu. "Selamat Minggu."

"Nah, begitu, kan, enak dilihat. Gimana kalau kita makan siang bareng? Jun yang traktir."

"Nggak perlu, saya aja yang traktir." Bu Alia langsung menjawab cepat.

"Kami ada urusan setelah ini. Jadi, permisi." Tanpa aba-aba, Tim langsung beranjak dari sana. Tidak lupa ia menggandeng tangan Jella.

Begitu tiba di tempat parkir, Tim langsung melepaskan genggamannya. "Maaf, gue refleks."

Jella terlalu bingung dengan situasinya, tetapi ia tetap mengangguk. "Nggak apa-apa."

Tadinya, ia ingin bertanya tentang alasan Tim menolak ajakan itu, tetapi ia urung melakukannya begitu melihat rekannya menggigit bibir bawah. Entah apa yang telah terjadi sebelumnya hingga membuat Tim bersikap seperti itu. Sepertinya, Jella harus menyimpan pertanyaannya untuk sementara waktu.

***

Tanpa terasa, satu minggu sudah berlalu. Kemarin, rapat terakhir sebelum keberangkatan sudah dilaksanakan. Semua alat sampling dan kebutuhan di lapangan sudah siap dikemas dalam box besar dan beberapa tas alat. Jella duduk di bawah pohon, dengan tas gunung yang sudah parkir di sampingnya.

Tim dan dua anggota sampling baru saja keluar dari gedung dan diikuti oleh Jun yang juga membawa dua tas alat.

"Hati-hati dan saya harap nggak akan ada yang terluka selama misi."

"Keren amat nyebutnya misi." Jella berkomentar setelah Jun menyelesaikan kalimatnya. Namun, tanpa disebut 'misi' ia sudah menganggap perjalanannya kali ini akan keren. Sudah hampir lima tahun Jella tidak ikut terjun ke lapangan. Dulu, mentok-mentok ia turun ke lapangan pada saat praktikum lapangan saja.

"Di sini kami biasa nyebutnya gitu." Jun tersenyum malu.

"Itu karena Nini doyan nonton anime." Tim berkomentar tidak berfaedah.

Mereka sempat berdoa bersama sebelum berangkat. Jella ditugaskan memegang semua dokumen di tasnya, sedangkan yang lain, sibuk membawa tas alat dan box sampling. Tim sengaja membuat Jella repot mengurus dokumen agar tidak membawa barang berat.

Perjalanan hingga sampai ke kantor TNWK harus memakan waktu delapan jam. Setelah tiba di kantor TNWK, Tim bisa melihat kalau Jella masih dalam mode antusias. Ia tersenyum senang sebelum mengajak wanita itu masuk dan mengajukan simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi).

Tim mengenal beberapa orang yang ada di sana karena sebelumnya, ia sudah pernah menjelajahi TNWK, jadi segala urusan administrasi dilewati dengan mudah. Namun, Tim sempat terkagum karena Jella melakukan tugasnya dengan baik. Ia menjelaskan tujuan penelitian mereka dan membuat orang-orang yang ada di kantor itu berseru kagum.

"Jangan bilang ini pertama kalinya lo ngurus simaksi?" Tim bertanya setelah mereka selesai dengan urusannya.

"Dulu pas praktikum lapang di kampus, gue pernah ngurus simaksi juga."

Ah, pantas aja. Dia nggak kelihatan bingung sama sekali.

Mereka masih harus menempuh dua jam perjalanan menggunakan kendaraan untuk tiba di pos pertama. Tim sudah menjelaskan kalau mereka akan menginap di pos pertama. Ia juga bisa melihat rekannya yang lega begitu tahu kalau pos pertama adalah bangunan permanen dengan fasilitas lengkap.

"Perkenalkan, saya Diko dan ini rekan sekaligus kembaran saya, Dito. Kami yang akan mendampingi kalian selama di kawasan. Senang bisa bekerja sama dengan kalian dan saya harap tujuan kita bisa terlaksana sesuai rencana." Seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam itu menyambut ramah. Di sampingnya, berdiri seseorang yang memiliki wajah serupa. Yang membuat mereka berbeda hanya tanda lahir di bawah mata.

"Terima kasih. Saya Tim, ketua proyek. Ini Jella, peneliti muda. Dua anggota kami masih bongkar alat, mungkin nanti bisa menyusul." Tim turut menyapa ramah.

"Ah, lo kayak baru kenal aja." Pria yang sebelumnya diperkenalkan sebagai Dito menepuk pundak Tim dan mereka berpelukan seper sekian detik. "Lama nggak ketemu. Tambah pucet aja lo. Lama nggak ke lapangan, nih, pasti."

"Terakhir gue ke sini, dua tahun lalu nggak, sih?"

"Iya, bener." Diko juga memeluk Tim. "Kami kaget sama tragedi beberapa bulan lalu, Jun bilang lo nggak bakal ke lapang lagi. Makanya, seneng liat lo ke sini."

Raut wajah Tim yang sebelumnya ceria dan ramah, tiba-tiba berubah suram.

"Maaf, kami nggak bermaksud."

Tim memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, santai. Lagian udah lewat juga."

Dalam hati, Tim berdoa agar kejadian itu tidak mempengaruhi kinerjanya di lapangan. Ia tidak boleh membiarkan kejadian itu membuatnya berhenti.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro