19. Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika embun membasahi dedaunan dan kabut masih menyelimuti area itu, Tim dan anggotanya sudah mulai bergerak. Begitu tiba di titik sampling, Tim langsung membongkar semua perlengkapan dan tas alat bersama dengan dua orang anggotanya. Jella ditugaskan mengamati target bakal spesimen dan memilih mana saja yang akan mereka ambil sebagai sampel. Diko dan Dito juga bergerak cepat, membantu Tim dan dua orang lain dari V-Bio.

Jella sempat salah fokus ketika Tim dengan cekatan memegang beberapa alat dan menggunakannya dengan lihai. Pria berkaus hijau itu juga kelihatan sangat gesit mengambil data suhu, kelembaban hingga titik pengambilan sampel. Jella sampai lupa menutup buku identifikasinya sebelum bangkit berdiri. Untungnya, Tim tidak melihat kecerobohan yang ia lakukan.

"Boleh mulai ambil sampelnya. Data lainnya sudah masuk ke database." Tim menutup buku dan bergerak mengambil beberapa spesies yang sudah dipilih Jella sebelumnya.

Semua orang sibuk mengambil sampel dan memasukkannya ke dalam plastik yang sudah dibungkus kertas sebelumnya. Tanpa sengaja, Tim melihat tali sepatu Jella yang mengendur. Ia mendekati rekannya itu dan berjongkok.

Jella langsung panik begitu Tim ada di depannya. "Eh, nggak ada sampel di sini."

Tim melepaskan ikatan tali sepatu Jella dan ia mengikatnya kembali. Tidak hanya satu, tetapi keduanya. Pria yang mengenakan topi rimba itu mendongak hingga topinya terjatuh ke belakang dan menyisakan tali yang menggantung di lehernya. "Apa pelajaran kedua latihan lo?"

Jella mendadak tidak ingat karena Tim kelihatan menarik. Bukan, bukan karena rambutnya yang setengah basah, bukan juga karena tatapannya yang hangat, bukan juga karena senyum tipis yang mengiringi pertanyaan itu. Entah mengapa, ada panas yang merambati wajah Jella.

"Pelajaran kedua, Jella." Tim mengulangi pertanyaannya tanpa beranjak dari posisi sebelumnya.

"Ikat tali sepatu yang benar supaya aman."

Tim tersenyum bangga. Ia bangkit berdiri dan memasang kembali topinya. "Bagus. Hati-hati, jangan ngelangkah sembarangan."

Jella mengangguk kaku.

Tim hanya tersenyum ketika mendapat ledekan dari anggotanya serta Diko dan Dito.

Pengambilan sampel memakan cukup banyak waktu, mereka bergerak menuju ke pos bersamaan dengan terbenamnya matahari. Pos kedua sudah terlihat. Hanya tinggal beberapa ratus meter lagi, tetapi Jella malah terjatuh ketika berusaha membantu membawa tas alat yang hampir merosot. Tim bisa tahu kalau wanita berjaket kuning itu pura-pura tidak terjadi apa-apa setelah melihat tatapan tajamnya.

"Udah gue bilang hati-hati!" Tanpa sadar, Tim membentak.

"Pak, Bu Jella nolongin saya, makanya jatuh." Rekan yang Jella tolong, langsung membelanya.

"Gue nggak apa-apa." Jella mengangguk, berusaha tenang.

Tim meletakkan tas alat yang dibawanya dan memeriksa Jella dengan menatap wanita itu dari atas hingga bawah. Ia juga mengitari wanita berambut terikat itu untuk memeriksa. Tim langsung menyadari kalau Jella menekuk salah satu kakinya.

"Kayak gini, lo bilang nggak apa-apa?"

Diko langsung maju dan berdiri di antara Jella dan Tim. "Tim, tenang. Jella nggak apa-apa. Oke. Kita balik ke pos dulu. Udah mau gelap."

Tim mengambil kembali tas alatnya dan segera melangkah lebih dulu.

"Bisa jalan sendiri? Atau perlu dibantu?" Pria dengan tanda lahir di bawah mata itu bertanya ramah.

Jella tersenyum pada Diko. "Bisa jalan sendiri, kok. Terima kasih."

"Baru ini gue liat Tim ngamuk cuma kerena anggotanya jatuh. Biasanya dia ngakak, baru nolongin." Dito bicara pelan pada kembarannya.

"Mungkin dia agak protektif karena kejadian itu." Diko menyahut dengan suara pelan.

Jella mempercepat langkahnya yang tertatih dan menyelinap dalam obrolan kedua saudara kembar itu. "Kejadian apa, sih?"

Diko dan Dito kompak terdiam. Namun, Jella tidak menyerah. Ia terus bertanya hingga Diko menjawab, "Tanya Tim aja. Kami nggak berhak buat cerita. Tim juga pasti nggak suka kalo ada orang yang tahu dan bukan dari dia."

Jella cemberut, tetapi tidak menyerukan protes.

"Kami juga tahu dari Tim langsung. Dia bener-bener kacau waktu itu." Dito menambahkan.

Setibanya di pos kedua, Jella langsung meletakkan tas gunungnya dan kamera yang dititipkan Jun. Kabagnya itu berpesan untuk mengambil dokumentasi sebanyak mungkin. Tidak hanya Jella, Tim juga dibekali kamera.

Tanpa terduga, pos kedua juga terasa nyaman karena berdiri kokoh layaknya hunian semi permanen. Bahan utama bangunannya tidak lagi terbuat dari batu, tetapi kayu. Namun, ruangannya terlihat terawat. Pos itu dibuat menyerupai rumah adat Lampung dengan tiang penyangga yang tinggi. Bentuknya seperti rumah pohon yang luas. Untungnya, ada satu ruangan di bawah yang berfungsi sebagai gudang. Mereka hanya harus membawa barang-barang yang diperlukan ke atas.

Jella harus menaiki banyak anak tangga untuk tiba di atas. Letaknya yang sudah masuk lebih jauh ke hutan, membuat pos itu terasa lebih asri sekaligus menakutkan di saat yang sama. Ia bisa menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya. Jella sempat heran, tetapi juga senang karena mendapatkan kamar sendiri. Ia kira, mereka akan membangun tenda, ternyata pos yang mereka tempati malah lebih mewah daripada hotel bintang dua.

"Kamarnya cakep banget." Jella sempat menganga ketika melihat kasur lipat yang ada di ruangan yang sudah menjadi kamarnya itu.

"Berhubung kamu cewek sendiri, nggak apa-apa pakai aja kamarnya. Kami nanti pake sleeping bag kayak kemaren."

"Terima kasih, Dito." Jella hampir terharu karena diperlakukan spesial.

Jella menunggu hingga pria bertubuh atletis itu keluar dari kamarnya, tetapi kelihatannya ada sesuatu yang mengganggunya. "Ngomong aja, nggak apa-apa."

Pria yang tingginya tidak jauh berbeda dengan Jella itu tersenyum kaku. "Kayaknya Tim butuh temen ngobrol. Tadi, gue sama Diko udah ngampirin, tapi katanya dia mau sendiri. Mukanya suntuk banget, padahal di lapangan baik-baik aja tadi."

"Ah, gitu." Jella menjawab singkat.

"Kalo lo mau langsung istirahat, nggak usah, nggak apa-apa. Gue cuma khawatir aja sama Tim. Dulu dia nggak pernah sampe ngelamun gitu. Biasanya dia yang paling asyik kalo di lapangan."

Jella tersenyum. "Gue ngerti maksud lo. Abis mandi, gue bakal ngobrol sama dia."

"Terima kasih, ya."

"Gue yang harusnya berterima kasih, kalian ajarin banyak hal ke gue. Salah satunya dengan peduli sama rekan kerja."

Dito tersenyum. "Tim bukan cuma rekan kerja, tapi juga keluarga buat kami, jadi terima kasih."

Jella sempat terdiam mendengar jawaban itu. Ia jadi semakin penasaran dengan alasan yang membuat mentor dadakannya itu berubah. Ia buru-buru membersihkan diri dan segera menghampiri Tim yang tengah duduk melamun sambil memegang cangkir.

"Hei." Jella duduk di samping Tim.

Kini mereka tengah duduk di teras pos dan menghadap hutan padat pepohonan. Penerangan yang mereka punya hanya di sekitar pos. Semakin jauh ia melihat, maka yang didapati hanya semakin gelap.

"Tim." Jella menyenggol lengan mentornya.

Pria bertubuh jangkung itu terkejut dan menoleh dengan cepat. "Iya. Eh, Jella. Gimana kakinya? Masih sakit? Udah dicek sama Diko?"

Jella terkekeh. "Aman. Udah nggak sakit. Kalo lo, gimana?"

"Gimana apanya?" Tim mengerutkan dahi.

"Muka lo kayak kanebo kering. Ditekuk mulu. Anak-anak sampe nggak ada yang berani negor."

Tim buru-buru buang muka dan meletakkan cangkirnya. "Ada perlu apa?"

"Dih, ngomongnya formal amat. Kalo lo nanya gitu, berasa banget, deh, aura kasubbagnya." Jella mengayunkan kakinya yang menggantung.

"Jangan ngeledek!"

"Siapa yang mau ngeledek? Gue mau berterima kasih, kayaknya kalo nggak karena latihan nggak manusiawi lo selama dua minggu, gue nggak akan terbiasa jalan sejauh tadi. Jujur, gue capek, tapi seneng juga. Makasih, ya." Jella yang sebelumnya menatap lurus, kini menatap Tim sambil tersenyum.

Tim mengusap tengkuknya dan turut menurunkan kakinya hingga menggantung. "Udah kewajiban gue."

"Kalo diinget-inget, kerja kita ribut mulu nggak, sih?"

Tanya Jella langsung mendapat anggukan dari Tim.

"Gimana kalo kita temenan?" Jella mengulurkan tangannya dan tersenyum.

Entah mengapa, senyum Jella terlihat tulus. Perlahan Tim menyambut uluran tangan itu dan mereka berjabat tangan beberapa detik.

"Udah jangan kelamaan, nanti naksir." Jella menarik tangannya lebih dulu.

Tim merasa ada yang longsor di hatinya. Percikan yang membuat perutnya geli itu, merembet menjadi debar tak karuan.

"Berhubung kita udah temenan, ada yang mau lo tanya nggak ke gue?" Jella mengajukan pertanyaan itu agar mendapat kesempatan untuk bertanya balik. Sebab, ia sudah terlalu banyak menyimpan tanya.

Tim tidak bisa langsung menjawab, ia malah menyisir rambutnya dengan jari.

Kalo rambutnya disibak gitu, cakep juga, nih orang. Jella segera mengingatkan dirinya agar fokus pada tujuan, bukannya oleng hanya karena dahi Tim yang terlihat. "Apa kek, gitu? Soal kenapa gue tinggal di rumah bawah atau nggak, apa hubungan gue sama Yosi?"

Tim tertawa. "Kalo itu, gue udah tahu semua."

"Hah?" Jella melongo.

"Yosi udah cerita semuanya. Lo sama dia sepupuan, terus dari SD lo udah tinggal bareng keluarganya karena, ya, lo tahu. Rumah yang kita tempatin punya orang tuanya Yosi juga, kan?"

Jella ingin segera pulang dan memukuli Yosi hingga benjol. Adik sepupunya itu memang suka bicara dan memberikan info-info kelewat batas, pada sembarang orang.

"Kalo lo, ada yang mau ditanya?"

Inilah namanya, kalau rezeki, nggak akan kemana. "Kenapa lo semarah tadi waktu gue jatuh?"

Tim menghentikan gerakannya mengayun kaki. Ia langsung menunduk dan menghela napas berat. "Setengah tahun lalu, gue bawa anak magang ke lapang. Ada satu anak yang kolaps. Salah gue, gue nggak periksa kesehatan mereka dulu. Ternyata dia punya riwayat penyakit jantung. Untungnya, posisi kami belom terlalu jauh dari bibir hutan. Sedikit aja kami terlambat, bisa jadi gue bakal kehilangan anak itu selamanya."

Jella menepuk punggung Tim yang sudah merosot. Ia bisa merasakan rasa bersalah yang begitu besar dari setiap kata yang pria itu ucapkan. "Nggak apa-apa. Lo nggak salah. Nggak ada yang salah. Semuanya berakhir baik-baik aja, kan?"

"Waktu evakuasi, salah satu anggota gue terperosok ke jurang. Kakinya cedera lumayan parah. Sampe sekarang, dia nggak bisa ke lapang. Bahkan mungkin, nggak akan bisa ke lapang lagi."

Tangan Jella yang sebelumnya menepuk punggung Tim, langsung berhenti. Alasan yang membuat pria berambut mullet itu banyak merenung adalah sebuah rasa bersalah. Jella mencondongkan tubuhnya dan ia bicara dengan lembut. "Lo nggak salah. Itu semua cuma kecelakaan. Gue yakin, nggak ada orang yang nyalahin lo."

"Gue salah karena sebagai ketua, gue nggak bisa melindungi anggota gue, bahkan gue hampir kehilangan anak magang yang masih punya banyak mimpi." Suara Tim sudah bergetar. Jella juga bisa melihat kalau tubuh pria di sampingnya bergetar.

Jella mendekatkan tubuhnya dan memeluk Tim sebentar. "Gue peluk lo sebagai teman. Lo nggak salah, Tim."

"Makasih. Gue udah dengar ribuan kali kalimat yang sama, tapi karena lo, gue jadi sedikit lebih lega." Tim mengusap matanya kasar.

"Dari ribuan kali, pasti setengahnya dari Jun."

Tim memaksakan senyum dan mengangguk.

"Tim, lo terus ngerasa bersalah karena belum berdamai sama diri lo sendiri. Kalo emang lo mau lebih lega, temuin anggota lo itu dan minta maaf. Gue yakin, dia pasti maafin lo."

Tim terdiam. Ia memejamkan mata dan berusaha mengingat kembali kejadian enam bulan lalu, kemudian ia membuka mata dan mendengkus. "Apa gue bisa?"

"Gue yakin bisa. Lo pasti bisa. Setelah itu, lo harus maafin diri lo sendiri." Jella kembali menepuk pelan punggung Tim.

Pertanyaan gue masih banyak, tapi gue nggak suka liat lo sedih kayak tadi, jadi, mungkin bakal gue tanya lain kali.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro