20. Balik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu minggu di lapangan membuat rasa kagum Jella pada Tim semakin dalam. Pria yang hobi mengenakan topi rimba itu selalu berhasil membuatnya kagum. Mulai dari caranya mengatasi masalah dengan cepat dan tingkat kesabarannya yang cukup membuat mereka bisa menyelesaikan 'misi' meski harus bertarung dengan hujan berkali-kali.

Setelah pembicaraannya di malam itu, Tim tidak lagi banyak melamun, walau ia tidak mengurangi tingkah protektifnya pada semua orang. Pada saat perjalanan kembali ke pos pertama, Diko dan Dito sempat disemprot habis-habisan karena terpeleset saat hujan setelah bercanda. Saat itu, ganti Jella yang menjadi penengah. Dua anggota tim sampling hanya bisa menonton sambil tersenyum ketika melihat tingkah pemimpin mereka. Jella juga jadi lebih dekat dengan dua orang itu. Saat ini saja, Jella tengah diajak berjulid ketika mereka istirahat.

"Bapak, tuh, orangnya emang lebay, Bu. Waktu istri saya lahiran, Bapak bawa bingkisan banyak banget, kayak anak yang lahir se-RT."

Jella tertawa kecil. "Terus-terus?"

"Ibu, kan, tau, ya. Bapak, tuh, kayak punya hobi ngelatih sampe kayak di SPN."

"SPN apa, tuh?" Jella bertanya penasaran.

Anggota yang lebih muda menjawab. "Tempat sekolahnya polisi, Bu."

"Latihannya militer banget pokoknya, tapi pas ada anggota yang sakit, Bapak bisa sibuk sendiri sampe mau anterin ke rumah sakit segala. Pak Jun, tahu banget, tuh tingkahnya."

"Emang dari dulu, gitu, ya?" Jella jadi antusias.

Keduanya terdiam, kemudian memelankan suara. "Dulu, banyak yang bilang Bapak masuk pake orang dalem."

"Iya, santer banget itu beritanya. Padahal, mah, pas masuk juga bareng kita-kita kerjanya. Nggak langsung jadi kasubbag. Emang orang-orang, tuh suka banget gosip yang enggak-enggak."

"Begitu selesaiin dua proyek kecil, buh, itu aura Bapak langsung tumpah-tumpah. Orang-orang di lapangan langsung kasih jempol semua. Ibu lihat sendiri, kalo di lapangan bentukannya gimana. Bisa tegas, tapi tetep perhatiin semua anggotanya. Data sama dokumentasi juga rapi semua."

Jella sempat tidak percaya, tetapi ia tetap mendengarkan.

"Pas kasubbag kami pindah kantor, Bu Alia sempet panggil saya, Bu. Minta rekomendasi gitu." Anggota yang lebih tua, menjelaskan dengan antusias. "Nggak perlu pake babibu, saya langsung ajuin Pak Tim aja. Anak-anak juga setuju semua. Lagian, waktu itu Bapak juga lagi lanjut sekolah lagi. Jadi, cocok udah."

Jella mengangguk. Melihat kinerja Tim di lapangan, ia juga setuju kalau pria bertubuh jangkung itu menduduki posisinya sekarang. Tidak ada cela sedikitpun. Walau kalau di kantor, tingkah Tim sangat menyebalkan, semua bisa ditoleransi begitu melihat pekerjaannya di lapangan.

"Udah selesai ngomongin sayanya?" Tim bertanya dengan wajah kesal. "Kalo mau ngomongin orang itu, jangan di depannya. Kan, saya bisa denger semua. Mana dipanggil Bapak, lagi. Saya masih muda, jangan dipanggil Bapak."

Bukannya menyesal, kedua anggota sub bagian sampling tadi malah cengar-cengir. "Ya, beda, toh, Pak. Ini, kan, lagi kerja. Kalo di luar, boleh panggil Mas Tim."

Tim tersenyum tipis. "Gimana kabar anaknya, Pak? Udah lama saya nggak ketemu."

"Baik, Pak." Pria bertubuh mungil itu langsung menunjukkan ponselnya. "Ini, loh, sudah bisa jalan."

Tim tersenyum cerah. Jella juga turut tersenyum melihatnya. Tidak lama setelah itu, mobil jemputan mereka sudah tiba di pos pertama. Keempat staf V-Bio itu langsung mengemasi barang dan segera masuk ke dalam mobil. Mereka juga sudah pamit pada Diko dan Dito yang sudah mengawal mereka selama perjalanan.

Tim mempersilakan anggotanya yang lebih senior untuk duduk di depan karena diam-diam, ia ingin duduk di samping Jella. Selama perjalanan, Tim lebih banyak diam dan menyimak obrolan Jella dengan dua orang anggotanya. Namun, setelah beberapa jam, satu per satu mulai tumbang dan tertidur. Dengan sengaja, Tim menyesuaikan tinggi pundaknya agar Jella bersandar dengan nyaman.

Begitu tiba di bandara, Jella langsung ingin membenturkan kepalanya ke pilar beton karena ia terlalu malu. Ia sudah menggunakan bahu Tim sebagai bantal dadakan dan yang lebih memalukan lagi, pria itu malah ikut tidur dan menyandarkan kepalanya ke kepala Jella.

Wajah Jella sudah seperti kepiting rebus ketika rekannya datang menyusul. "Kalo dilihat-lihat, Bu Jella sama Pak Tim cocok, lho. Saya mendukung."

"Ih, siapa yang ngajarin begitu, Pak? Nggak saya nggak cocok sama Tim."

Pria bertubuh mungil dan menggeret boks besar itu tersenyum jail. "Pak Tim yang ngajarin. Saya punya foto tadi, lho. Mau dikirimin nggak, Bu?"

Jella mempercepat langkahnya. Ia sudah kepalang malu. Namun, ia bisa mendengar tawa dari  tiga orang lain yang ada di belakangnya.

***

Mereka tiba di V-Bio setelah petang dan disambut oleh Jun serta seorang peneliti senior. Pria idaman Jella itu menyambut dengan senyum manis. Jella baru sadar kalau Jun memiliki gingsul yang membuatnya tambah manis.

"Kalian sudah bekerja keras. Urusan di lab, biar saya sama Pak Priyo yang beresin. Kalian dapat jatah libur satu minggu. Jadi, sampai ketemu minggu depan." Jun bicara setelah mereka selesai memasukkan semua bakal spesimen ke ruang sampel.

"Beneran libur?" Jella berseru antusias.

"Iyalah, libur. Ya kali, tenaga kita udah diperas seminggu full, terus nggak dikasih libur. Harusnya ditambahin, tuh, dikit amat." Tim mengajukan protes.

Jun langsung memukul lengan sahabatnya hingga menimbulkan bunyi cukup keras. "Dari zaman dulu juga peraturannya udah gitu. Lo jadi direktur dulu sono, baru bisa ganti aturan."

Tim menatap Jun sinis. Melihat sahabatnya yang sudah siap murka, Jun langsung melakukan gerakan mengunci mulut yang membuat Jella tertawa.

"Lo berdua mau gue anter balik, nggak? Sengaja bawa mobil, nih, gue. Demi sahabat tercinta."

Tim memutar bola matanya malas. "Nggak usah sok dramatis. Gue bawa motor, ntar titip tas aja." Ia ganti menatap wanita berponi di sampingnya. "Jella bareng Jun aja nggak apa-apa. Lumayan adem mobilnya. Gue ada urusan juga. Jadi, nggak akan langsung balik."

"Urusan apa, tuh?" Jun bertanya dengan tatapan curiga.

"Yang jelas bukan urusan lo, sih." Tim tertawa dan melangkah keluar lebih dulu, Jella dan Jun menyusul kemudian.

Jun membantu Jella menurunkan dan membawa tasnya masuk ke rumah. Ia juga sudah mengantar tas Tim ke rumah atas. Pria bersetelan jas itu langsung pamit segera setelah menyelesaikan tugasnya.

Jella sempat kecewa, tetapi ia langsung tersenyum bahagia begitu mendengar pintu rumahnya diketuk tidak lama setelah Jun berpamitan. Jella membuka pintu dengan semangat. Senyumnya juga mengembang sempurna. "Ada apa lagi, Jun? Ada yang ...."

Lidah Jella mendadak kelu. Ia tidak bisa mengatakan apapun, bahkan kini kakinya sudah menjelma menjadi jelly. Seolah-olah kakinya sudah kehilangan kemampuan untuk menopang tubuh. Ia berharap kalau yang ada di depannya kini bukanlah sesuatu yang nyata.

"Jella, maaf." Pria bermata besar itu memeluk Jella dengan gerakan lambat. Jujur, Jella merindukan pelukan itu. Sangat. Aroma yang berasal dari parfum pemberiannya juga menambah rasa nyaman.

Jella berusaha menahan tubuhnya tetap tegap. Ia berharap kalau hari ini tidak akan pernah tiba, tetapi harapannya langsung sirna begitu menyadari kalau pelukan pria itu nyata. Begitu sadar, Jella berusaha mengumpulkan semua tenaga, mendorong tubuh pria itu dan membiarkannya meringis karena sudah dicampakkan.

"Jella, maafin gue."

Pernyataan Niko membuat Jella terdiam. Selain memantik kesedihan dalam benaknya, pernyataan itu juga membuat Jella teringat pada kejadian hampir satu bulan lalu. Hari itu, ia mendapati kalau kekasihnya telah berselingkuh. Ia tidak mengharapkan apapun selain kata maaf, tetapi setelah hampir sebulan, barulah ia menerima kata maaf yang sungguh-sungguh dari mantan kekasihnya ini.

Jella mematung. Ia tidak bisa merespons tatapan sendu dari Niko yang tengah memohon maaf. Kilas balik satu bulan yang ia lalui dengan penderitaan membuatnya menghela napas. Meski terlihat baik-baik saja, ada luka menganga yang terus terbuka setiap kali Jella ingin memejamkan mata. Ada luka yang membuatnya bahkan tidak mampu menelan makanan. Di balik kata-kata tangguhnya yang melawan Niko, ada jeritan tidak terima yang terus bersuara di kepalanya.

"Jella, maafin gue."

Jella mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kemudian, ia mengambil ponselnya dari saku. Ia membuka transaksi terakhir di rekening dan tentu saja, sesuai harapan, pria yang ada di hadapannya ini pasti meminta maaf untuk memohon keringanan. Ia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi, tetapi ia tidak menyangka kalau sakitnya akan lebih parah daripada ketika ia melihat Niko selingkuh.

"Lo minta maaf buat perselingkuhan atau buat janji bayar hutang yang nggak bisa lo bayar?" Jella berusaha mengajukan pertanyaan itu dengan tenang, tetapi suaranya tetap bergetar.

Niko mendongak. Ia menatap mata Jella. Dalam.

"Jawab!" Sekarang, tidak hanya suara, tetapi tangan Jella juga sudah bergetar.

"Gue minta maaf." Niko kembali menundukkan kepalanya.

Jella memaksakan tawanya. Kini, tubuhnya sudah bersandar di pintu karena ia tahu, bisa saja ia terjatuh karena tidak mampu berdiri sendiri. "Harusnya, lo minta maaf waktu gue pergoki lo selingkuh. Harusnya lo jelasin semuanya waktu itu. Harusnya, ..."

"Harusnya gue tahu kalo gue bukan apa-apa tanpa lo. Jella, gue minta maaf, gue bisa jelasin semuanya. Satu hal yang paling gue sesali adalah nggak berusaha untuk melawan ego. Gue nggak berusaha mempertahankan orang yang paling berharga di hidup gue. Gue yang bodoh. Gue memang salah. Jadi, tolong kasih gue kesempatan buat perbaiki kesalahan gue."

Jella diam. Matanya menatap Niko dengan tatapan kosong, tetapi air matanya sudah berhasil meluncur tanpa izin.

Niko mendekat. Ia menggenggam tangan kanan Jella dan menyentuh cincin yang ada di jari manis wanita itu. "Gue tahu, masih ada tempat buat gue. Gue minta maaf, kita perbaiki semua sama-sama, ya."

Jella memandang cincin pemberian Niko yang masih melingkar di jari manisnya. Cincin itu adalah tanda saat pria itu melamarnya. Bahkan, ia tidak sadar kalau cincin itu masih ada di sana.

"Jella." Niko kembali memanggil namanya.

Kesadaran menjemput Jella terlambat. Ia baru sadar kalau membiarkan Niko terus menggenggam tangannya, bisa membuat ia berubah pikiran. Dengan cepat, Jella melepaskan tangan Niko. "Tolong pergi dari sini."

"Tapi, Jell ...."

"Gue minta tolong. Pergi!" Jella berteriak cukup keras.

"Oke, gue pergi, tapi tolong pertimbangkan pertanyaan gue."

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro