22. Usaha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari sudah beranjak naik ketika Tim menuruni tangga rumahnya dengan tergesa-gesa. Ia kesiangan karena sibuk memikirkan tawaran yang ia ajukan pada tetangganya. Pria berjaket hitam itu baru berhasil tidur setelah pukul tiga subuh.

"Rajin amat." Suara yang sangat familier langsung menyambut.

Tim mempercepat langkahnya hanya untuk mendapati kalau Jella duduk di teras sambil meminum teh. Ia memutar bola matanya malas. "Ini yang bikin lo cepet capek. Bukannya olahraga, malah banyakin gula pagi-pagi."

"Dih, kok sensi. Lagian, teh gue nggak pake gula!" Jella langsung sewot. Ia mengangkat cangkir tehnya dan minum dengan ekspresi puas.

Bukannya mulai berolahraga, Tim malah berdiri di depan teras rumah bawah, sambil melipat tangan di dada. "Tumben nggak ngopi?"

Jella berdecak. "Pake diingetin segala. Gue puasa ngopi dulu. Asam lambung kumat."

Pria berambut mullet itu menggeleng. "Itu bukan karena lo ngopi, tapi karena stres."

Cangkir teh yang tadinya berada di tangan Jella, kini sudah berpindah tempat ke meja. Cangkir tersebut diletakkan dengan gerakan anggun. "Lo kalo mau ngatain gue langsung aja, nggak usah bawa-bawa penyakit."

"Kan, kebiasaan. Gue ngomong apa, lo sewot karena apa. Udahlah, mending gue cabut." Tim menggeleng dan berniat langsung beranjak dari sana.

"Gue ikut. Bentar."

Tim menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan hanya menemukan cangkir yang dibiarkan di atas meja. Tadinya, ia tidak percaya, tetapi begitu melihat Jella keluar dengan jaket kuning khasnya, pria bermata sipit itu langsung terperangah. "Lo kesambet?"

Jella menoyor Tim dengan penuh nafsu. "Lo doyan banget ngatain gue! Temennya mau berubah menuju kebaikan, kok, malah di-roasting. Kalo temen mau berubah baik, tuh, didukung bukan diledek."

Tim sempat oleng sejenak, tetapi ia langsung tertawa setelahnya. "Awas lo ketagihan olahraga."

Jella menyatukan kedua tangannya dan berseru semangat. "Aminin dulu. Amin."

Tim kembali tertawa. Ada lega yang ia rasa setelah melihat Jella penuh semangat. Akhirnya, mereka berlari mengelilingi komplek rumah. Waktu olahraga mereka selama dua jam, diisi dengan cekcok tidak penting.

Setelah tiba di rumah, Tim yang lebih dulu mengajukan tanya. "Abis ini lo ngapain?"

Jella meletakkan telunjuknya di dagu dan matanya menatap ke atas. "Iya, juga. Stok drama gue udah ludes. Abis ini enaknya ngapain, ya? Emang lo ngapain?"

Pertanyaan balik dari Jella harusnya bisa dijawab dengan mudah, tetapi Tim malah terdiam. Bukan karena tidak tahu tempat tujuannya, tetapi ia tidak yakin apakah tetangganya ini mau diajak ke tempat itu.

Tak kunjung mendapat jawab, Jella langsung mengajukan saran. "Gimana kalo kita ke tempat belajar lukis gitu? Gue pengen banget ke sana, tapi Niko, kan selalu sibuk." Wanita berjaket kuning itu, langsung menghela napas. Entah mengapa nama Niko bisa muncul begitu saja. Ia mengangguk pasrah sebelum menyerahkan diri pada Tim. "Lo boleh mengumpat ke gue. Silakan."

Gerakan Jella yang mempersempit jarak, membuat Tim menahan wanita itu dengan telunjuknya. "Berhenti di situ. Untuk ganti umpatannya, gimana kalo lo temenin gue ke suatu tempat?"

Jella berdecak. "Bilang aja kalo nggak setuju sama ide gue. Nggak usah pake alasan 'untuk ganti umpatannya'."

"Maksud gue nggak gitu."

Jella malah mencibir. Ia menyerukan protes dengan caranya sendiri. Bibirnya mengerucut dan menyebutkan kata random yang biasa digunakan untuk meledek lawan bicara. "Nyenyenyenye."

"Jell."

"Nyenyenyenye" Jella masih keras kepala.

"Jaella Danastri." Tim bicara dengan nada tegas.

Seketika, Jella langsung kembali pada mode 'normal'. "Jangan panggil nama lengkap gue pake nada gitu."

"Makanya denger dulu penjelasan gue. Lo kayak bocah banget ngambeknya."

Jella langsung sewot. "Loh, jadi lo ngatain gue bocah dan ngambek?"

Tim sudah hampir frustrasi. Ia mendengkus dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Gue mau ke rumah anggota yang cedera enam bulan lalu."

Mendengar kalimat Tim, Jella langsung bertepuk tangan heboh. Wajah yang sebelumnya ditekuk, sudah berubah semringah. "Woh, keren. Gue ikut. Gue boleh ikut, kan?"

Tim mengangguk pasrah. Ia hampir menyerah menghadapi wanita di depannya ini, tetapi di saat yang sama, ia juga lega karena Jella mau ikut bersamanya.

***

Jella sangat antusias ketika mereka tiba di rumah rekan kerja yang pernah mengalami kecelakaan. Ia memegang erat parsel buah yang sudah mereka beli dengan debat berkepanjangan. Tadinya, Tim ngotot membeli parsel buah berukuran jumbo yang tidak akan sanggup Jella bawa. Untungnya perdebatan tadi dimenangkan oleh Jella, sehingga kini ia bisa dengan mudah membawa parsel itu.

"Selamat siang." Jella berseru setelah kesusahan mengetuk pintu dengan tangan yang dipenuhi buah.

Tidak ada jawaban.

Jella menyenggol lengan Tim. "Bisa nggak, lo aja yang ketok pintunya. Dasar nggak peka. Udah gue yang bawa parsel segede gaban gini. Lo malah diem aja di situ kayak patung selamat datang."

Tim menghela napas. Ia mengalah dan mengetuk pintu. "Selamat siang, permisi."

Suara langkah dari dalam rumah membuat jantung Jella berdegup lebih cepat. Ia bisa melihat kalau wajah Tim sudah memucat. Ia menyenggol lengan pria berkemeja abu-abu itu dan tersenyum padanya.

"Selamat siang, maaf cari siapa?" Seorang pria muncul setelah pintu terbuka, disusul seorang wanita yang menggendong anak. "Ya ampun, Pak Tim. Silakan masuk. Silakan."

Melihat sambutan hangat itu, Jella langsung tersenyum lega. Ia menyerahkan parsel buah di tangannya pada istri dari pria itu. Kemudian, ia menggandeng Tim dan menyeretnya masuk.

"Silakan duduk."

Jella bisa melihat dengan jelas kalau langkah pria yang menyambut mereka tidak seperti kebanyakan orang. Ia langsung tahu kalau kaki kanan pria itu yang mengalami cedera cukup parah. Gerakan tidak nyaman itu pasti efek dari cedera sebelumnya.

"Sudah lama sekali nggak ketemu Pak Tim. Gimana kabarnya, Pak?"

Jella langsung menyenggol kaki Tim agar pria bermata sipit itu segera buka mulut. Namun, dampak dari tindakannya malah sebuah erangan tertahan. Lelah dengan Tim yang kelewat lelet, Jella akhirnya bicara. "Perkenalkan, saya Jella."

"Mbak Jella ini, pacar atau malah istrinya Pak Tim?"

Jella hampir terjengkang karena pertanyaan itu. Ia buru-buru menyangkal dengan gerakan tangan. "Bukan, saya temannya."

Pria tadi tersenyum ramah. "Oalah, saya pikir istrinya. Cocok soalnya."

"Bukan. Bapak apa kabarnya? Sehat?" Jella kembali melanjutkan tujuannya.

"Sehat, Mbak. Kabarnya juga baik."

Jella berdeham. "Kalau saya boleh tahu, sekarang pekerjaannya apa, Pak?"

Pria tadi tersenyum. "Saya sekarang jadi asisten pribadinya Bu Alia. Sebelumnya, kan, masih pemulihan, tapi sejak bulan lalu, saya kembali kerja. Kebetulan ini lagi istirahat karena Ibu ada seminar."

Jella mengerjap. Ia menoleh pada Tim untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Kalo pria ini diperlakukan begitu baik oleh V-Bio, kenapa Tim merasa bersalah sampai sebegitunya?

Bukannya mendapat jawaban, Jella malah dibuat tambah terkejut karena ia mendapati kalau Tim terlihat lebih terkejut darinya.

"Saya bersyukur banget karena Bu Alia memperhatikan saya dan keluarga. Beliau juga selalu hubungi saya untuk cek pengobatan. Saya malah kaget, Pak Tim datang ke sini."

Jella tambah tercengang. Ia menatap Tim dan kembali menyenggol lengannya. "Tim, kayaknya lo perlu ngomong."

"Saya nggak pernah tahu kalau V-Bio memperhatikan Bapak sampai sekarang. Yang saya tahu, Bapak diberhentikan begitu efek kecelakaan itu diketahui." Tim bicara dengan suara bergetar dan diselimuti ragu.

"Saya memang terima surat pemberhentian, tapi setelah itu, Bu Alia datang dan menjanjikan pekerjaan baru untuk saya, setelah saya pulih." Mantan rekan kerja Tim itu mengembuskan napas lega dan menatap Tim dengan tatapan berterima kasih. "Saya dengar dari teman-teman dan Bu Alia, Bapak memperjuangkan saya sampai mengundurkan diri jadi kasubbag. Baru-baru ini juga teman-teman di sampling cerita, Bapak sempat nolak ke lapangan karena kejadian itu."

Jella bisa melihat Tim menunduk.

"Saya minta maaf. Ketidakmampuan saya yang menyebabkan kecelakaan itu. Saya minta maaf karena terlambat datang ke sini."

"Bapak nggak perlu minta maaf, Bapak nggak ada salah. Kejadian itu murni kecelakaan. Saya yang harusnya minta maaf, karena saya, pekerjaan Bapak jadi terganggu. Justru saya sangat berterima kasih karena perjuangan Bapak, saya jadi lebih diperhatikan. Tadinya, begitu masuk kerja lagi, saya mau langsung nemuin Bapak, tapi Bu Alia enggak mengizinkan."

Jella bisa melihat dengan jelas perubahan ekspresi wajah Tim. Ia segera menepuk pundak rekannya itu.

"Kenapa Bu Alia nggak mengizinkan?"

"Waduh, kalau itu saya kurang tahu, Pak. Bisa ditanyakan langsung ke Ibu."

Jella menoleh ke Tim dan menuntut penjelasan, tetapi pria berbibir tipis itu tidak memberikan penjelasan apapun, ia malah segera pamit dan terdiam sepanjang perjalanan pulang.

Begitu tiba di rumah, Jella langsung menghadang Tim yang terlihat ingin buru-buru kabur. "Bentar. Gue harus konfirmasi sesuatu."

Tim menghela napas lelah. "Gue capek. Kita bisa ngomong lagi besok."

Jella bisa menangkap sinyal tidak tenang yang Tim tunjukkan. Pria itu kelihatan bingung sekaligus sedih. Dengan kesadaran penuh, Jella menggenggam tangan Tim dan bertanya, "Lo nggak apa-apa?"

"Gue ...."

"Jella!"

Satu seruan itu membuat Jella sakit kepala luar biasa. Suara dan eksistensi pria berambut tebal yang kini menatap sinis itu, membuatnya muak. "Apa?"

"Apa-apaan? Kenapa lo pegang-pegang tangan dia?"

Bukannya melepas, Jella malah mengeratkan genggamannya. "Kenapa? Ada masalah? Gue udah bukan siapa-siapa lo!"

"Lo bawa Tim balik ke rumah?" Niko bicara dengan mata melotot dan napas yang memburu.

"Gue sama dia emang serumah. Ada masalah buat lo?"

Niko mengepalkan tangan dan menyerukan umpatan ke udara. "Brengsek!"

Jella langsung berdiri di depan Tim. "Jangan coba buat nyentuh Tim. Urusan lo sama gue."

"Lo benar serumah sama Tim?"

Jella mengangguk percaya diri. "Kenapa? Lo cemburu? Merasa nggak terima?"

"Iya, gue nggak terima. Apa lebihnya dia dibanding gue? Apa?" Niko melangkah maju. Ia bertanya marah.

"Tim nggak memperlakukan gue kayak sampah. Dia selalu ada di saat-saat terburuk dalam hidup gue. Dia perhatian dan pengertian. Dia juga peduli sama semua hal yang berhubungan sama gue. Yang paling penting, dia nggak selingkuh kayak lo!" Jella tersenyum bangga setelah berhasil menyenggol harga diri mantannya yang pasti sudah porak poranda.

"Gue tahu lo. Gue paham lo gimana. Lo nggak akan semudah itu lupain gue!"

Jella geram. Ia langsung menyambar tanpa peduli kalau Niko sudah hampir menangis di depannya. "Lo nggak kenal gue. Gue udah sama Tim sekarang, jadi saran gue, mending lo lenyap dari hidup gue. Jangan lupa, bayar utang lo sebelum musnah dari hidup gue!"

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro