23. Kolaborasi Seblak dan Kopi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yosi sempat melihat mobil milik Niko sebelum memarkirkan mobilnya di depan rumah Jella. Ia heran, tetapi tidak mencoba mencari tahu lebih dalam. Yang jelas, pria yang doyan mengaku mirip harimau itu harus segera memberi tahu hot news yang santer tersebar seantero Arcie Grup. Untuk menemani sesi berjulid bersama kakak tercinta, ia sudah membeli seblak, cemilan serta empat gelas kopi.

Yosi berjalan memasuki halaman dengan tangan penuh belanjaan. Hampir saja semua plastik itu lolos dari genggamannya karena sebuah adegan yang tidak ia duga sebelumnya. Pria berpakaian santai itu hanya bisa melongo melihat adegan di depannya.

Jella mendongak, berusaha menatap Tim, tetapi pria berbibir tipis itu kelihatan enggan menatap Jella balik. Jarak antara mereka hanya sekitar satu langkah. Maju sedikit saja, pastilah keduanya akan bertabrakan.

"Lo nggak apa-apa?"

Yosi berani jamin kalau itu adalah suara terlembut yang dimiliki oleh kakaknya. Ia sampai harus melangkah mendekat untuk mendengar pertanyaan itu. Jenis suara seperti itu ia dapati ketika Jella tengah khawatir setengah mampus pada seseorang. Yosi pernah mendengarnya ketika ia sedang sakit.

"Gue udah bilang, gue capek!" Tim berbalik dan segera menuju rumah atas.

Tatapan tajam pria bermata sipit itu sangat menyeramkan, sehingga Yosi bisa langsung tahu kalau Tim sedang marah atau kesal. Namun, ia tidak berniat bertanya. Dugaan sementaranya adalah Tim bertengkar dengan Jella. Ia bisa maklum karena tahu kalau kakaknya bisa menjelma menjadi orang paling menyebalkan sedunia.

Yosi berdeham sebelum menyapa kakaknya dengan suara ceria dan penuh semangat. Ia sudah meletakkan semua bawaannya di atas rumput. Ia memeluk Jella yang masih membelakanginya. "Sayangku, cintaku, adikmu ini datang membawa upeti dan bahan untuk bergibah. Tidak lupa juga sebuah pelukan selamat datang untuk kakak kebanggaan yang berhasil pulang dari hutan dengan selamat."

Jella tidak berbalik untuk menyambut. Wanita berponi itu malah berjongkok dan memeluk lutut. Ia menenggelamkan wajahnya hingga tidak terlihat oleh Yosi.

"Jell, lo kenapa, dah?" Yosi buru-buru berjongkok di depan Jella. Ia sudah menjalani hampir seluruh hidupnya bersama dengan Jella. Kakaknya bukan orang yang gampang menangis. Jika ia menangis, itu artinya sebuah masalah besar telah terjadi.

Jella mengangkat wajahnya dan menatap adiknya dengan tatapan sedih.

"Lo kenapa?" Yosi bertanya penuh perhatian. Kalau kakaknya sudah dalam mode manja begini, ia harus mengubah peran menjadi Abang.

Jella menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa, tapi nangis lo kayak baru ditinggal mati gitu." Yosi menepuk punggung kakaknya. "Yaudah, beresin dulu nangisnya."

Setelah bosan menunggu, Yosi mengeluarkan ponselnya dan memotret Jella yang sedang menangis hingga jelek.

"Heh!"

"Kenang-kenangan. Lagian muka lo jelek banget. Biasanya aja udah jelek, kalo nangis jadi nggak ketolong jeleknya." Yosi puas ngakak hingga pipinya sakit.

Jella mendorong adiknya hingga tersungkur di rumput. "Dih, ngaca. Lo adek gue. Kalo ngatain, tuh, yang ngotak dikit. Lo ngatain gue, sama aja ngatain diri sendiri."

Yosi hanya cengar-cengir mendengar repetan kakaknya. Wanita berponi di depannya kini terlihat berusaha menghapus sisa air mata. "Udahan nangisnya? Mau makan?"

Jella mengangguk. Ia cukup kesal karena adiknya selalu jadi orang yang terlambat datang, tetapi ia bersyukur karena Yosi selalu ada di sisinya.

Setelah Jella lebih tenang, mereka pindah ke dalam rumah. Jella duduk di lantai, sedangkan Yosi duduk di atas sofa.

"Tadi Niko dateng ke sini."

Yosi yang mau membuka seblak langsung batal melakukan niatnya. Ia malah membanting bungkusan makanan itu dan mendengkus keras. "Sialan! Ngapain, tuh, orang ke sini?"

Jella menyeruput kopinya dengan tenang. "Dia minta maaf."

"Wah, Si Bangke! Enak amat minta maaf." Yosi bangkit dari duduknya. Ia berjalan mondar-mandir sambil terus menyibak rambut. "Udah gue duga, dia picik."

Jella menarik tangan adiknya dan memaksa pria yang lebih tinggi darinya itu untuk duduk.

Seringai muncul di wajah tampan Yosi. Ia tertawa mengejek. "Minta maafnya baru sekarang banget? Dih. Kemaren-kemaren nggak sadar kalo salah. Emang, ya, orang tuh, suka bego banget kalo udah urusan cinta sama duit. Cobalah, begonya, tuh, salah satu aja, nggak usah pake diborong semua. Giliran kena karma, baru sibuk minta maaf."

"Karma?"

"Gue, tuh, ya, mau ngajak lo gibah."

Jella hanya menggeleng melihat tingkah adiknya. Namun, ia langsung naik ke sofa begitu melihat wajah Yosi yang sudah siap memulai cerita.

Yosi batal memakan seblaknya, kini ia beralih pada Jella yang sudah siap mendengar berita bombastis darinya. Ia memposisikan duduk bersila dan menghadap kakaknya. "Jangan kaget, ya."

Jella mengangguk pasti.

"Mantan kabag lo mau nikah." Yosi bicara dengan suara pelan.

"Terus?" Tanpa sadar, Jella mendekat. Berharap ia bisa mendengar jawaban adiknya lebih cepat.

"Nikahnya nggak sama Niko."

"Hah! Lah, terus?"

Yosi tersenyum puas. "Nikahnya sama anak petinggi di Arcie juga."

"Kok bisa?"

Senyum Yosi makin lebar. Kini bibirnya sudah ditarik hingga mentok. "Ya, apa lagi? Alisha selingkuh. Dia masih jalan sama Niko waktu abis tunangan. Gila nggak, sih?"

Jella melongo, ia tidak percaya pada hal yang baru ia dengar.

"Ih, serius ini. Lo bisa tanya sama anak-anak herbarium, deh. Undangannya udah nyebar. Se-Arcie Grup udah pada dapet undangan. Punya gue ketinggalan di kantor. Apa mau gue mintain fotonya sama anak fitopatologi?"

Jella melongo sempurna. Ia bingung harus bereaksi seperti apa. Merasa bahagia terasa tidak benar karena ia tahu sakitnya dikhianati, tetapi merasa sedih juga bukan hal yang tepat karena dengan siapapun Alisha menikah, itu bukan urusannya.

"Niko minta maaf sama lo, pasti karena baru tahu kalo Alisha udah selingkuh dari dia. Emang karma itu ada. Untungnya, Niko nih, dapet versi instan. Nggak sia-sia gue suka doain dia biar cepet dapet karma."

Jella menghela napas. Ia kira akan ada rasa puas ketika tahu kalau Niko diselingkuhi, tetapi yang ia rasakan kini hanya sebuah kebimbangan. Tidak ada rasa lega. Ia merasa, Niko pantas mendapatkannya, tetapi di saat yang sama, ia juga sedih karena masih memikirkan Niko saat ini.

"Lo nangis tadi karena Niko yang dateng terus minta maaf ke lo?" Yosi bertanya dengan santai. Seolah-olah memang itu adalah topik selanjutnya yang patut dibahas.

Jella menggeleng.

"Lah, terus? Masa nangis karena Tim?"

"Gue mau tanya, menurut lo, salah nggak kalo gue pake Tim buat jadi tameng?"

Yosi berdecak. "Tameng buat ngadepin Niko?"

"Iya. Dia yang nawarin sendiri."

Yosi menyipitkan mata dan menuntut penjelasan dari kakaknya.

Mau tidak mau, akhirnya Jella memulai ceritanya. Ia menceritakan latihan yang membuatnya hampir semaput, kinerja Tim, hingga kejadian saat Niko datang sebelumnya. "Menurut lo, gimana?"

Pria berpakaian santai itu menyandarkan tubuhnya ke sofa dan menghela napas berat. "Gue nggak tahu kalo lo sebego itu."

Jella langsung murka. "Heh! Nggak sopan ngatain kakaknya gitu."

"Sekarang gue tanya, menurut lo, temen mana yang mau dipake buat jadi tameng? Gue yang adek lo aja ogah."

"Jadi?"

Yosi memutar bola matanya malas. "Lo pikir aja sendiri. Biasanya juga jago. Masa perlu gue yang nanya?"

"Tolong, boleh?" Jella sudah menunjukkan tatapan memohon bantuan.

"Dih, konfirmasi perasaan gini jadinya."

"Udah, elah. Coba tanya-tanya gue."

"Menurut lo, Tim orangnya gimana?"

"Anaknya agak nyebelin, tapi baik. Dia galak, tapi perhatian banget. Dia juga suka berlebihan, tapi pengertian. Intinya ada baik, ada buruknya juga."

Kini, Yosi menegakkan tubuhnya. "Semua manusia juga punya sisi baik dan buruk. Cuma, nggak semua ditunjukin, kan?"

Jella mengangguk layaknya murid yang baru diberi materi pelajaran baru.

"Coba lo balik semua kalimat lo tadi."

"Tim anaknya baik, tapi agak nyebelin. Dia perhatian banget, tapi galak. Dia pengertian, tapi suka berlebihan."

"Kerasa bedanya? Saat lo nyebutin hal-hal baik duluan, lo senyum lebih lebar dari sebelumnya. Itu makanya gue sering bilang, jangan negatif mulu mikirnya."

Jella langsung sewot. "Gue selalu positif kali, makanya sampe diselingkuhin!"

"Mulai, deh. Jangan ngajak ribut dulu bisa nggak? Lanjut. Ada yang lo suka nggak dari Tim?"

"Suka, sih, tapi dikit doang. Soalnya gantengan Jun kemana-mana."

"Please, deh." Yosi sudah mulai lelah dengan tingkah kakaknya.

"Tim juga cakep. Apalagi pas pake baju lapang plus topi rimba, beuh, gantengnya tumpah-tumpah. Lo pasti bakalan kepincut kalo liat dia lagi di lapangan. Kurus-kurus gitu, ternyata dia kuat dan cekatan banget, tahu. Dia baik banget juga. Dia pernah ngasih gue obat pas gue sakit. Nah, yang paling penting, dia, tuh, selalu ada di pihak gue. Kalo gue salah, dia langsung negor biar gue nggak sempet oleng. Dia juga pengertian, waktu di lapangan, gue nggak dibolehin bawa barang berat."

"Ada yang nggak lo suka dari Tim?"

Jella diam cukup lama. Ia mengerutkan dahi, baru menjawab, "Dia tertutup."

Yosi tertawa pelan. "Tertutup apanya? Dia bisa cerita ke lo tentang kejadian yang buat dia hampir melarikan diri dari kerjaannya. Dia ngajak lo waktu dia berusaha berdamai sama dirinya sendiri. Dia juga terang-terangan ngejaga lo lebih dari yang lain."

"Ye, masalah ngejaga. Itu, mah, karena gue cewek."

Yosi kembali tertawa. "Iya, jawabannya cuma satu. Karena lo cewek."

Tanpa pertanyaan berikutnya dari Yosi, Jella sudah bisa menyimpulkan sendiri tentang perasaannya pada Tim. Namun, ia langsung menghela napas berat ketika mengingat kejadian sebelumnya. Tim meninggalkannya tanpa mau menjawab pertanyaannya.

***

Teima kasih sudah membaca dan berkenan vote

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro