24. Salah Paham

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jella sengaja bangun lebih cepat demi berolahraga dengan Tim, tetapi tetangganya itu malah tak kunjung tiba hingga pukul delapan pagi. Padahal, Jella sudah menunggu di teras selama tiga jam. Ia sudah mati-matian menahan bosan dengan mondar-mandir, tetapi tetap saja tidak ada tanda-tanda kalau Tim akan turun.

Akhirnya, Jella naik ke rumah atas dan menggedor pintu dengan penuh emosi. "Woy, Tim. Nggak olahraga lo?"

Jella menunggu jawab, tetapi yang ia dapati hanya hening yang tiada ujung. Akhirnya, ia mengeluarkan ponsel dari saku dan menelepon nomor tetangganya itu. Namun, bukan Tim yang menjawab.

"Hallo, Jell. Timnya lagi keluar. Ada yang perlu disampein?"

Jella mengenali suara itu. Ia langsung tersenyum dan kesalnya menguap separuh. "Jun? Lo sama Tim lagi di mana?"

"Di rumah gue. Biasa, tuh anak nginep di sini semalem. Ada yang mau disampein atau Tim harus nelpon lo nanti?"

Kekesalan Jella sudah menguap sepenuhnya. Ia merasa bodoh karena mengunggu Tim yang bahkan tidak ada di rumah. Ia sudah membuang tiga jam waktunya dengan sia-sia. "Hng, enggak. Enggak apa-apa."

Jun tertawa. "Kenapa? Kangen sama Tim, ya?"

Kalau untuk pertanyaan yang satu ini, Jella sempat bingung untuk menjawabnya. Ia malah sempat hampir menjawab 'iya', untungnya ia langsung sadar dan mengurungkan niat. Akhirnya, ia malah mengarang cerita random. "Nggak. Gue cuma bosen aja."

Jun kembali tertawa, tetapi tawanya semakin pelan. "Ketemu Tim bisa bikin lo nggak bosen, ya? Nah, ini Timnya."

Jella panik, tetapi bukannya memutuskan panggilan, Jella malah menunggu. Ia masih sibuk berpikir akan bicara apa ketika mendengar suara Tim.

"Jella? Matiin aja."

Tidak ada hujan, tidak ada badai, Tim menolak bicara dengannya. Jella sampai harus duduk di lantai karena kepalanya tiba-tiba terasa panas. Panas di kepalanya tidak hanya berasal dari matahari, tetapi ratusan pertanyaan yang nongol tanpa diundang.

Jella memijit pelipisnya dan bukannya mereda, sakit kepalanya malah tambah parah. Tanpa pikir panjang, Jella langsung meminta alamat rumah Jun. Ia tahu kalau tindakannya pasti sudah melewati batas, tetapi ia tidak bisa terima kalau Tim menolak bicara dengannya hanya karena sesuatu yang tidak jelas.

Jangan-jangan, dia nggak suka gue pegang tangannya sembarangan? Atau dia risih karena gue bilang ke Niko kalo kami tinggal serumah? Atau dia ada masalah lain? Apa salah gue?

Bukannya membalas pesan, Jun malah menelepon Jella.

"Jell, kayaknya Tim belom bisa ketemu lo. Percuma juga gue kasih alamat gue."

Jella mengembuskan napas kasar. Ia mulai kesal. "Dia kenapa, sih? Salah gue apa? Sampe nggak mau ditemuin?"

Jun terdiam.

"Kok, diem?" Jella sudah bangkit berdiri dan mondar-mandir di teras rumah atas.

"Harusnya, gue yang tanya. Lo sama Tim kenapa? Tiba-tiba aja, semalem dia ke sini. Katanya kangen sama Mama, padahal dia tahu nyokap gue lagi ke luar kota. Semaleman nggak tidur, tuh, anak. Malah ngelamun aja di balkon."

Kini, Jella yang terdiam. Ia juga tidak tahu alasan Tim melarikan diri. Yang ia ingat, kalimat terakhir yang tetangganya itu katakan hanya, 'gue capek'.

***

Tim tidak menjawab ketika diberondong pertanyaan oleh sahabatnya. Ia hanya menghela napas dan terus menatap ke luar. Sebelum tengah malam, ia memilih untuk pergi ke rumah Jun untuk menenangkan pikiran. Terjebak di tempat yang sama dengan Jella membuatnya terus mendengar suara wanita itu dan hal itu membuatnya semakin bingung. Kepalanya sudah sakit karena dihantam kenyataan kalau mantan anggotanya ternyata diurus dengan baik, masalah tentang Mama yang terus menghubunginya, ditambah lagi masalah Jella yang tidak kunjung beranjak dari kepalanya.

Setelah tidak tidur semalaman, Tim memilih memulai hari dengan memakan bubur ayam favoritnya. Ia berjalan tanpa membawa ponsel untuk menjernihkan pikirannya yang semrawut. Begitu tiba di rumah Jun, sahabatnya itu langsung menyodorkan ponsel padanya.

"Ada telpon dari Jella." Jun menjulurkan tangan yang memegang ponsel, tanpa beranjak dari duduknya.

"Jella? Matiin aja?" Tim mengambil ponselnya dengan gerakan cepat, lalu memutuskan panggilan.

Jun melongo. Ia bahkan tidak menerima bungkus bubur ayam yang diberikan Tim.

Tim membuka bungkus buburnya dan mulai makan dengan santai. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Bahkan, Jun tidak bisa mengetahui perasaan apa yang tengah bergejolak di dada sahabatnya.

"Lo masih bisa makan setelah mutusin telpon gitu aja? Lo sama Jella kenapa? Gue nggak pernah ngeliat lo kayak gini." Jun mengerutkan dahi, kemudian menggeleng. "Pernah, deng. Lo begini sama nyokap lo."

Tim tidak berkomentar. Ia sibuk melanjutkan kegiatannya.

Jun tidak heran. Ia tahu dan paham betul, kalau Tim tidak curhat dengan sendirinya, meski ia salto dan berguling-guling di lantai, sahabatnya itu akan tetap bungkam. "Gue nelpon dulu."

Tim mengangguk. Tanpa bertanya, ia sudah tahu kalau sahabatnya akan menelepon Jella karena Jun mengambil jarak cukup jauh darinya.

Kembalinya Jun membuat Tim ingin bicara. Namun, ceritanya tidak jadi disampaikan karena sahabatnya sudah menatapnya sinis. "Kenapa?"

Jun menghela napas. "Gue nanya juga, nggak ada jaminan lo mau cerita, udah gue mending diem aja daripada nanya lo terus dijawab pake jawaban ambigu."

Tim menarik senyum tipis. Tidak perlu diragukan lagi, Jun memang sangat mengenalnya luar dalam. "Gue mau cerita."

Jun yang sibuk membuka bungkus bubur ayam, langsung menghentikan kegiatannya. Pria berkaus tanpa lengan itu langsung tersenyum lebar sambil menepuk dadanya semangat. "Gue di sini, siap dengerin."

"Lo inget Pak Jamal?"

Jun menunjukkan ekspresi kecewa. Ia kira, Tim akan bercerita tentang Jella, tetapi dugaannya salah. "Anggota lo yang cedera setengah tahun lalu? Nggak mungkin gue nggak inget namanya. Kenapa?"

"Lo tahu kalau beliau kerja lagi di V-Bio?"

Jun mengerutkan dahi. Ia langsung melipat tangan di dada. "Gue baru denger. Lo tahu dari mana?"

"Lo tahu kalo Bu Alia tetep pantau pemulihan beliau?"

Pertanyaan kali ini, membuat Jun benar-benar terkejut. "Gimana?"

"Gue denger sendiri dari Pak Jamal." Tim menceritakan tentang kunjungannya ke rumah mantan anggotanya yang cedera itu. Ia menjelaskan semua detail, bahkan tentang Jella yang mendampinginya.

"Duh, gue harus mikir dulu bentar. Terlalu banyak info yang bikin gue kaget." Jun menegakkan tubuhnya dan meletakkan tangannya di atas kaki yang bersila. Posisinya sudah mirip dengan orang yang siap bermeditasi. Kalau meditasi selalu diasosiasikan dengan ketenangan, maka Jun adalah kebalikannya. Dengan posisi seperti itu, ia melontarkan ancaman penuh emosi. "Kita selesaiin satu-satu, tapi lo janji dulu. Jangan skip pertanyaan gue! Awas aja lo skip, gue usir lo dari sini!"

Tim mendengkus.

"Janji dulu atau gue usir sekarang juga!" Jun bertanya masih dengan nada penuh emosi.

Tim lelah, tetapi ia tidak punya tujuan lain. Bertanya pada Jella akan jadi pilihan terburuk. Bicara dengan Niko, tidak akan ada gunanya. Situasi mereka saat ini tidak akan membuatnya bisa berdiskusi seperti dulu. "Oke, janji."

"Nah, gitu, dong. Jujur, kayaknya gue pernah ketemu Pak Jamal sebelum rapat pimpinan, tapi gue nggak langsung sadar karena gue kira cuma orang yang mirip. Untuk masalah Bu Alia yang ngurus pengobatan sampe pemulihan, gue nggak tau. Yang gue tahu, lo rela resign asalkan Pak Jamal nggak kehilangan pekerjaannya. Pertanyaan gue sekarang, setelah tahu semua fakta ini, apa yang bakal lo lakuin?"

Tim langsung menyandarkan tubuhnya ke sofa dan menghela napas berat. "Gue harus berterima kasih sama Bu Alia."

Kini, ganti Jun yang menghela napas. "Nggak cuma terima kasih, lo harus minta maaf. Lo udah musuhin beliau lama banget. Udah berapa kali gue bilang, beliau nggak kayak yang lo pikirin. Sekarang terbukti, 'kan?"

Tim mengangguk kaku.

"Nah, terus apa yang buat lo sampe ngelamun semaleman di balkon? Ngeri kesambet aja gue mah." Jun menatap sahabatnya lama, berharap segera mendapatkan jawaban sesuai tebakannya.

"Gue nggak tahu."

Jun mengacak rambutnya frustrasi. Ia mengubah posisi duduknya menjadi posisi normal. "Oke, gue ganti pertanyaannya. Kenapa lo nggak mau jawab telepon Jella?"

"Gue nggak tahu."

Tidak terima dengan tingkah sahabatnya, Jun langsung bangkit dari duduknya hanya untuk melayangkan satu pukulan di kepala Tim. "Lo kayak bocah. Lo laki, jawab yang bener."

Tim menyandarkan kepalanya di sofa dan menatap langit-langit. "Gue ngerasa nggak pantes. Jella udah buat gue berhasil berdamai sama diri gue sendiri, tapi gue nggak bisa lakuin apapun buat dia. Gue cuma bisa berdiri di sampingnya kayak orang bego."

"Lo suka sama Jella?" Jun bertanya dengan suara tanpa balutan emosi.

"Bohong kalo gue bilang enggak. Gue suka sama dia bahkan sebelum kami benar-benar ketemu. Gue iri sama Niko yang cerita tentang pacarnya yang suportif, ceria dan mandiri. Gue kagum sama cerita orang-orang yang kenal sama dia."

Jun mengganti pertanyaannya. "Lo sayang sama dia?"

"Gue takut dia luka. Gue benci sama orang yang nyakitin dia. Gue nggak suka liat dia nangis. Gue khawatir sampe hampir gila waktu dia sakit karena gue. Apa itu artinya gue sayang sama dia?" Tim menoleh pada Jun yang kini menatapnya.

Jun kembali melayangkan satu pukulan, kini bukan di kepala, tetapi di lengan. "Nggak nanya gue juga, lo udah tahu. Terus, masalahnya apa Timotheo Nathanael?"

"Kemarin malam, gue lihat Jella masih pake cincin dari Niko di jari manisnya. Padahal dia terang-terangan nolak mantannya yang ngajak balikan."

"Cincin doang, Tim."

Tim memejamkan mata. "Nggak cincin, doang. Gue tahu itu cincin dari Niko karena dia belinya bareng gue. Waktu itu, Niko bilang dia bakal lamar pacarnya."

Sebesar apapun rasa sayang gue ke Jella, gue nggak akan bisa masuk ke hatinya kalau pintu itu aja masih ketutup rapat dan digembok pakai cincin dari laki-laki yang sudah berkhianat.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro