3. Eh, Kamu Ketahuan!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jella tahu, ia harus tetap bekerja meski hatinya tengah dilanda topan badai. Pertengkarannya dengan Niko mampu membuat mood-nya langsung berantakan. Ia masih sibuk menghela napas ketika adik sepupunya mengetuk meja. Entah sejak kapan pria ber-name tag Yosian Nugraha itu sudah berada di kubikel milik Jella. 

"Muka lo jelek banget kalo ditekuk gitu. Udah makan siang belom?" Yosi meletakkan segelas kopi di meja Jella. 

Jella memutar bola matanya malas, tetapi ia tetap menerima kopi yang diberikan adiknya. "Nggak usah banyak basa-basi. Lo butuh apa sampe dateng ke sini?" 

Pria berkacamata bulat itu berdecak. "Berantem lo yang tadi beneran kacau banget kayaknya. Anak-anak di fitopatologi sampe ngomongin kalian berdua, lho."

"Kalo mau bahas Niko, mending nggak usah sekarang, kalo lo mau keluar utuh dari sini. Gue pengen banget balikin meja kalo inget kata-kata dia." Jella meremas kertas yang ada di depannya. 

Mau tidak mau, Yosi langsung mengambil langkah mundur. "Yaudah, gue balik. Cuma mau kasih tahu, mulai hari ini, Niko jadi kabag fitopatologi gantiin Pak Gunawan yang dipindahin ke kantor cabang di Papua."

Niko jadi kabag? Apa nggak salah? Belum juga tiga bulan dia jadi wakil kabag, sekarang udah jadi kabag? Jella turut senang kalau Niko mendapat promosi secepat itu, tetapi ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar di sini. Ia dan Niko masuk ke Arcie Grup bersamaan. Mereka memulai dari awal yang sama, bahkan empat bulan lalu status mereka masih sama, sebagai supervisor. Namun, hanya dalam 4 bulan, Niko langsung melesat melewati jabatan kepala sub bagian dan menjadi wakil kepala bagian. Kini ia sudah menjadi kepala bagian. Fakta ini terlalu lucu bagi Jella. 

Belum juga sakit kepala Jella selesai, sosok Nenek Lampir sudah tiba di kubikelnya. Wanita yang lebih muda satu tahun dari Jella itu langsung menyuruhnya ke ruangan kepala bagian dengan satu gerakan tangan. Kalau tidak ingat jabatan, sudah lama Jella ingin memukul kepala wanita itu. Namun, kini ia hanya bisa menuip poni dengan kekesalan yang besarnya bisa saingan sama Gunung Krakatau.

Apa susahnya ngomong?  Nggak sopan amat manggil orang pake telunjuk gitu! Dasar Nenek Lampir! Tentu Jella hanya mampu mengumpat dalam hati.

Banyak rumor yang beredar kalau Nenek Lampir adalah anak dari salah satu petinggi di Arcie Grup. Hal ini juga yang memuluskan jalan wanita itu untuk langsung menjadi Kepala Bagian Herbarium di Arcie Grup. Setelah Jella bekerja dua tahun di Arcie Grup, barulah Nenek Lampir masuk. Untuk ukuran fresh graduate, wanita yang minim sopan santun itu langsung sat set sat set menjadi kepala bagian dengan training kelewat singkat. Hal itu sempat membuat kehebohan di Arcie Grup dan sialnya Jella harus jadi bawahan kepala bagian karbitan itu. 

"Gimana laporan tim kamu?"

Jella berusaha mempertahankan senyuman palsunya. Tangannya yang tertaut di belakang pinggang sudah meremas satu sama lain. "Semua laporan sudah siap, Bu. Saya sudah kirim emailnya dari kemarin."

"Ada masalah?"

Masalahnya lo! Email gue dari kemaren pagi aja belom lo cek!

"Tidak ada, Bu."

Wanita berambut pendek itu melihat Jella dari ujung kepala hingga kaki. Tanpa sadar, Jella turut mengikuti gerak mata wanita itu.

"Kamu bawa heels?"

Tidak. Tolong jangan pertanyaan ini.

Jella benci pertanyaan Nenek Lampir yang satu itu melebihi berita pemotongan gaji. Pertanyaan itu yang mengantarkan Jella hingga ke seminar internasional kemarin. Kalau saja bohong itu bukan dosa, Jella pasti sudah menjawab tidak secepat kedipan mata, tetapi ia sudah punya terlalu banyak koleksi dosa, jadi ia hanya mengangguk pasrah.

"Saya masih nggak enak badan. Kamu gantiin saya di rapat pimpinan, ya. Draft rapatnya bisa kamu minta sama admin di depan."

Jella menahan napasnya yang sudah memburu. Mendebat Nenek Lampir sama saja dengan bunuh diri, tetapi bodo amat, mending bunuh diri sekarang daripada mati di ruang rapat.

"Maaf, Bu. Rapat pimpinan bukan tupoksi saya. Saya bisa mengerti kalau Ibu sedang sakit, tetapi rapat pimpinan di luar wewenang saya." Mata Jella melihat ke meja yang ada di ruang sebelah, meja itu kosong. Ia baru ingat kalau wakil kabag mereka tengah cuti melahirkan. Kemudian, ia melihat ke ruangan di seberang dan menemukan kasubbag sampling yang tengah duduk di depan komputernya. "Ada kasubbag yang bisa menggantikan Ibu."

"Pak Dibyo akan berangkat ke lapangan. Kasubbag lain sedang dinas luar."

Sialan! Ini lo bisa debat sama gue, tapi nggak bisa ikut rapat. Bangke banget!

"Saya tetap menolak, Bu. Rapat pimpinan di luar kapasitas saya sebagai supervisor."

Wanita berambut pendek yang duduk bersandar itu berdecak. "Jadi, kamu mengeluh tentang jabatanmu?"

Jella melepaskan tangannya yang tertaut. Kini senyuman sudah menghilang dari wajahnya. Jella berdiri tegak dan bicara dengan penuh percaya diri. "Saya tidak mengeluh. Saya tidak menuntut untuk naik jabatan. Saya merasa perusahaan dan atasan saya lebih berhak memutuskan apa saya layak mendapatkan promosi, meski saya tidak tahu pasti kriteria apa yang digunakan Arcie Grup untuk memilih karyawan yang dipromosikan.  Yang saya perjelas di sini, rapat pimpinan bukan wewenang saya."

"Saat ini kamu saya berikan wewenang supaya kamu bisa merasakan sensasi jadi kabag. Saya dengar dari seseorang, kamu sangat ingin memimpin bidang herbarium, kan?"

Tangan Jella terkepal. Ia nyaris tidak bisa menahan emosinya, tetapi sebelum murkanya meledak, Nenek Lampir bicara lebih dulu.

"Saya cuti setengah hari. Saya sudah lapor kalau Jaella Danastri yang akan menggantikan saya di rapat. Saya berani jamin, ketidakhadiran kamu di rapat bakal berpengaruh langsung pada karirmu di sini." Nenek Lampir bicara dengan nada mengancam.

Wanita picik itu melenggang santai melewati Jella. Kalau diingat-ingat, sudah sangat banyak pekerjaan yang Jella selesaikan atas nama wanita itu. Jella ingin protes, tetapi ia tahu kalau ia tidak punya orang yang akan membelanya. Semua orang akan menganggap hal itu wajar setelah tahu nama lengkap Nenek Lampir. Hal itu yang membuatnya sangat benci dengan seseorang yang bekerja dengan bantuan orang dalam.

***

Jella keluar dari ruang rapat dengan lemas. Ia hampir kehilangan separuh kesadarannya ketika mengikuti rapat. Bukan karena keadaan mencekam yang ada di ruangan itu, tetapi kantuk telah menyerangnya tanpa ampun. Rapat pimpinan yang berlangsung selama lima jam itu, terus membahas bidang lain yang tengah mendapat proyek dengan nilai besar. Herbarium hanya kebagian waktu dua menit untuk bicara karena tidak ada yang tertarik pada bidang mereka. Jella sampai merasa kalau laporannya hanya serupa iklan yang numpang lewat di rapat tadi.

Sepatu hak tinggi Jella sudah berganti menjadi sepatu kets. Ia memang menyimpan sepatu hak tinggi di bawah mejanya untuk menghadiri acara resmi atau acara tidak terduga seperti tadi. Setelah merapikan meja, Jella segera keluar dan berjalan menuju gerbang depan. Ketika berjalan, ia melihat Niko dan anak-anak fitopatologi sedang bersama. Pria berkemeja hitam itu tertawa lebih banyak daripada biasanya. Mungkin karena berita baik yang ia terima hari ini.

Jella ingin ikut memberi selamat, tetapi mengingat pertengkaran mereka sebelumnya, ia memilih menahan diri dan tidak mau merusak hari bahagia Niko. Yosi sempat melambai heboh pada Jella dan ia hanya membalas dengan anggukan.

Akhirnya, Jella memilih tidak langsung pulang. Ia mampir di warung geprek depan kantor. Baru saja Jella selesai dengan geprek kobisnya, tiba-tiba ia mendapat satu pesan yang membuatnya hampir terjengkang. Wanita berambut panjang itu segera menggulung rambutnya dan beranjak dari sana setelah membayar makanannya.

Jella tiba di tempat makan yang disebutkan Yosi setelah 25 menit perjalanan. Terima kasih pada kaca transparan superbesar yang ada di tempat itu. Tanpa perlu repot masuk ke dalam, ia bisa melihat dengan jelas kalau Nenek Lampir alias kabagnya tengah duduk di samping Niko. Hal yang lebih spektakuler lagi adalah lengan Niko terparkir di bahu wanita picik itu. Jella tidak bodoh, ia langsung memahami situasi yang tengah dilihatnya.

Tanpa pikir panjang, Jella langsung mengambil batu yang ada di area parkir dan melemparnya dengan sekuat tenaga ke mobil Niko. Suara alarm yang meraung membuat petugas parkir langsung menghampiri.

"Maaf mengganggu kenyamanannya, Pak. Ini mobil pacar saya yang lagi selingkuh." Jella menunjuk tepat ke arah Niko yang sedang mengusap punggung Nenek Lampir.

Petugas parkir yang menyadari kilatan emosi dari mata Jella langsung undur diri.

Suara alarm mobil yang tak kunjung berhenti membuat perhatian beberapa orang tertuju pada mobil tersebut. Niko menyadari kalau itu mobilnya, ia buru-buru keluar ketika melihat Jella mengangkat batu sebesar kepalan tangan, seolah tengah mengancam.

"Lo gila, ya?" Niko langsung berteriak ketika melihat retakan yang tercipta di kaca mobilnya.

Jella melipat tangan di dada. "Gue kasih kesempatan buat lo jelasin."

"Jelasin apa? Lo bener-bener gila, ya!"

Jella menghela napas. "Iya, gue gila. Gue terlalu gila sampe nggak sadar kalo pacar gue selingkuh! Lo anggep apa tujuh tahun yang kita habisin bareng? Kalo lo memang menghargai hubungan itu, seenggaknya, lo bisa mutusin gue baik-baik."

"Gue nggak peduli. Lo harus ganti biaya perbaikan mobil gue. Lo, kan, tahu, ini mobil baru." Niko berteriak penuh emosi.

Jella tertawa miris. "Lo masih mikirin mobil di saat kayak gini? Lo anggep gue apa?"

"Lo nggak sadar? Hubungan kita sebenarnya udah lama berakhir." Niko memelankan suaranya. "Cuma lo yang ada di hubungan ini. Gue udah mundur."

Tawa Jella semakin keras. "Lo mundur? Kapan? Lo nggak pernah ngomong sebelumnya."

"Lo yang terlalu bodoh. Coba inget, kapan terakhir kali kita jalan?"

Jella terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saking lamanya, ia tidak ingat kapan terakhir kali mereka kencan. Bertemu dengan Niko di luar kantor adalah hal yang sangat jarang ia lakukan akhir-akhir ini.

"Nggak cuma gue, orang-orang juga ngira kita udah lama putus. Jadi, lo nggak punya hak buat ngamuk kayak orang gila gini."

Jella diam. Ia menghela napas beberapa kali sebelum melayangkan satu tamparan keras ke wajah Niko.

Pria bermata besar itu mengaduh dan sempat limbung. "Lo bener-bener gila, ya!"

Jella sudah tahu apa yang akan terjadi setelah itu, tetapi ia tidak bergerak sedikitpun. Ia malah menutup mata. Ia ingin merasakan seperti apa rasanya tamparan dari seseorang yang pernah ia cintai. Setidaknya dengan ini, ia bisa mengakhiri hubungan mereka dengan cepat.

"Oke, cukup. Dramanya sampai di sini aja. Klimaksnya udah seru banget."

Mata besar Jella langsung membelalak, mulutnya jadi berbentuk o dan napasnya sempat tertahan sejenak. Ada seorang pria yang berdiri di depannya dan menahan tangan Niko. Jella mengenali suara itu.

"Tim. Apa-apaan? Ini bukan urusan lo!" Niko berusaha melepaskan genggaman pria jangkung di depannya.

"Ini udah jadi urusan gue, Bro." Pria berambut mullet itu melepaskan genggamannya.

Jella bergerak ke samping hanya untuk memastikan kalau pria yang menyelamatkannya dari tamparan adalah pria oriental dari V-Bio.

"Lo ngenalin Alisha sebagai pacar lo, gue liat kalian berantem di parkiran kemaren dan gue kenal Jella. Jadi, ini urusan gue." Pria yang dipanggil Tim oleh Niko itu bicara dengan nada yang sangat tenang. Wajahnya juga menunjukkan ekspresi kelewat serius.

"Terserah. Gue nggak mau tahu, ganti rugi kerusakan mobil gue!" Niko berteriak pada Jella.

Jella hanya bisa diam dan mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih. Ia melihat punggung Niko yang menjauh dengan perasaan campur aduk. Begitu pria berambut tebal itu menghilang dari pandangannya, Tim langsung menatapnya sambil tersenyum.

"Lo nggak apa-apa?"

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Aloha!
Duh, ambyar nggak tuh jadi Jella?

Ketika Tim dan Niko masih bestie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro