4. Orang Asing

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu Jella seolah berhenti ketika Niko membentak dan pergi begitu saja. Pria itu masih sempat menatap sedih pada mobil barunya dan tetap tidak mengakui kesalahan yang ia perbuat. Kepala Jella pening seketika. Namun, perhatian wanita bersepatu kets itu langsung teralih pada pria oriental yang berdiri di depannya sambil tersenyum prihatin.

"Lo nggak apa-apa?"

Jella menjawab pelan. "Gue nggak apa-apa."

Jella kira, setelah mengucapkan kalimat itu, ia akan lebih tenang, tetapi ternyata tubuhnya malah gemetar. Ia bisa melihat tangannya yang kini bergerak tanpa izin. Wanita bertubuh mungil itu menggenggam tangan yang bergetar hebat. Matanya sudah memanas. Pria yang berdiri di depannya sudah tidak terlihat jelas karena ada air mata yang memenuhi pandangan.

Pria yang dipanggil Tim itu menepuk pundak Jella dan menghela napas setelahnya. "Yakin, lo nggak apa-apa?"

Jella langsung menepis tangan Tim dan menatapnya sinis. "Jangan pegang-pegang gue."

Tim membeku di tempatnya. Ia segera menarik tangan yang ditepis oleh Jella.

"Jangan sentuh gue." Jella mengatakan hal itu dengan tatapan yang sendu. Tanpa sadar, air matanya sudah jatuh meluncur dengan deras. "Lo cuma orang asing."

Jella berjongkok dan menenggelamkan wajah. Ia menangis hingga bahunya bergetar. Suara tangisnya masih terdengar jelas meski ia sudah menutup mulut.

Tim hanya diam. Ia tidak beranjak atau mengubah posisi. Ia hanya berdiri di sana, berharap Jella segera selesai dengan urusannya.

"Jell, lo nggak apa-apa?" Yosi bertanya dengan napas terengah-engah.

Jella masih berjongkok, ketika Yosi datang. "Lo dari mana aja?"

Bukannya selesai, Jella malah mulai menangis lagi. Ia terlalu kesal karena adik sepupunya tidak ada di sana. Ia mengharapkan sebuah pembelaan, tetapi Yosi malah menghilang.

"Maaf, gue abis setoran di kamar mandi. Gue telat, ya?"

Jella memukul lengan Yosi dengan penuh amarah, tetapi tangisnya tak kunjung usai. "Lo telat banget, bego. Nggak bisa apa, lo tahan bentar? Lo yang bilang ke gue kalo Niko sama Nenek Lampir begitu, tapi lo malah nggak ada."

Biasanya, Yosi akan mengaduh atau berteriak mengancam, tetapi kini ia pasrah jadi samsak dadakan kakak sepupunya. "Maaf, ya. Maafin gue."

"Lo jahat banget tahu!"

Jella masih menangis ketika Yosi menariknya dalam pelukan. "Maaf, ya. Gue harusnya bilang lebih awal. Gue harusnya ada di sini buat belain lo. Maaf karena nggak jadi adik yang baik buat lo."

Tangan Yosi terus menepuk pelan punggung kakak sepupunya. Tangis Jella perlahan mereda.

Tim mengusap rambutnya ke belakang dan menyentuh pundak Yosi. Ia terlalu takut menyentuh Jella. "Ehem. Permisi, gue masih di sini, lho. Ini dramanya mau lanjut ke season 2 apa?"

Jella buru-buru menarik diri dari pelukan Yosi. "Suruh siapa lo masih di sini? Pergi sana!"

Tim sempat tertawa kecil sebelum melipat tangan di dada.

"Kenapa lo ketawa-ketawa?" Jella bertanya galak. Meski suaranya agak serak, bentakannya tetap spektakuler seperti biasa. Belum lagi mata besarnya menatap Tim dengan sinis.

"Muka lo lucu banget sumpah." Tim kembali tertawa.

Tawa pria bermata sipit itu langsung diperingati gelengan oleh Yosi. Sebagai adik sepupu yang sudah mengenal Jella seumur hidupnya, Yosi berani bertaruh nyawa untuk tidak mengganggu Jella yang baru menangis.

Jella langsung menoyor lengan Tim dengan sekuat tenaga. Pria berjas hitam itu sempat oleng seperti boneka gas selamat datang di beberapa toko ponsel. "Heh! Berani-beraninya lo ngetawain gue. Nggak liat gue lagi sebel banget! Mending lo pergi sekarang, sebelum ini batu melayang ke muka lo!"

Tim sempat terdiam begitu melihat Jella yang masih menggenggam batu di tangannya.

"Udah, Bang. Mending cabut aja. Biar gue yang urus Jella." Yosi bicara dengan nada setengah memohon.

"Lo nggak ngerasa ada sesuatu yang salah?" Tim bertanya sambil tersenyum manis.

"Apa? Semua kejadian hari ini emang salah. Salah banget. Lo bisa nggak pergi aja, sih. Gue sebel banget liat senyum lo!" Jella mencak-mencak sambil menatap Tim dengan tatapan siap bertengkar.

"Oke, gue bakal tagih makasihnya lain kali." Tim mengangkat tangannya dan melambai. Jella masih memasang sikap siap bertarung ketika tangan Tim bergerak mengambil sesuatu dari poni Jella yang berantakan.

"Heh!"

"Gue nggak nyentuh lo, cuma mau ambil ini." Tim menunjukkan sebuah daun kering kecil di tangannya. Ia kembali tersenyum. "Kalo gue jadi lo, gue nggak akan cuma lempar batu, harusnya lo bawa palu sekalian. Gue bakal sukarela bantu, kalo lo butuh bantuan. Cowok kayak Niko emang butuh pelajaran. Makasih udah buat dia stress kayak tadi."

Jella terdiam. Yosi yang masih ada di sana sempat melongo.

"Gue masih di sini waktu lo nangis karena gue pikir, lo butuh teman. Nangis sendirian, tuh, nggak enak."

Jella hampir terharu, tetapi setelah Tim melanjutkan kalimatnya, wanita berambut tergulung itu benar-benar ingin melemparkan batu di tangannya.

"Lagian kapan lagi gue bisa liat muka jelek lo abis nangis. Makasih, dramanya seru."

"Sialan!"

Seperti kemarin, Tim langsung tunggang-langgang begitu Jella berteriak. Satu hal yang Jella tidak tahu, Yosi berdiri di sana masih dengan wajah melongo.

"Kak, lo kenal sama Tim?" Yosi bertanya setelah Jella menyerukan beberapa kata umpatan dengan penuh nafsu.

Jella mengatur napasnya sebelum menjawab, "Enggak."

"Masa?" Yosi masih tidak percaya.

"Ya, kalo gue bilang enggak. Ya, enggak. Kenapa, sih?"

Yosi memiringkan kepalanya dan menatap Jella lekat-lekat. "Dia nggak kenal lo, tapi tahu kalo lo bisa tenang setelah mengumpat sepenuh hati kayak tadi. Keren."

Jella tidak bisa menerima kata-kata pujian dari Yosi untuk Tim. Ia segera melompat dan melakukan kuncian di leher adiknya. "Nggak usah sok tau."

Yosi batuk-batuk setelah berusaha keras keluar dari cengkraman kakaknya. "Ya, emang bener, kan. Liat, sekarang lo udah keliatan baik-baik aja. Umpatan lo ke Tim tadi yang bikin lo lega. Harusnya lo bilang makasih ke dia. Mana kata anak-anak, tadi dia belain lo, kan?"

Lah, iya juga. Barusan gue ngajak ribut orang yang nolongin gue. Aduh, Jella. Kok, lemotnya kebangetan. Bukannya bilang makasih, malah ngajak ribut.

"Jell. Woy, Jella. Jangan ngelamun, ngeri kesambet, ih." Yosi segera menepuk Jella yang melamun.

"Ayo, balik." Jella menggandeng Yosi dengan gerakan cepat.

"Et, main balik aja. Gue pengen nonjok Niko dulu bentar." Yosi buru-buru menggulung lengan bajunya dan berlagak siap untuk memberi pelajaran ke Niko.

"Heh! Harimau jadi-jadian! Nggak usah sok gaya mau nonjok Niko segala. Lo lawan gue aja nggak pernah menang. Ayo, balik!" Jella menarik kerah Yosi seperti menyeret anak kucing.

"Tapi, gue adek lo." Yosi masih merengek.

"Iya, lo adek gue, tapi dia kabag lo." Jella menghela napas berat. "Lo mau dipecat di tempat gara-gara nonjok kabag tanpa sebab? Lagian nggak banyak yang tahu kalo lo sepupu gue."

"Tapi, Jell."

Jella melepaskan tangannya dan menatap Yosi dalam. "Urusan gue sama Niko udah selesai, tapi urusan lo sama dia sebagai atasan nggak akan pernah selesai sebelum salah satu dari kalian keluar dari Arcie Grup. Jadi, lo cukup pura-pura nggak tahu. Oke?"

Meski berat, pria berambut cepak itu akhirnya mengangguk.

"Bentar, gue tiba-tiba inget. Gimana soal tawaran dari V-Bio? Lo ada interview besok, kan?"

Ah, V-Bio.

Jella mendapat tawaran bekerja via email. Ia juga mendapat panggilan telepon setelah rapatnya tadi. Keduanya sama-sama tawaran kerja dari V-Bio.

"Jella, kakakku yang paling cantik. Dengarkan saran adikmu ini. Lebih baik lo cari suasana baru. Apa salahnya ikut wawancara di V-Bio? Lagian belom tentu lo diterima, kan?"

Jella berdecak. "Heh! Itu mulut coba kalo ngomong, tuh, yang baik-baik aja."

"Lah, emang yang ngajarin gue siapa? Lo! Jaella Danastri."

"Emang, ya, lo!"

Jella menepuk lengan Yosi dan berjalan di samping adiknya, tetapi satu pertanyaan muncul di kepalanya.

Apa gue ikut wawancara aja, ya?

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Aloha!
Jella emosi setiap saat pokoknya. Emang kesabaran seorang Jaella Danastri cuma setipis tisu.

Kenalin, Yosian Nugraha, sepupunya Jella.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro