5. Drama Seru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa yang bilang kalau Jella tidak galau sampai hampir gila? Tentu ia menghabiskan waktu dengan uring-uringan sambil menyanyikan lagu sedih. Jella terlalu gengsi buat menangis lagi di depan Yosi. Sudah cukup ia mempermalukan diri sekali saja. Kalau sampai dua kali, Yosi bisa meledeknya hingga kiamat tiba.

Selain mengumpat, salah satu hal yang bisa membuat Jella lega adalah bernyanyi sambil menangis. Memang tidak menyelesaikan masalahnya, tetapi setidaknya ia bisa lebih tenang. Setelah lelah bernyanyi hingga lewat tengah malam. Jella meletakkan ponsel dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur.

Niko, sialan! Liat aja, gue bakalan bikin lo nyesel ninggalin gue gitu aja.

Hanya cukup satu kali bunyi alarm, Jella sudah terbangun dari tidurnya. Ia segera mengambil air yang ada di nakas setelah merasa ada rasa tidak nyaman di tenggorokannya. Jella tidak kaget, ia hanya menghela napas.

Tidak ada yang berubah, Jella tetap harus pergi ke kantor, meski kini rasanya ia ingin mengambil cuti tahunan sekaligus supaya tidak perlu bertemu Niko atau Nenek Lampir hingga dua belas hari ke depan. Namun, ia tetap harus bersiap pergi.

Memangnya gue ngelakuin kesalahan? Kok, gue yang menghindar. Enak banget hidup mereka. Gue harus tetep berangkat, biar itu orang dua risih sekalian.

Setelah sibuk bicara dengan dirinya sendiri, Jella segera bersiap dan pergi ke kantor seperti biasa.

"Selamat pagi." Jella menyapa seorang anggota bidang fitopatologi.

Pria itu mengangguk, mengusap tengkuk, kemudian menjawab canggung. "Ah, pagi."

Jella tersenyum riang setelah sadar kalau pria itu salah tingkah. "Oh, maaf. Lo liat kejadian semalem, ya?"

"Iya."

"Enggak perlu canggung, gitu. Bos lo emang selingkuh, sih, tapi nggak usah ngerasa bersalah gitu." Jella masih menjawab dengan senyum terbaiknya.

Seorang wanita berambut pendek datang dengan penuh semangat, tetapi ia langsung menghentikan langkahnya begitu melihat Jella ada di depan mesin presensi.

"Selamat pagi, Bu Alisha." Jella menyeringai, kemudian melambai dengan ramah. "Ah, Ibu kelihatan tambah cantik setelah berhasil merebut pacar orang."

Pria yang berasal dari bidang fitopatologi tadi langsung berdehem dan segera beranjak dari sana begitu menyadari kalau mungkin akan ada perang yang tercipta.

"Jaga bicara kamu!" Suara Alisha alias Nenek Lampir langsung meninggi.

Jella masih tersenyum lebar. Lebih lebar dari biasanya. Di saat yang sama, matanya berhasil menangkap pergerakan Niko yang berjalan menuju area presensi.

"Nah, ini dia bintang utamanya. Selamat pagi, Bapak Niko."

Sapaan Jella yang keras menggelegar membuat beberapa orang yang berada di sana sampai menghentikan langkah.

Niko sudah siap-siap balik badan, tetapi tangannya ditahan oleh Nenek Lampir. "Jangan pergi, kamu bakal buat orang-orang salah paham."

Niko menghela napas kasar. Ia menatap Jella sinis. "Mau lo apa?"

"Setelah tujuh tahun kita bareng, lo masih harus nanya mau gue apa?" Jella beralih dari Niko ke Alisha. "Biar saya kasih tahu, ya, Bu. Niko ini nggak worth it sebagai pacar. Udah tujuh tahun bareng saya aja, dia masih nggak ngerti mau saya apa. Oh, iya. Ada bonusnya. Dia juga selingkuh."

Jella bisa melihat kalau emosi Niko sudah terpancing. Tadinya Jella ingin menjalani hari dengan damai, tetapi ia tidak bisa diam saja melihat Nenek Lampir kelewat bahagia karena telah merebut pacarnya. Terlebih lagi, tanpa diundang, Niko malah datang tepat waktu. Tepat waktu untuk di-roasting sekalian.

"Jangan ngajak gue ribut di kantor, ya! Bilang mau lo apa! Masalah mobil? Oke, kalo lo keberatan buat ganti kerusakan mobil gue, nggak usah. Gue bisa bayar sendiri." Niko berbicara dengan suara pelan, tetapi nadanya menusuk.

"Tetot." Jella menggeleng sambil menggerakkan telunjuknya di depan muka. Wanita berambut gelombang itu mengibaskan rambutnya dan berpura-pura berbisik pada Alisha. "Selain agak bodoh, Niko juga perhitungan. Tuh, liat aja, dia masih bahas mobilnya."

"Ngomong-ngomong soal mobil, gue minta uang gue dibalikin." Jella berbicara dengan tegas. "Jangan pura-pura nggak ingat, lo beli mobil itu pake uang bersama. Oh, iya. Rumah yang lo tempatin juga, setengahnya itu uang gue."

Jella sibuk menyentuh ponsel dan ia segera menunjukkan sesuatu pada Niko. "Perhitungan utang lo ke gue udah dikirim. Gue kasih waktu sampe akhir bulan, kalo lo nggak kembaliin semua uang gue, sampe ketemu di pengadilan."

Niko menganga. Ia tidak bisa mendebat. Matanya bergerak mencari pertolongan, tetapi yang ia dapatkan hanya tatapan tidak suka dari orang-orang.

"Jell, lo nggak bisa gini."

Jella tertawa. "Gue nggak bisa gini? Harusnya lo yang mikir, lo yang nggak boleh selingkuh! Uang yang lo pake, itu uang buat persiapan pernikahan kita! Dan lo masih berani bilang, gue nggak boleh begini?"

Jella bisa merasakan kalau orang-orang yang menonton mereka tengah mencibir Niko. Ada sensasi menyenangkan yang meletup di dadanya. Ia merasa menang.

Selama beberapa tahun terakhir, Jella dan Niko memang memiliki tabungan bersama yang mereka isi setiap bulannya. Jumlahnya cukup banyak hingga mereka bisa membeli rumah sederhana untuk ditempati setelah menikah nantinya. Untuk sementara, Niko menempati rumah tersebut. Kalau mobil, mereka membelinya dengan kredit. Jella menyumbang setengah dari uang muka. Jadi, wajar saja ia merasa tidak perlu membayar kerusakan mobil yang ia perbuat.

Tiba-tiba ada suara tepuk tangan meriah yang menutup kalimat Jella. Wanita bermata besar itu langsung menoleh dan mendapati Tim yang masih berada di atas motor dan mengacungkan jempol padanya.

"Heh! Ngapain lo di sini?" Jella berjalan cepat menghampiri pria berjaket kulit itu.

Tim tersenyum. "Buat nonton dramalah. Apa lagi?"

"Gue nggak lagi pengen berantem, ya. Kenapa?" Jella menjawab dengan nada menyelidik.

Tim melepaskan helm, kemudian menyisir rambutnya dengan jari. "Ibu ngirim gue. Katanya lo disuruh ke V-Bio. Sebenernya gue males banget ketemu sama orang yang nggak tahu terima kasih, cuma karena Ibu yang minta. Gue berangkat, deh."

Jella tercengang. Ia jadi merasa istimewa karena sampai dijemput oleh utusan V-Bio. Namun, ia langsung sadar kalau di antara kalimat panjang Tim tadi, ada sebuah sindiran.

"Terima kasih buat yang kemaren." Jella berbicara pelan. Sangat pelan. Bahkan, lebih pelan daripada berbisik.

Dahi Tim mengkerut. "Hah? Apa?"

"Nggak ada pengulangan." Jella mendengkus.

"Gue nggak denger, sumpah. Apaan?"

Jella menarik napas dalam sebelum berbicara dengan sangat cepat. "Makasih buat kemaren."

Bukannya menerima dengan senyum ikhlas, Tim malah tertawa. Tawanya terlalu keras, sehingga Jella melayangkan satu pukulan ke lengannya.

"Gengsi lo gede banget. Bilang makasih aja susah banget." Tim menatap Jella sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Ibu nunggu lo. Lo mau pergi sekarang?"

"Bukannya wawancara jam 10?" Jella bertanya sambil memeriksa kembali ponselnya.

"Ibu bakal pergi ke Jerman dan nggak tahu buat berapa lama, makanya gue disuruh jemput lo."

Rasanya Jella ingin segera pergi saja dari Arcie Grup, tetapi ia tidak melupakan sopan santun. Jella harus meminta izin pada atasannya.

"Selamat pagi, Bu." Jella mengetuk pintu Nenek Lampir sambil menahan emosi.

"Pagi." Alisha menjawab jutek.

Jella menyodorkan surat izin yang harus ditandatangani Nenek Lampir sebelum ia bisa pergi untuk melakukan wawancara dengan V-Bio.

"Keperluan apa?"

Jella berusaha menjawab dengan tenang. "Keperluan pribadi, Bu. Setelah makan siang, saya akan kembali."

"Data pengamatan terakhir sudah selesai?" Alisha bertanya sambil menandatangani surat izin milik Jella.

Itu udah dua hari lalu kali. Lo ini niat kerja nggak, sih? Masa data yang udah disetor lo tanya lagi? Dasar nggak kompeten!

"Dua hari lalu sudah saya email, Bu. Hari ini, anak-anak bakal terima sampel dari lapangan."

"Oke."

Satu kata itu menyudahi percakapan Jella dan Alisha sebagai supervisor dan kabag bidang herbarium. Dengan cepat, Jella langsung mengambil surat itu dan pergi dari sana. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih dengan berat hati. Seburuk-buruknya hubungan mereka, Alisha tetap atasan Jella.

"Lama juga lo. Gue sampe ditanyain satpam." Tim menyodorkan helm pada Jella.

"Padahal gue bisa naik taksi." Jella menerima helm dengan ragu.

Tim naik darah, tetapi ia menunggu hingga Jella naik. Tidak lupa, ia sudah menurunkan pijakan kaki untuk Jella. "Lo mau naik taksi setelah gue ngorbanin hari libur gue buat jemput lo? Wah, lo bener-bener nyebelin."

Jella memukul kepala Tim yang dilapisi helm. "Lo lebih nyebelin tahu, nggak?"

Tim menarik rem secara mendadak.

"Bisa hati-hati nggak, sih?" Jella auto sewot.

"Lo bisa bikin kita kecelakaan kalo mukul kepala gue terus! Bisa diem aja nggak, sih? Cukup diem sampe V-Bio. Makin sering lo ngajak gue ribut, makin lama kita sampe V-Bio."

Jella yang tadinya mau mengumpat sepenuh hati, langsung terdiam begitu mendengar Tim merepet. Ia juga sadar kalau perbuatannya bisa membuat mereka berakhir di rumah sakit atau paling parah, ya, mereka bisa menyapa malaikat maut secara prematur.

"Dah, tugas gue beres." Tim menurunkan Jella di depan gerbang V-Bio. "Lo masih inget Bu Alia, kan? Bilang aja lo mau ketemu beliau. Nanti pasti dianter."

Jella bukan wanita penakut, tetapi ia merasa, akan lebih baik jika Tim yang mengantarnya ke dalam. Kelihatannya pria bermata sipit itu adalah salah satu orang terdekat Bu Alia. "Lo nggak masuk dulu?"

"Ogah banget. Gue lagi libur. Bye." Tim segera pergi dan hanya meninggalkan Jella di sana.

Ada kecewa yang merambati hati Jella. Bersama orang yang dikenal mungkin akan membuatnya lebih tenang, tetapi mau berharap apa? Tim malah pergi tanpa menoleh.

"Bu Jaella, ya?" Seorang staf langsung menyapa Jella begitu ia masuk.

"Iya." Wanita berambut terurai itu segera merapikan rambutnya menjadi terikat.

"Silakan, Bu Alia sudah menunggu Anda."

Jella berjalan dengan perasaan harap-harap cemas hingga mereka tiba di sebuah pintu besar dengan nama Alia menggantung di sana.

"Halo, Jaella. Senang akhirnya bisa bertemu kamu di V-Bio."

Jella agak canggung menerima pelukan itu. Ia merasa tidak terlalu dekat dengan Bu Alia hingga harus mendapatkan pelukan gratis.

"Jadi, kamu bisa bekerja mulai kapan?"

Jella spontan melongo. Jenis wawancara macam apa ini?

"Nggak perlu kaget. Saya memang sudah sangat menginginkan kamu bekerja di sini, jadi kapan kamu siap masuk kerja?"

Ini bisa jadi kesempatan yang bagus banget. Gue bisa cabut dari Arcie Grup sesegera mungkin.

"Sudah ada proyek yang menanti kamu. Saya harap kamu segera masuk kerja di sini."

"Saya akan segera menyelesaikan pekerjaan saya di Arcie Grup. Setelah itu, saya akan masuk di V-Bio."

Jawaban Jella mendapat sebuah pelukan lagi.

Gue harap, pilihan gue benar.

***

Terima kasih sudah membaca dan memberi vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro