9. Perkara Makan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jella menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan beberapa jurnal. Setelah Jun selesai dengan pembicaraan tidak penting yang bisa membuat Jella sakit kepala, pria itu malah sibuk memeriksa hasil jepretannya di TV. Pria berkemeja hitam itu beralasan kalau layar TV lebih besar daripada monitor di ruangan dokumentasi. Jella senang, pakai banget malah, karena ia bisa curi-curi pandang melihat Jun yang berkonsentrasi menatap TV.

"Mau makan siang bareng?" Jun bertanya dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya.

"Ah, makan siang, ya." Jella yang tidak siap, langsung salah tingkah. Ia memundurkan kursinya dengan mendadak saking paniknya.

Bisa-bisa Jun ngira gue ceroboh, padahal mah, grogi parah.

"Pelan-pelan aja, kali. Dia cuma ngajak lo makan, bukan ke pelaminan." Tim berdecak dan menggeleng.

Jun tertawa. "Ayo, ke kantin."

Ajakan Jun langsung disambut semangat oleh pria yang rambutnya menutupi dahi itu. Tim langsung merangkul Jun dengan semangat. Tanpa terduga, Jun tidak menepis tangan Tim dan ia kelihatan tidak terganggu sama sekali.

Lah, kok, akrab? Kirain musuhan.

Jun dan Tim melangkah bersama, bahkan keduanya kelihatan tidak kesulitan menuruni tangga --masih dengan pose yang sama. Untuk sejenak, Jella merasa telah terlupakan. Jun sama sekali tidak menoleh dan Tim kelihatan sibuk bicara.

"Lah, gue ditinggal? Gue nggak tahu kantin di mana." Jella langsung menyusul sambil protes dengan suara yang cukup keras.

"Gunanya gue ajak lo keliling, tuh, apa?" Tim berseru setelah menghentikan langkahnya. Tangannya sudah tidak berada di bahu Jun.

Emosi Jella langsung terpancing. "Heh! Lo nggak ngajak gue keliling, ya! Lo mah ngerjain gue! Mana sempet gue tahu kantin di mana, kalo lo bawa sepeda kayak dikejer setan!"

Tim berdecak. Ia melipat tangan di dada dan menghela napas pelan. "Niat gue baik, lho."

Jella benar-benar tidak terima, akhirnya ia mengepalkan tangan dan menarik napas panjang. "Niat baik kata lo? Lo buat badan gue keringetan parah di hari pertama gue kerja. Baik dari mana gue tanya?"

Jun yang tadinya hanya menyimak dengan tenang, langsung turut berkomentar sambil mengangguk. "Oh, jadi baunya dari lo."

"Apa kata lo?" Jella bertanya masih dengan suara penuh emosi. Matanya yang besar sudah melotot tajam, bahkan alis tebalnya terlihat menyatu karena ia mengerutkan dahi dengan sepenuh hati.

Jun langsung berdeham dan mengalihkan pandangannya. Kemudian, ia menjawab pelan, "Gue nggak ngomong apa-apa."

Melihat Jun kelabakan, Tim tertawa kecil. "Jadi, masih mau ribut sama gue dulu, apa mau makan?"

Mendengar pertanyaan Tim yang diajukan dengan suara tenang, Jella jadi melunak. "Makan dulu. Gue juga butuh tenaga buat ribut sama lo."

Diam-diam, Jun menghela napas lega.

Tim tersenyum. "Yaudah, ikutin gue. Jangan sampe ketinggalan."

Awalnya, Jella mengabaikan peringatan dari Tim yang mengatakan untuk tidak sampai tertinggal karena ia kira mereka tidak akan berjalan terlalu jauh. Namun, dugaannya salah. Kantin yang mereka tuju berada di tengah area V-Bio dan kabar buruknya, mereka berjalan ke sana. Berjalan dengan kaki, tanpa alat bantu apapun. Wanita berkemeja kuning itu sudah menggulung rambut dan kesulitan mengatur napas.

"Bisa pelan dikit, nggak?" Jella bicara keras, nyaris teriak karena jarak yang tercipta antara mereka bisa untuk memarkirkan dua mobil tronton.

Jun dan Tim kompak menoleh dan menghentikan langkah. Melihat rekannya menunggu, Jella langsung berjalan cepat.

"Lo berdua bener-bener keterlaluan!" Jella menatap sinis dan memelototi wajah dua pria yang ada di depannya bergantian.

"Keterlaluan apaan? Lo aja yang lelet. Jalannya jangan diseret makanya." Tim bicara sambil melipat tangan di dada.

Jella makin kesal melihat gestur Tim yang membuatnya merasa kecil. "Kaki kalian panjang! Satu langkah kalian, dua langkah gue! Pakek perasaan dikit, kek! Gue udah kayak atlet jalan cepat kalo bareng sama kalian."

Tim tersenyum.

"Malah senyum-senyum. Gue serius, ya!" Kini Jella sudah berkacak pinggang.

Pria berkemeja kotak-kotak itu melihat Jun dan berbisik, "Kan, udah gue bilang. Dia ini galak banget."

Jella memutar bola matanya malas. "Malah gibahin gue!"

Jun tertawa, kemudian ia menyentuh puncak kepala Jella dengan cepat. "Galak, tapi imut."

Gerakan Jun berhasil membuat Jella membeku di tempat. Untuk sejenak, ia merasa dewi fortuna tengah berada di pihaknya. Namun, kesadarannya segera menghampiri. "Sorry, gue nggak suka disentuh sembarangan."

"Kirain nggak bakal protes lo." Tim nimbrung tanpa diundang.

Jun terdiam, kemudian pria berbibir tipis itu mengusap tengkuk. Ia tersenyum canggung setelahnya. "Maaf, gue refleks, soalnya lo lucu banget."

Kini, Tim memutar bola matanya malas. "Lucunya, tuh, nggak di sini. Buktinya gue nggak ketawa. Lo beneran nggak bakat gombal, Nini."

Jella menghentakkan kakinya ke tanah. "Bisa nggak ngajak berantem, nggak sih?"

"Lah, gue ngomong sama Nini, kok, bukan lo. Ge-er amat." Tim tidak mau kalah.

Jella jadi murka. "Lo doyan banget ngatain gue!"

"Kalo kalian berdua ribut terus, kapan kita makannya?" Jun bicara setelah menghela napas panjang.

Untungnya, setelah itu, mereka berhasil sampai di kantin dengan selamat. Tentu saja sepanjang jalan masih diisi dengan keributan tanpa faedah dari Tim dan Jella. Lama-lama, Jun bisa berganti status jadi wasit dadakan.

Mereka bertiga duduk di meja yang sama. Beberapa orang menyapa Jun dan Tim dengan ramah. Jella juga turut tersenyum setiap ada yang menyapa mereka.

"Kalian, tuh, ternyata terkenal juga, ya?" Jella bertanya sambil mengelap sendoknya dengan tisu.

"Oh, ya, jelas. Kan, gue udah bilang. Gue orang lapang terbaik di sini." Tim mengangkat dagunya tinggi.

Jella berdecak. "Nggak usah jual diri gitu, bisa nggak?"

"Ye, siapa yang jual diri? Gue cuma ngomongin fakta."

Saat keduanya sibuk bertengkar, Jun sibuk mengambil seledri yang ada di mangkuk sup milik Tim.

Jun mendekatkan sup Tim. "Noh, udah."

Tanpa menjawab, pria bermata sipit itu langsung memakan supnya.

Kayaknya ini orang dua bener-bener temenan.

"Kalo ada yang mau ditanya, tanya aja." Jun menatap Jella sambil tersenyum.

Jella cengar-cengir. Ia merasa tertangkap basah. "Kalian udah lama temenan?"

"Gue sama dia temenan? Musuh bebuyutan kali." Tim langsung menyerukan protes.

"Dih, musuh mana yang ngambilin seledri dari sup, gitu?"

Tim meletakkan sendoknya. "Dia tuh, barusan abis melakukan pencurian berencana. Otak lo nggak usah mikir aneh-aneh."

Lelah bertengkar dengan Tim, Jella mengalihkan pandangannya pada Jun.

Jun tersenyum. "Gue sama Tim udah temenan dari zaman SMP."

"Emang gue ngakuin lo temen?" Tim menggeleng tidak terima.

"Oh, jadi selama ini kita bukan temen? Pacar, gitu?" Jun melontarkan kalimatnya dengan santai. Bahkan ia masih bisa minum dengan tenang.

Tim langsung panik. "Heh! Gila, ya, mulut lo! Gue masih suka cewek kali!"

"Perlu gue bongkar rahasia lain?" Jun malah makin berani.

"Apaan? Lo mending diem aja, Nini!"

Jun cengar-cengir, kemudian ia meminta Jella mendekat dengan gerakan tangan. "Yang anter kamu kemaren itu, penggemar garis kerasnya Tim."

Jella menganga. "Cia?"

"Iya. Makanya Tim mau resign." Jun bicara agak keras mengenai resign.

Jella mengangguk. "Oh, jadi itu alasan dia mau resign."

"Wah, ngarang lo. Jangan nyebarin hoaks dong, Nini."

Jun tertawa. "Gue bercanda. Bukan itu alasan Tim mau resign, tapi ...."

Belum juga Jun menyelesaikan kalimat, Tim sudah membekap mulutnya.

Jadi, apa alasan Tim sebenarnya?

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Kemeja kotak-kotak jangan sampe lolos.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro