Bab 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Grey mengikuti kemana mereka membawanya. Grey tersennyum, dia tidak menyangka dia bisa memiliki kesempatan yang didoakannya selama ini. 

"Nah, tadi Ge diem kayak patung. Sekarang malah senyum-senyum sendiri. Kamu kenapa, Ge?" tanya Jess heran dengen perubahan sikap Grey. Dia cukup penasaran apa yang dipikirkan temannya ini dari tadi, alasan dia tidak bersikap seperti biasanya.

"Hah? Apaan? Aku nggak kenapa-kenapa, kok," ujarnya sambil tersenyum.

"Hmm, aku kok nggak percaya ya. Ila, kamu ngelihat sendiri, kan, Ge tadi diem pas aku dan dia masuk ke ruang Art. Udah ada jeda beberapa menit dari kami masuk ke ruangan hingga kita jalan mau ke kantin, sampe akhirnya kita geret juga anaknya," jelas Jess panjang. 

Jess terbiasa berbicara panjang, jelas dan runtut. Sifatnya yang periang dan mudah bergaul membuatnya mudah untuk mendapatkan teman. Ila juga sama dengan Jess, mudah bergaul dan enak diajak berbicara. Grey yang berbeda, lebih suka mengamati dan menyimpan perasaan dan pikirannya untuk dirinya sendiri.

"Iya. Kamu banyak diem tadi. Grey ada masalah?" Ila juga merasakan hal yang sama dengan Jess, dia tidak menuntut Grey untuk langsung memberitahu mereka saat ini juga, jika memang memerlukan waktu atau mereka tidak seharusnya tahu akan hal itu maka mereka tidak akan memaksakannya. Mereka sangat menghargai privasi Grey.

Menyadari Grey masih diam, Jess dan Ila langsung paham dengan apa yang harus mereka lakukan. "Kalau saat ini bukan waktu yang tepat, kamu nggak harus ngasih tahu sekarang. Take your time. No need to be worry, okay?"

"Terima kasih, Jess, Ila. Aku baik-baik aja," jawabnya sambil menggandeng kedua temannya.

"Anytime, Ge."

Setelah perut kenyang, mereka langsung kembali ke ruangan Art , mereka harus siap di sana sebelum teacher datang. Kegiatan berlangsung dengan menyenangkan, mereka mempunyai project untuk membuat rumah dari stick es krim. Project yang dilakukan berpasangan, satu tim terdiri dari tiga orang. Tentu saja Jess, Ila dan Grey akan menjadi satu tim. Begitu mendengar arahan dari teacher terkait tim, mereka langsung melirik satu sama lain dan sudah paham akan langkah selanjutnya. 

Tidak butuh waktu lama, kegiatan ekstrakulikuler ini disudahi untuk hari ini. Mereka akan bertemu kembali minggu depan. Setelah bersiap-siap, mereka keluar dari ruangan ini bersama-sama. 

Jess, Ila dan Grey berjalan berderetan, menyusuri jalan ke arah tempat parkir motor dan sepeda. Jess menggunakan sepeda, sementara Ila menggunakan mobil. Grey akan menunggu di depan pagar sekolah, entah dijemput atau jalan kaki, dia juga belum memutuskan. Di depan mereka ada Nathan dan teman satu circle-nya. Mereka terlihat seru sekali.

"Ge, Ila. Aku duluan ya, sepedanya kutaruh di sana," ujarnya sembari menunjuk sepeda yang disenderkan di ujung sana.

"Oke, hati-hati ya Jess."

"Grey, aku duluan ya. Mobilku di sana."

Grey tersenyum dan melambaikan tangan, "Hati-hati , Ila. Sampai ketemu lagi ya."

Ila mengangguk paham dan pergi meninggalkan Grey sendiri di sana. Grey menghela napas dan berjalan ke depan pagar. Di sana dia tertegun, rupanya dia tidak benar-benar sendirian.

"Nathan?" ujarnya menyapa cowok tampan itu.

"Eh, hai Ge."

Grey tersenyum lebar, dia selalu suka mendengarnya memanggil namanya. Entah kenapa terasa berbeda. Cowok itu tengah mengetik sesuatu di ponselnya. Grey berjalan mendekatinya, tetapi tetap ada jarak diantara mereka. Dia tidak seberani itu untuk menempel padanya.

"Oh iya, Grey tahu kita dijodohkan?" tanya Nathan tiba-tiba.

Untuk beberapa saat, dia seperti kehabisan oksigen untuk bernafas. Dia tahu soal pembicaraan itu, tapi dia tidak tahu jika Nathan adalah orang yang mereka maksudkan. 

"Iya, aku tahu." Sejujurnya Grey penasaran dengan tanggapan Nathan akan hal ini. Semalam dia tidak mendengarkan jelas apa yang diucapkan mamanya, karena nyeri yang dirasakannya lebih menguasai pikirannya saat itu. Nathan tidak tahu tentang keluarganya, dan dia tidak perlu tahu. 

Grey masih terdiam, dia benar-benar ingin mendengar apa yang akan Nathan ucapkan selanjutnya.

"Kenapa? Oh, iya. Kamu dijemput?" tanya Nathan akhirnya.

"Aku jalan kaki. Kamu sendiri gimana?"

"Ya udah jalan bareng. Rumah kita searah, nanti berpisah di persimpangan jalan aja."

Grey mengangguk senang, dia jadi punya waktu sedikit lebih lama bersama Nathan.

"Nathan tanggapannya gimana soal perjodohan ini?" Grey akhirnya menanyakan soal ini. 

"Yah, aku masih penasaran, sih. Kenapa mama menyetujui hal ini, untuk sementara waktu kita jalani aja. Meskipun aku nggak ada perasaan khusus ke kamu."

Grey mengulum bibirnya, pandangannya mengarah ke jalanan. Dia bingung dengan perasaannya sendiri, menyedihkan dan menyakitkan. Tinggal di rumah menyedihkan, menjalani perasaan yang bertepuk sebelah tangan pun menyedihkan. Namun, dia berusaha mencari hal positif dari semua ini. Pasti ada hal positif yang dimaksudkan dengan terjadinya hal-hal ini.

"Oke. Kita jalani aja, ya. Nathan punya orang yang disukai?"

"Hmm, untuk saat ini belum ada, sih. Nggak tahu nantinya gimana."

"Nathan ada nomor whastapp?" Grey selalu penasaran dengan hal ini. Meskipun dia paham, tidak semua orang akan memberikan hal ini, karena termasuk privasi.

"Hmm, nggak ada. Aku adanya line. Kamu udah ada line aku, kan?" 

Untuk kesekian kalinya, Grey menyadari betapa tidak berartinya dia bagi Nathan. Di dunia ini siapa yang tidak punya nomor whatsapp? Hampir sebagian besar orang pasti punya, untuk menjalin komunikasi jarak jauh dengan orang lain pasti memerlukan aplikasi lain. Mungkin ini hanya alasan supaya Grey tidak sakit hati, walaupun sejatinya dia sudah sakit hati. 

"Oke, deh. Kalau ada yang mau dibahas, hubungi lewat line, ya, Nathan."

"Pasti, Ge. Oh iya, aku lewat sini,nih. Kamu masih jalan lurus, kan?" tanya Nathan sebelum berpisah dengan Grey.

"Iya, aku masih lurus. Hati-hati, Nathan. Terima kasih ya udah mau jalan bareng."

"Anytime, Ge."

Grey tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahnya menuju rumah. Tangan kanannya mengelus bahu kirinya yang terasa nyeri. Pukulan di bahu kirinya masih belum sembuh total, menyakitkan.

Dia berdiri di depan rumah dan menghela napas panjang. "Grey, belajar bersyukur." Setiap kali dia merasa putus asa, dia akan memikirkan hal itu. Belajar bersyukur, masih ada orang yang membutuhkan rumah, masih ada orang yang berjuang untuk sesuap nasi. Dia sudah memiliki rumah dan makan nasi, karena itu dia harus bersyukur.

Grey membuka selot pintu dan menutupnya kembali, melepaskan sepatu serta menaruh di rak sepatu dengan rapi. Dia mengetuk pintu pelan, lalu membuka pintu rumah yang tidak dikunci ini.  Rumah begitu sepi, tapi terdengar suara televisi menyala. Grey tersenyum dan melangkah masuk ke ruangan keluarga.

"Selamat siang," ujarnya dengan semangat. Ada seorang wanita paruh baya duduk di kursi sofa dan menatapnya dengan tatapan malas.

"Hmm. Cepat cuci baju, piring, bersihkan rumah. Jangan jadi pembawa sial di keluarga ini," ujarnya singkat tanpa melirik ke arahnya lagi. Grey mengangguk dan segera melakukan tugasnya. Tidak masalah, perasaannya tidaklah penting. Orang lain tidak harus tahu tentang hal itu, dia bisa menanggungnya sendiri.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro