Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Grey membuka selot pintu dan menutupnya kembali, melepaskan sepatu serta menaruh di rak sepatu dengan rapi. Dia mengetuk pintu pelan, lalu membuka pintu rumah yang tidak dikunci ini. Rumah begitu sepi, tapi terdengar suara televisi menyala. Grey tersenyum dan melangkah masuk ke ruangan keluarga.

"Selamat siang," ujarnya dengan semangat. Ada seorang wanita paruh baya duduk di kursi sofa dan menatapnya dengan tatapan malas.

"Hmm. Cepat cuci baju, piring, bersihkan rumah. Jangan jadi pembawa sial di keluarga ini," ujarnya singkat tanpa melirik ke arahnya lagi. Grey mengangguk dan segera melakukan tugasnya. Tidak masalah, perasaannya tidaklah penting.

Grey melangkah ke kamarnya hendak menaruh tas ranselnya. Dia sangat menyayangi tas biru ini, pemberian dari papanya.

"Kamu ngapain ke kamar? Mau leha-leha? Telingamu tuli apa gimana? Saya bilang apa tadi?" suaranya melengking, Grey kaget dibuatnya. 

"Ah iya. Cuman mau naruh tas, langsung saya kerjakan, kok, ma."

"Halah, alesan. Banyak banget alesannya, bilang aja kalo males. Dasar anak nggak tahu diri."

Masih banyak omelan yang diucapkannya, Grey juga tidak berhak untuk marah. Hal yang bisa dilakukannya adalah merubah dirinya seperti yang diinginkan.

"Maaf, ma. Grey salah."

"Minta maaf mulu, besok dilakuin lagi. Udah sana pergi, kepala saya sakit lihat kamu."

Grey mengangguk dan segera pergi dari sana. Di dunia ini, orang yang menghargainya hanyalah ayahnya. Grey terus bertanya dalam hati, mempertanyakan apa kesalahan yang dia perbuat. Kenapa mamanya semarah itu padanya, kenapa hanya kalimat ketus yang diucapkan padanya. Kenapa dia jadi sasaran pelampiasan amarah mamanya? Namun, dia kembali mengingat jika dia harus bersyukur. Dia masih bisa tinggal di rumah, bisa makan tanpa harus bekerja. Nikmat apa yang dia dustakan? Tidak ada, kan?

Dengan senyuman tulus, dia segera ke wastafel dan mencuci piring yang ada. Setiap langkahnya dilakukan dengan hati-hati, dia tidak mau melakukan kesalahan seperti memecahkan piring. Tentu semua barang itu ada harganya, dia belum tentu bisa mengganti barang tersebut jika rusak, karena itu dia harus menjaga dengan benar.

"Oh iya, kamu ingat kemarin saya bilang kamu dijodohkan? Jangan cari gara-gara. Terima perjodohan ini dan pergi dari keluarga saya. Saya capek lihat kamu," ujarnya lalu pergi dari sana.

"Baik, ma."

Grey kembali melanjutkan tugasnya, mencuci baju yang ada. Terlihat begitu banyak baju yang ditaruh di sana. Tidak ada yang dikeluhkannya, bagi Grey ini adalah healing. Dia tidak perlu keluar kota untuk healing, dengan mensyukuri setiap kegiatan yang dia lakukan sudah cukup baginya.

Satu setengah jam kemudian, baju cucian selesai dicucinya. Baju-baju itu digantung di jemuran yang ada di luar. Grey melirik ke rumah yang ada di depan. Terlihat seorang pria dan anaknya sedang bermain, mereka terlihat bahagia. Mata Grey memanas melihat hal itu, bulir air mata mengalir dari matanya. Perasaannya jadi kacau, dia merindukan kasih sayang itu. 

Grey segera menyelesaikan tugasnya dan masuk ke dalam rumah.

"Apa yang kamu lihat tadi? Bisa-bisanya malah bengong," tegur mamanya untuk kesekian kalinya.

Grey terkejut, dia kira mamanya sudah masuk ke dalam kamar. Rupanya dia memang tidak bisa tanpa pengawasan darinya. Bibirnya terkatup rapat, bingung apa yang harus diutarakannya.

"Masih nggak mau ngomong? Kamu bisu?" Wanita itu menarik rambut Grey dengan kencang lalu mendorongnya ke depan.

"Udahlah, dasar anak nggak tahu diri. Cepat kerjakan tugas yang lain. Bersihkan rumah ini, pergi  bawa buku ke pasar untuk dijual. Jangan penuhi rumah saya dengan buku bekasmu itu."

"Baik, ma."

Kulit kepalanya masih terasa nyeri. Nyeri di bahunya bertambah nyeri. Grey ingin menangis, tapi dia tidak bisa. Hanya menambah perkara saja jika dia melakukannya. 

"Oh iya, dua hari lagi ada pertemuan antara keluarga mereka dengan kita. Persiapkan bajumu dari sekarang. Jangan harap saya mau belikan kamu baju baru. Jangan malu-maluin," ujarnya sebelum pergi dari hadapan Grey dan masuk ke dalam kamar.

"Baik, ma. Grey mengerti."

Tanpa membuang waktu lagi, Grey segera mengambil sapu untuk menyapu rumah, mengambil ember dan cairan pel. Rumah ini begitu luas, dia butuh waktu cukup lama untuk menyapu sekaligus mengepelnya. Setelah selesai, dia masih harus mengelap kaca di rumah ini. Grey senang dengan pekerjaan ini, begitu melihat rumahnya bersih maka dia juga senang dan nyaman tinggal di sini. 

Grey ke depan rumah dan mengambil selang, menyalakan keran air lalu menyiram tanaman yang ada. Ada bunga berwarna merah, merah muda, dan ungu. Mereka terlihat begitu cantik. Rumput-rumput hijau juga menambah warna dari rumah ini, membuatnya terlihat lebih hidup.

Setelah semuanya selesai, Grey segera mengambil kardus berisi buku-buku bekas miliknya. Dia mengelap buku itu dan tersenyum. "Selamat tinggal, buku. Maaf, aku tidak bisa mempertahankanmu lebih lama lagi. Semoga kamu bisa menemui pemilik baru, ya."

Grey segera mengangkat kardus itu dan pergi dari rumah. Selangkah, dua langkah, tiga langkah terus dilalui hingga dia menemui pasar yang menjual buku bekas. Jarak pasar dengan rumahnya cukup jauh, tapi dia tidak bisa menolak permintaan mamanya, kan? 

Lagipula selalu ada hal positif yang bisa diambil, dia jadi lebih sehat karena banyak berjalan kaki , rumahnya jadi lebih luas karena buku bekas sudah dijual, serta dia jadi dapat uang tambahan.

Grey melihat ke setiap toko yang buka, dia belum tahu caranya. Baru saja Grey mau menanyakan hal itu, dia sudah disapa orang lain.

"Eh, Ge. Kamu ngapain?"

"Hah? Nathan?" Sekali lagi, Grey tidak menyangka akan menemui cowok itu di sini. Dengan tampilannya yang kusut, rambut berantakan, dan wajah kusam. Terlebih lagi dia masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Kamu ngapain?" tanya Nathan sekali lagi. Dia penasaran kenapa Grey terlihat seperti itu, seperti kelelahan.

"Oh ini, mau dijual buku bekasnya. Nathan tahu caranya jual buku bekas di pasar ini?"

Mendengar penuturan Grey, dia jadi tersenyum tipis. "Tahu, Ge. Ikut aku aja."

Mereka terus melangkah hingga toko paling ujung. Di sana terlihat seorang wanita cantik dan gadis cantik, rambut mereka lurus berwarna hitam legam.

"Ma, ini Grey. Dia mau jual buku bekas."

"Oh, halo, Grey," sapa wanita itu ramah.

"Grey, ini kakak perempuanku, Alona," lanjutnya mengenalkan gadis cantik tadi.

"Halo, kak Alona. Aku Grey."

Mereka terlihat ramah, pantas saja Nathan se-humble itu pada semua orang. Sikap yang membuatnya jatuh hati pada Nathan.

"Oh, Grey mau jual buku bekas ya. Bisa, nih. Tante ada usaha jual buku bekas juga. Bisa tante beli buku bekasnya Grey. Nak Grey udah tentuin mau dijual dengan harga berapa?"

"Grey belum nentuin tante. Grey belum tahu mekanismenya, apakah dijual berdasarkan berat atau bagaimana. Seiklasnya aja tante udah mau beli buku bekasnya, Grey juga udah bersyukur."

Wanita itu tersenyum, menambah kencantikannya. "Oke. Ini ada tiga puluh buku, ya. Bisa kita timbang dulu beratnya, lalu lihat kelayakannya juga, ya, Nak."

"Baik, tante," jawabnya dengan semangat. Binar di matanya semakin bersinar, menandakan betapa senangnya dia sekarang. Seperti yang dipikirkannya, selalu ada hal positif dari setiap kejadian. Selalu ada jalan dan hal yang bisa dia syukuri.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro