Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita itu tersenyum, menambah kencantikannya. "Oke. Ini ada tiga puluh buku, ya. Bisa kita timbang dulu beratnya, lalu lihat kelayakannya juga, ya, Nak."

"Baik, tante," jawabnya dengan semangat. Binar di matanya semakin bersinar, menandakan betapa senangnya dia sekarang. Seperti yang dipikirkannya, selalu ada hal positif dari setiap kejadian. Selalu ada jalan dan hal yang bisa dia syukuri.

Dari kejauhan Nathan melihat mamanya dan Grey, bagaimana mereka saling berinteraksi dan melakukan kegiatan bersama. Grey bukannya tidak menyadari hal tersebut, dia tahu dia sedang diperhatikan. Namun, dia terlalu malu untuk melihat balik Nathan. Cowok dengan pesona yang luar biasa itu sudah memikat hatinya begitu dalam. 

Nathan itu penyemangatnya, orang dengan kebaikan luar biasa. Grey jarang sekali mendengarnya mengeluh, dia lebih banyak diam dengan keluhan dan lebih sering membuat orang lain tertawa bersamanya. Orang yang membawa kebahagiaan untuk orang di sekitarnya. Grey tidak pernah tahu apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan, seperti apa beban yang dia rasakan, Grey tidak tahu. 

Grey berhenti pada posisinya dan melihat ke arah Nathan. Seulas senyum terukir manis di wajah ovalnya, melihat Nathan sedang memperhatikannya bagaikan mimpi yang diimpikannya setiap malam. Pandangannya tidak pernah tertuju padanya, mereka jarang bisa berinteraksi berdua, selain untuk tugas kelompok. Tidak ada pembicaraan selain tugas sekolah. Tidak pernah ada pembahasan yang mengarah ke arah perasaan, tentang mereka berdua.

Grey selalu penasaran, mengapa Nathan masih baik dengannya. Kenapa Nathan mau berteman dengannya? Bahkan selama tujuh belas tahun dia hidup, hanya Saka, teman cowok terakhir yang tulus berteman dengannya ketika dia kelas dua sekolah dasar. Hanya dia dan saudara perempuannya yang senang bermain dengan dia. Grey tersenyum, mengingat betapa baiknya dua bersaudara itu.

Hari itu, terlihat tiga orang anak kecil sedang berlari di lorong sekolah. Dua orang anak cewek dan satu orang anak cowok. Mereka berlari sambil tertawa riang, tujuan mereka ke arah ruangan UKS. Di sana, mereka bisa bermain sepuasnya. Anak cowok itu membawa beberapa mainan, sementara dua anak cewek lainnya merentangkan tangan selayaknya sedang terbang. 

"Saka! Kita udah sampai," ujar Regina pelan.

"Iya, udah sampai. Ayo, Ge, Gin."

Mereka mengetuk pintu pelan, lalu masuk ke dalam. Di sana, ada tempat untuk bermain, istana mereka. Saka, Grey, dan Regina sudah duduk di atas karpet dan menatap satu sama lain. 

"Hari ini kita bermain, masak-masakan! Saka udah simpan ini di loker yang ada di UKS. Jadi, kita tinggal datang aja dan main," ujarnya dengan riang. 

"Mas Saka yang terbaik!" ujar Regina bangga dengan kakak kesayangannya ini.

"Iya, Saka yang terbaik!" timpal Grey. Dia belum lama hidup, tapi dia bisa merasakan ketulusan dari dua bersaudara ini. Mereka selalu menemaninya bermain saat jam istirahat tiba. DI sini, dia tidak mendapatkan penindasan. Bersama mereka, hidup jadi lebih  menyenangkan. 

Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Grey harus pindah ke luar kota. Dia masih terlalu kecil untuk mengenal kemajuan teknologi, tidak ada ponsel ataupun hal lainnya. Tidak ada kontak yang dia tahu untuk menghubungi kembali Saka dan Regina. Hubungan mereka terputus, hingga saat ini. Dia tidak tahu dimana Saka dan Regina tinggal, seperti apa kabar mereka, apakah mereka sudah bahagia? Grey tidak tahu, menyedihkan.

"Grey? Melamun?" tanya wanita paruh baya itu sambil mengusap punggung Grey pelan.

"Eh, iya, tante? Ma-maaf tante. Grey salah, Grey pantas dihukum," ujar Grey gugup. 

"Loh. Nggak, Grey nggak salah. Melamun itu bukan kesalahan yang fatal, tapi harus dikurang-kurangi ya. Kalau lagi melakukan aktifitas penting lalu Grey melamun, bisa-bisa menimbulkan hal yang fatal. Grey paham, kan?"

"Iya, tante. Grey paham. Grey minta maaf ya tante."

Mamanya Nathan benar-benar menggambarkan mama yang dibayangkannya. Kasih sayang darinya adalah hal yang didoakannya sejak dulu, seandainya saja mamanya menyayanginya seperti ini. Matanya mulai berair, menangisi keadaan yang harus dihadapi dan dijalaninya.

"Ya udah. Ini udah selesai tante cek. Bukumu masih layak jual semua, kamu rawat dengan baik mereka. Beratnya juga sudah tante timbang. Ini uangnya, kamu oke?" tanya wanita ini lagi sembari memberikan beberapa lembar uang.

Binar di mata Grey semakin terang, senyumnya terukir manis. "Tante ini nggak kebanyakan?"

"Hah? Hahaha," tawanya sambil menggeleng kepala. "Astaga, tante kira kamu mau bilang ini kurang banyak. Ternyata malah nanyain ini kebanyakan atau tidak. Nggak kok, sayang. Terima kasih sudah mau menjual barang ini ke toko kami."

Grey menyimpan uang tersebut di dompetnya, lalu membungkukkan badannya. 

"Grey yang harusnya berterima kasih. Terima kasih sudah mau menerima buku bekas Grey, sudah mau membayar buku bekas Grey. Terima kasih banyak, tante."

Wanita paruh baya ini mengenggam erat jemari Grey, lalu melirik ke Nathan. "Kamu bisa jalan-jalan sama Nathan dulu. Tante tahu kamu orangnya."

Wajah Grey berubah menjadi pucat pasi, dia lupa dengan hal itu. "Tante tahu?" ujarnya gugup. Tangannya terasa lebih dingin, apalagi kakinya, sepertinya sudah mati rasa.

"Tentu saja. Gadis cantik yang dijodohkan dengan anak kesayangan tante. Kamu terlihat menyukainya. Yah, kalau tante nggak salah, sih."

Grey tersenyum lebar, " Tante benar. Grey memang suka Nathan. Tapi Nathan mungkin tidak suka Grey. Anak tante baik sekali, dia baik ke semua orang. Dia menolong orang lain setulus hati dan berteman dengan semua orang. Meskipun tidak secantik orang lain, dia tetap tulus berteman dengan Grey," tuturnya sambil menggaruk kepalanya.

Dia tahu ucapannya hanya akan melukai dirinya sendiri, tapi Grey tetaplah Grey. Melukai dirinya semakin dalam adalah tujuannya, dia ingin merasakan sakit karena dirinya sendiri. Aneh, tapi kenyataanya dia demikian.

"Kamu tahu? Itu ajaran ayahnya, untuk menghargai semua orang. Berteman dengan semua orang dengan setulus hati. Papanya Nathan sendiri juga suka menolong orang lain, mungkin karena itu Nathan jadi suka menolong orang lain."

"Terima kasih tante, sudah melahirkan Nathan. Grey bersyukur bertemu dan berteman dengannya."

Tidak ada pembicaraan lain yang ada diantara mereka, hanya genggaman tangan yang hangat.

"Nathan berarti banget untukmu ya?" 

Grey mengangguk pelan,  "Grey pernah punya teman cowok yang tulus berteman dengan Grey. Tapi, Grey harus pindah sekolah dan pisah dengan dia.  Bertahun-tahun sejak hari itu, Grey tidak pernah punya teman cowok yang tulus berteman dengan Grey, mereka hanya akan menatapku  dengan tatapan jijik karena Grey tidak secantik teman cewek yang lain.  Setelah sekian lama, baru kali ini Grey menemukan teman cowok yang tulus berteman dengan Grey. Tante, teman untuk orang yang kesepian itu sangat berharga. Nathan berharga buat Grey."

"Tante paham. Tante doakan yang terbaik buat kalian. Kamu anak baik, Grey."

"Terima kasih doanya, tante. Kalau memang Nathan bukan buat Grey, itu juga tidak apa-apa. Grey berusaha percaya kalau semua terjadi itu baik apa adanya. Mungkin, bukan saatnya. Mungkin memang bukan tercipta untuk Grey."

Pembicaraan dari hati ke hati yang menyayat perasaan Grey. Dari kejauhan Nathan penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, tapi dia tidak mendekat sedikit pun karena baginya privasi itu penting. 

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro