Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Grey tersenyum lebar melihat mobil Inova berwarna hitam yang berhenti di dekat pintu masuk stasiun kereta api.

Dengan semangat, Grey mempercepat langkahnya. Setelah sekian lama, dia akan bertemu dengan kedua orang tuanya kembali.

Perlahan tapi pasti, Grey membuka pintu mobil dan mengangkat tas bawaannya.

"Halo, Pa, Ma," sapa Grey senang.

"Halo, cantik," jawab mereka barengan.

"Gimana tadi di kereta? Rame orang?" tanya ibu Grey sambil melirik ke arahnya.

"Lumayan, Ma. Tadi perjalanan ke sini macet, Ma?"

"Nggak terlalu. Mungkin karena masih pagi,ya. Cuman ya musim liburan gini, bisa jadi makin rame, nih."

"Pastinya," sambung papa Grey antusias.

"Oh iya, tiket pulang udah beli, kan?"

"Udah, kok. Aman, Pa."

"Tugas di rumah sakit, aman?"

"Belum, sih, Pa. Nanti sampai rumah mau lanjut kerjain lagi. Kayaknya butuh cek di tatalaksananya biar yakin."

"Oke. Kerjakan baik-baik, ya."

"Siap, Pa."

Grey senang berdiskusi dengan papanya, mencari tahu solusi dari permasalahan yang dia hadapi.

"Pasiennya sakit apa, Grey?"

"Anak umur tujuh tahun. Awalnya ke puskesmas, lalu dirujuk ke rumah sakit tipe A. Anaknya dapat beberapa obat, seperti prednisolon, amlodipin, carvedilol, clonidin dan becom-C."

"Diagnosanya CKD stage berapa?" tanya papa Grey lagi.

Grey mengerenyit untuk beberapa saat, memikirkan kembali kasus pasien yang didapatkannya.

"Stage satu, pa."

"Oke. Cari dulu tatalaksana untuk pasien CKD, dek."

"Iya, pa. Untuk terapi antihipertensi pada pasien CKD bisa diberi lini pertama ACEi atau ARB dulu. Kalau tekanan darahnya masih belum terkendali, bisa diberikan Calcium Chanel Blocker atau Diuretic. Kalau masih belum terkendali bisa diberikan alfa atau beta blocker," jelas Grey sembari menatap layar ponselnya.

Dia sudah mencari beberapa tatalaksana untuk memberikannya pencerahan akan obat yang diberikan.

"Oke. Ingat data objektif seperti tanda-tanda vital, data laboratorium, dan lainnya itu penting. Dari sana kamu bisa memahami alasan dokter penanggung jawab memberikan terapi pada pasien."

Grey mengangguk paham, "Paham, pa. Grey baru paham kenapa dokternya ngasih tatalaksana ini. Memang perlu diperhatikan dan belajar terus, ya."

"Jelas. Kalau udah mentok, bisa tanya ke dokternya menggunakan referensi apa. Biasanya di rumah sakit, dokter-dokter ada panduannya sendiri. Bangun hubungan yang baik dengan tenaga kesehatan yang lain biar bisa saling mendukung satu sama lain."

"Iya, pa. Waktu di sana, sempat lihat riwayat penggunaan obat yang diberikan ke pasien. Untuk prednisolon ini obat rutin yang diberi untuk dia."

"Sebagai apoteker, perlu memberikan advice juga terkait efek samping yang mungkin muncul. Kenapa mungkin muncul, karena tidak semua orang akan mengalami hal tersebut," lanjut papa Grey lagi.

"Iya, pa. Dari sana perlu diperhatikan terkait drug related problem juga. Contohnya ada obat tetapi tidak ada indikasi, ada indikasi tetapi tidak ada obat, dan contoh DRP lainnya. Di sini Grey udah cek kalau ada interaksi antara Carvedilol dan Amlodipin yang dapat meningkatkan efek anti hipertensi." Grey menjelaskan apa yang didapatkannya sedari tadi.

"Oke. Dicari lagi, dipahami, dikerjakan pelan-pelan, ya, dek."

"Iya, pa."

Grey tersenyum senang. Setidaknya dia sudah lega karena menemukan tatalaksana pendukung studi kasusnya. Tinggal menyusun biar laporan studi kasusnya rapi dan layak dikumpulkan. Dia masih punya banyak waktu, tetapi bukan berarti dia bisa berleha-leha, sebab tugas sudah seharusnya dicicil.

"Ada mau beli makan, dek?" tanya mama Grey sambil meliriknya dari kaca.

"Hm, pulang aja, ma. Biar istirahat. Grey udah makan sebelum berangkat ke sini. Aman."

Mobil terus melaju meninggalkan kota Malang, melanjutkan perjalanan ke kota Batu. Hari semakin larut, rasa kantuk semakin menjadi-jadi. Beruntung mereka sudah hampir sampai di rumah. Tinggal beristirahat untuk memulai hari esok. Grey akan melanjutkan tugasnya besok, hari ini dia sudah lelah. Tenaganya hampir habis, mau keras kepala lanjut pun percuma karena dia nggak bisa fokus lagi. Waktu akan terus berjalan, lebih baik dipergunakan untuk istirahat.

🌻

Malam hari tiba, Grey baru saja bangun dari tidurnya. Dia sudah kehabisan tenaga, sehingga tidur adalah pilihan terbaik ketika sudah tiba di rumah.

Tentu saja mandi dulu sebelum tidur, karena masih masa pandemi, harus ketat menjaga kebersihan diri. Sampai kapan pun, protokol kesehatan tetap diterapkan dalam dirinya. Hal ini bukan hanya demi dirinya, tetapi untuk orang disekitarnya. Grey tidak berharap yang buruk, tetapi dia tidak tahu apakah orang yang dia temui benar-benar sehat atau tidak, dia tidak tahu apakah dia membawa virus itu dalam dirinya atau tidak. Oleh karena itu, menjaga diri sendiri dan orang lain adalah hal yang wajib dilakukannya.

Perutnya sudah berbunyi mengeluarkan bunyi aneh.

"Aduh, laper," keluhnya sambil turun dari tempat tidur, membawa ponsel dan menyisir rambut sebelum keluar dari kamar.

Begitu Grey membuka pintu kamar, terdengar suara televisi, Grey menduga pasti orang tuanya menonton berita.

Dia tersenyum melihat dua orang yang disayangi ada di dekatnya, dia tidak perlu bersedih karena merindukan mereka. Sekarang waktunya memecahkan celengan rindu yang ditabungnya setelah memulai praktek kerja di rumah sakit.

"Grey, laper?" tanya mama Grey begitu menyadari anak gadisnya mendekati mereka.

Grey tersenyum lebar, "Iya, ma. Grey laper."

"Mau pesan apa?"

Hatinya tersenyuh, ini keuntungan jika tinggal dengan orang tua. Tidak perlu mencemaskan makanan, minuman, uang jajan, sudah pasti akan dibangunkan setiap pagi.

"Mau sate ayam sama nasi, ma."

"Udah malem. Nggak usah nasi, ya?" tawar mama Grey lagi. Dia sudah tahu alasan dari usulan tadi, semua demi dirinya sendiri. Dia harus menurunkan berat badannya yang berlebih.

"Yah, laper, ma."

Grey tahu, tetapi dia tengah laper banget! Tentu di saat seperti ini nasi adalah menu wajib yang harus disantap dengan lauk. Sayangnya, pemikiran ini tidak disetujui oleh mama Grey.

"Pikir baik-baik. Lagian masih makan juga, kok. Sate aja ya?"

"Kali ini aja, ma. Beli sama nasi, ya?"

Sifat keras kepala yang mendarah daging, ingin menang sendiri dan mengabaikan saran orang lain. Itulah kejelekan dari Grey.

"Oke, terserah."

Grey tahu mamanya kesal dengannya, karena itu dia mendekat dan tersenyum di dekatnya.

"Terima kasih, mama sayang," ujarnya dengan senang.

"Oh iya, udah ada pacar, dek?"

Kali ini papa Grey yang bertanya. Pertanyaan yang membuat jantungnya berdegup semakin kencang, bercampur dengan rasa khawatir, panik, dan gelisah.

"O-oh, nggak ada, pa. Kenapa?"

Mereka tersenyum, lalu saling memandang satu sama lain.

"Oke. Kamu tungguin makanan pesananmu. Habis itu istirahat atau kerjain tugas. Besok atau lusa ada yang mau kami bahas."

Singkat, tapi mengena. Dia takut jika pembahasan nanti akan terkait perjodohan. Dia belum siap, luka lama belum sepenuhnya sembuh.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro