Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah satu jam berlalu sejak terakhir mereka berbincang. Dia sudah setengah perjalanan, Grey mulai mengantuk. Sayangnya dia susah terlelap jika tengah dalam perjalanan seperti ini. Ada saja ketakutan yang hinggap di pikirannya, seperti dihipnotis dengan cara ditepuk pundaknya, ditutup hidungnya dengan sapu tangan, atau barangnya diambil saat dia tidak sadar. Grey terlihat gelisah, matanya sudah ingin memejam, tetapi terus terbuka kembali.

"Kamu ngantuk? Tidur aja. Aku juga turun di Malang. Kamu di stasiun kota baru?" tanya cowok tadi.

Grey menengok ke arahnya dan melongo. Dalam keadaan setengah sadar seperti ini, kinerja otaknya semakin melambat. Butuh waktu lebih lama untuk mencerna perkataan orang lain.

"Iya. Masnya juga di sana?"

"Namaku Jie Zhan, panggil aja Jie," balasnya sambil tersenyum. Senyuman manis yang pernah Grey lihat. Kalau saja dia tidak dalam keadaan setengah sadar, pasti dia sudah salah tingkah sekarang.

"Jie juga turun di sana?" tanya Grey mengikuti arahan Jie Zhan.

"Iya. Grey tidur aja. Aku bisa jaga omongan dan sikapku. Nggak usah khawatir."

Biasanya Grey tidak mudah percaya dengan ucapan orang selain keluarganya, tetapi kali ini berbeda. Dia percaya pada Jie Zhan. Cowok ini tidak seperti orang asing baginya, melainkan teman lama yang akhirnya ditemukan kembali. Namun, Grey lupa dengan dia. Lupa kapan dan dimana mereka bertemu.

Grey tersenyum, matanya terlihat sipit begitu dia mengulas senyum manisnya. Lalu, menyenderkan kepala ke arah jendela dan terlelap.

Jie Zhan tertawa pelan.
"Dasar. Lucu banget ini anak."

Dengan santai dia memasang ear phone dan memainkan aplikasi permainan di ponsel. Salah satu cara untuk menghabiskan waktu.

Cukup lama Jie Zhan memainkan permainan di ponselnya, dan selama itu pula Grey masih tertidur pulas. Dia tidak terlihat seperti anak kuliahan, lebih ke arah anak sekolahan yang nyasar di kereta sendirian.

Beberapa kali dia menggelengkan kepala, lalu memesan secangkir cokelat panas kesukaannya.

"Mbak, saya pesan cokelat hangat satu, ya," pintanya sambil tersenyum, tidak lupa menyerahkan beberapa lembar uang.

"Baik, kak," jawabnya seraya mengerjakan pesanan Jie Zhan.

Tidak butuh waktu lama, pesanannya sudah siap. Jie Zhan mengambil secangkir cokelat beserta beberapa lembar kembaliannya.

Kebiasaan yang tidak dia lewatkan, menikmati minuman hangat dengan pemandangan yang indah.

Tidak terasa mereka sudah melaju melewati stasiun Blimbing, sedikit lagi mereka akan sampai di stasiun kota baru. Jie Zhan segera membangunkan cewek di sampingnya ini.

"Grey ... grey bangun. Udah mau nyampe. Ayo siap-siap," ucapnya berulang kali.

Grey masih asik dalam tidurnya, membuat Jie Zhan mencoba mengeraskan suaranya.

"Grey! Bangun!"

"Hah?!" pekik Grey panik. Dia langsung melirik ke sekitarnya, dari sana baru disadari jika dia masih ada di dalam kereta api dan cowok usil itu masih ada di sebelahnya, menatapnya dengan kerutan di dahi.

"Kamu kenapa, Jie?"

"Kamu susah banget dibagunin. Butuh usaha lebih biar kamu bangun," gerutunya dengan bibir mengerucut.

Pemandangan yang langka, dia jarang berinteraksi dengan cowok sehingga ini menarik perhatiannya.
Sejauh Grey hidup, jarang ada cowok yang mau berteman dengannya. Dulu ada, sewaktu dia menginjakkan kaki di Sekolah Menengah Atas. Hanya dia cowok yang senang berteman dengannya. Selepas mereka lulus, tidak ada lagi percakapan diantara mereka.

Dia memberikan kenangan yang mendalam bagi Grey, menyisakan senyum serta torehan luka. Jika boleh memilih, akan jauh lebih baik jika mereka tidak pernah bertemu, daripada membawa luka dan penyesalan di sepanjang sisa hidupnya.

"Kok melamun? Mikirin tugas kasus?" tanya Jie Zhan tiba-tiba.

Sebagai orang dengan bakat kagetan, Grey langsung tersadar dan memekik pelan.

"Ih! Apa, sih?" keluhnya dengan raut wajah kesal.

"Loh? Kok ngamuk?" tanya Jie Zhan sambil tertawa. Dia tidak bermaksud untuk membuat Grey semakin marah, hanya saja ekspresi kaget cewek ini terlihat lucu dan menggemaskan.

"Kalau ngomong pake aba-aba, biar nggak kaget aku," cibirnya lagi.

"Oke, siap laksanakan, tuan puteri."

Grey tertegun untuk kesekian kalinya. Satu-satunya orang yang memperlakukannya dan membuat dia merasa sebagai tuan puteri hanyalah papanya sendiri. Senyuman terukir di wajah ovalnya, membuatnya terlihat semakin manis.

"Aku tahu aku manis. Makasih," tuturnya dengan senang.

"Nah, senyum gitu lebih bagus daripada cemberut," lanjut Jie lagi.

"Ya udah. Siap-siap, gih. Udah mau sampai di stasiun Malang kota baru, nih."

Grey mengangguk paham, cukup senang karena omongan Jie Zhan bisa dipegang.

"Terima kasih."

Jie Zhan tersenyum lebar, dia menghargai tiga kata ajaib yaitu tolong, maaf dan terima kasih. Di masa kini terlihat basic manner ini semakin merosot. Sekedar ingin dibantu, tanpa meminta tolong. Ingin menang sendiri, mementingkan ego dan membiarkan orang lain tenggelam dalam kesengsaraan.

"Anytime."

Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, Jie dan Grey melihat barang masing-masing. Tentu tidak ada yang ingin barang tertinggal di kereta yang akan melaju hingga tujuan akhir pasar senen, Jakarta.

Perlahan-lahan, kecepatan kereta melambat. Rumah-rumah warga di pinggiran kota terlihat dengan jelas. Ada beberapa orang terlihat tengah melakukan kegiatan sehari-hari. Ada ibu mencuci piring, ada anak gadis duduk di depan rumahnya dan menatap ke arah jendela kereta, ada anak-anak tertawa sembari menerbangkan pesawat kertas mereka.

Berbagai aktivitas dengan bermacam-macam ekspresi. Manusia dan kehidupannya begitu unik dan menarik. Terdapat beban dan hal yang perlu disyukuri untuk menjaga kewarasan serta tidak mengeluh.

Termasuk orang-orang yang ada di dalam kereta. Ada yang masih terlelap dalam tidurnya, ada pula yang memegang tasnya dengan erat. Tidak sabar untuk turun dan bertemu dengan orang terkasih.

Jie mengulurkan tangan, memberikan kartu namanya.

"Grey, ini nomor aku. Kalau butuh teman, bisa kontak aja. Anytime, Grey."

Dia tertegun beberapa saat, sebelum mengambil kartu tersebut.

"Terima kasih, Jie. Senang bisa berkenalan denganmu di sini."

"Aku juga senang bisa nambah relasi denganmu. Semoga apapun yang kamu kerjakan dan akan hadapi bisa kamu kerjakan dan lalui dengan baik, lapang dada dan jangan lupa bahagia, ya. Ingat bersyukur karena hidup perlu rasa syukur."

"Always grateful, Jie."

Kereta sudah berhenti, mereka berdiri dan melangkah ke luar. Bersiap dengan kegiatan yang akan dilakukan berikutnya. Susah, senang, rumit, mudah, tidak ada yang tahu jalan kehidupan. Doa yang selalu diucapkannya biar dia diberikan kemampuan dan kekuatan untuk menjalani setiap hal yang harus dijalani dan dilalui. Termasuk mencari pasangan hidup.

Jie dan Grey sudah tiba di luar stasiun, menatap satu sama lain.

"Dijemput atau naik ojek?" tanya Grey penasaran.

"Ojek. Kamu?"

Grey tersenyum tipis, "Dijemput. Ini udah ditungguin. Ojeknya udah dipesan?"

"Udah. Dikit lagi nyampe. See you when i see you."

Ada secercah harapan di benak Grey. Berharap mereka bertemu lagi. Entah kapan.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro