Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Grey berhenti menggerakkan tangannya untuk mengusap layar, dia tertegun menatap satu video yang menampilkan idola kesayangannya, Xiao Zhan dan Wang YiBo. Dua orang yang disayanginya.

Lagu yang dinyanyikan mereka selalu didengarkannya, lantunan lagu yang membuatnya tenang meskipun dia tidak paham dengan artinya. Grey selalu berandai-andai jika dia punya koneksi yang bagus hingga keluar negeri, apakah dia bisa seberuntung itu untuk bertemu dengan dua aktor tampan ini. Namun, dia tidak menyesali hidup yang dimiikinya sekarang, karena tidak semua keinginan menjadi kenyataan, tidak semua keinginan itu adalah hal yang dia butuhkan.

Grey tidak menyadari penumpang di sebelahnya melirik ke layar ponselnya dan tersenyum tipis. Entah apa yang dia pikirkan, padahal volume suara ponselnya sudah diminimalkan sehingga tidak mengganggu orang lain.

Gadis yang tengah diperhatikan ini tidak menyadari hal itu, dia masih fokus dengan dua aktor tampan kesayangannya ini. Melihat mereka berada di satu frame, dan cara mereka berinteraksi membuatnya tersenyum.

"Mbak, tujuannya kemana?" tanya orang di sebelahnya ini penasaran.

"Hah?" Grey terkejut diajak bicara secara tiba-tiba. Beruntung dia tengah mengenakan masker sehingga wajah terkejutnya tidak terlihat oleh orang disebelahnya ini.

"Oh, mau ke Malang. Kenapa, mas?" 

"Sama. Dari Surabaya ya tadi?"

Grey tersenyum, suasana hatinya sedang baik meskipun tadi sempat kesal karena studi kasus yang belum terselesaikan. Suasana hati yang membaik ini berkat dua aktor kesayangannya, setiap kali melihat mereka pasti dia akan merasa baik kembali.

"Iya. Masnya dari Surabaya juga tadi?"

"Iya, saya kerja di sana."

"Rumahnya di Malang atau gimana, Mas?"

"Nggak, rumah saya di Jakarta. Saya ada tugas di Malang."

"Wah, jauh juga rumahnya."

Grey menggaruk lehernya, merasa kurang nyaman dengan pembicaraan ini.  Sebagai orang yang jarang bicara, dia sudah kehabisan topik untuk dibicarakan. Grey lebih menikmati menjadi pendengar dan menjawab pertanyaan daripada memikirkan pertanyaan.

"Kamu kuliah di Surabaya?" tanya cowok di sampingnya ini, matanya terlihat tajam, kulitnya kuning langsat, rambutnya pendek dan rapi, berwarna hitam legam, alis matanya lebat.

"Iya, mas. Saya kuliah di Surabaya. Mas," jawabnya dengan perlahan-lahan. 

"Jurusan apa?" Entah mengapa dia terlihat begitu bersemangat, padahal orang yang diajak bicara terlihat ogah-ogahan.

"Farmasi, mas. Saya udah lulus dan jadi sarjana farmasi, ini lanjut ke program studi pendidikan apotekernya."

"Oh gitu, ada lanjutannya ya? Nggak langsung jadi apoteker ya?"

Grey tersenyum, dia sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti ini, sebab tidak semua orang tahu perjalanan menjadi apoteker, kan?

"Iya, masih harus lanjut dulu ke program profesinya. Ambil dulu studi strata-1 jurusan farmasi, selama empat tahun. Setelah lulus baru lanjut ke program studi profesi apoteker selama satu tahun, tapi masih ada ujian-ujian yang harus dilalui dan harus lulus biar bisa disumpah menjadi apoteker."

"Wah, ada magang juga, kan?"

"Iya, ada magang di apotek, puskesmas, badan pengawas obat dan makanan, dinas kesehatan, rumah sakit, industri. Ada laporan yang harus dikerjakan, ada sidang juga untuk praktek kerja di apotek, rumah sakit dan industri."

"Wah, banyak banget! Pinter, dong, kamu," ujarnya lagi sambil tersenyum.

"Biasa aja. Teman-temanku yang pintar, saya biasa aja."

"Merendah bener, yang percaya diri, dong," ujarnya lagi dengan gemas. 

"Beneran, kok. Saya nggak sepintar orang lain. Daya ingat juga kurang, yah ini mujizat dan kasih karunia dari Tuhan aja jadi saya bisa bertahan sampai sekarang."

"Oke, terus sekarang lagi praktek kerja di mana?"

Grey melirik ke arah ponselnya, dia ingin sekali lanjut melihat dua aktor tampannya ini, tetapi dia tidak tahu cara menghentikan percakapan ini. Pada akhirnya, dia akan terus melanjutkan percakapan hingga nanti.

"Di rumah sakit," jawabnya singkat. Grey menggenggam erat ponselnya.

"Wah, berat?"

"Berat. Praktek di mana aja pasti berat, ada tanggung jawab yang harus ditanggung, harus berhati-hati. Yah, meskipun cuman magang, tetapi ada nama kampus yang dibawa. Harus berhati-hati dalam bertindak. Kalau ada hal yang salah dan kurang berkenan, bisa saja berpengaruh ke kerja sama antara pihak kampus dan tempat praktek. Saya tidak ingin merugikan adik tingkat yang akan menjalani praktek kerja kedepannya."

Kali ini Grey mulai berbicara panjang dan lebar, entahlah mungkin ada perasaan nyaman yang dirasakannya, padahal mereka baru saja bertemu.

"Baik bener jadi orang. Jangan terlalu baik juga ya, apalagi sifat nggak enakan ke orang lain. Itu bisa merugikan dirimu sendiri. Ingat baik boleh, tetapi pikir untung dan ruginya. Aku tahu kamu merasa tidak nyaman berbicara sama aku, tapi kamu nggak berterus terang dan terus menjawab pertanyaanku. Kasihan di kamunya," ujarnya berterus terang. Cowok ini sadar dengan ekspresi tidak nyaman yang terlihat dari caranya bersikap dan menjawab pertanyaannya sedari tadi.

"Ah, maaf. Saya tidak terbiasa berbicara dengan orang asing. Saya juga bukan tipe orang yang banyak berbicara.  Lebih senang mendengarkan orang lain daripada memulai pembicaraan. Cuman kehabisan topik aja, sih. Maaf, ya."

"Kamu nggak perlu minta maaf, karena kamu tidak bersalah. Yah, dasar jadi orang terlalu baik, sih."

Grey mendengkus pelan seraya tersenyum, "Saya orang jahat. Lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada orang lain, egois dan mau menang sendiri. Kalau sudah lama kenal pasti kamu akan kesal juga dengan saya. Saya bukan teman yang baik. Jadi, nggak usah memuji seperti itu."

"Berarti kita harus berteman lama dulu," ujarnya sambil mengulurkan tangannya seperti ingin menjabat tangan.

Grey terdiam beberapa saat sebelum menggelengkan kepala.

"Terserah. Berteman pun boleh."

Gadis ini sengaja tidak menjabat tangannya, dia takut dengan kemungkinan kena hipnotis karena bersentuhan dengan orang lain.

"Oke," ucapnya sambil tersenyum. Dia tidak terlihat kesal, malah semakin senang meskipun Grey tidak menjabat tangannya.

"Kita boleh bertukar nomor ponsel?"

"Saya kasih akun instagram aja, ya? Nomor ponsel ini privat, untuk orang yang saya kenal lama saja. Maaf ya?"

"Oke, tidak masalah. Apa nama akunnya?" tanya cowok yang belum Grey ketahui namanya siapa.

"@xianxian.Nanti saya follback."

"Oke. Oh iya, kita belum kenalan. Nama kamu Xian?" tanya cowok itu dengan bersemangat. Grey harus mengakui jika senyumannya terlihat begitu manis.

"Bukan, namaku Grey. Nama kamu siapa?"

"Jie Zhan."

Detik itu juga jantungnya berdebar semakin cepat, namanya begitu terkait dengan nama dua orang yang dia sayangi.

"Serius? Kamu asli Indonesia atau ada campurannya?"

"Ada campurannya. Mama orang China, Papa orang Indonesia. Yah, akhirnya tinggal di Indonesia."

"Wah, keren." Terlihat jelas Grey antusias dengan ceritanya. Semua yang terkait dengan idolanya akan membuatnya menjadi semangat, tidak perduli seberapa capeknya dia, pasti akan memberikannya semangat karena mereka adalah sumber semangatnya.

"Kamu terlihat bersemangat, kenapa?"

"Ah iya, aku suka dengan aktor Xiao Zhan. Benar-benar menyukainya. Senyumannya manis, dia tampan sekaligus manis dan cantik. Dari dia juga saya ingin menyayangi diri saya lebih lagi, merawatnya supaya saya terlihat baik dan cantik. Saya ingin melatih kemampuan saya karena idola saya begitu multitalenta. Aktingnya luar biasa totalitas, sehingga saya juga harus totalitas dalam bekerja. Yah, dia sumber motivasi saya," ucapnya sambil tersenyum lebar. 

Jie Zhan mengacungkan jempol padanya, senang mendengarnya bercerita dengan begitu bersemangat. 

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro