I - BIPOLAR SUNSHINE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sekitar daerah Jawa Tengah. Pria yang tangguh, berani, namun juga sangat menyayangi orang tua. Jaka suka berburu dengan anak panah yang selalu tersampir di belakang tubuhnya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Matahari pagi merangsek masuk lewat celah-celah jendela kamar seorang pemuda. Cahayanya menyorot tepat kearah wajah rupawan laki-laki itu, membuat sang empunya mengerang lemah lantas mengerjap beberapa kali. Pandangannya yang buram berangsur-angsur sirna seiring cahaya yang semakin banyak masuk kedalam retina matanya.

Jaka menopang tubuhnya sendiri untuk duduk tegak diatas kasur. Merupakan hal yang berat bagi laki-laki itu dikarenakan ia baru tidur jam tiga pagi. Pertandingan bola yang dimainkan oleh tim kesukaannya membuat Jaka terpaksa membuka matanya terus menerus hanya untuk melihat tim kesayangannya itu meraih kemenangan. Walaupun hasilnya nihil, tim yang ia dukung malah kalah telak.

Jaka itu anak kuliahan semester satu yang mengambil jurusan kedokteran di universitas ternama di Jogjakarta. Hidupnya seperti manusia nomaden. Lahir di salah satu daerah di Jawa Tengah—kini menjadi DIY Jogjakarta—tapi menetap untuk bersekolah selama dua belas tahun di Jakarta. Setelah lulus, ia mendapat universitas favorit di Jogjakarta sehingga kembali kesana. Untuk seorang anak kuliahan dengan jadwal padat, Jaka itu hebat. Ia bisa membagi waktu untuk berolahraga, berlatih panahan, liburan, dan sedikit belajar. Memang sombong, karena merasa pintar, ia tak mau terus berkutat dengan pelajaran.

Jaka tampan. Tubuhnya tinggi, kulit tan-nya tampak mulus dan bersih, rahangnya tegas dengan senyum kotak dan lesung pipi yang manis. Alisnya tebal dengan hidung tinggi menghias permukaan wajahnya. Mata laki-laki itu berwarna cokelat muda, tatapannya dalam dan tajam. Jaka adalah definisi sempurna dari pangeran kampus di tempatnya mengenyam bangku kuliah.

Hobinya memanah. Selain itu Jaka pintar dalam bermusik dan merangkai kata. Terkadang suka mendaki gunung bersama kawan-kawannya saat senggang. Hidupnya penuh warna, ia selalu bahagia meskipun sering juga dituntut macam-macam oleh ayahnya yang notabenenya pengusaha yang cukup sukses. Jaka Tarub Samudra adalah namanya dari Papa. Papa ingin anaknya menjadi laki-laki kuat dan tangguh seperti jejaka pada masa lampau, menjadi manusia yang selalu bahagia seperti suku kata kedua di dalam namanya, dan punya pengalaman serta pengetahuan seluas samudera.

Meskipun harus diakui, semua manusia punya kelemahan. Kelemahan Jaka adalah sifatnya. Pandai berbohong dan menutupi kebenaran kepada orang lain. Jaka, meskipun sering sekali terlihat bahagia dan 'cerah', kalau suasana hatinya sedang tidak enak bisa tiba-tiba berubah jadi angkuh, egois, dan pemarah. Kalau sedih, pasti benda didekatnya ada yang hancur. Tapi jika bahagia, sifat malaikat seolah menurun kepadanya. Bipolar Sunshine adalah julukan dari kawan-kawan Jaka khusus untuknya.

"Aaah..."

Jaka melangkahkan kakinya ke jendela. Menyibak tirai putih yang menghalangi cahaya masuk kedalam. Kemudian membuka jendela hanya untuk menghirup udara segar pagi hari setelah hujan. Aroma petrichor menguar kedalam indera penciumannya. Aroma yang sangat Jaka sukai.

Tak lama berselang, terdengar bunyi nyaring dari atas nakas putih miliknya. Alarm digital berwarna hitam yang biasa digunakan Jaka untuk membantunya bangun dari tidur.

Ctak!

Hanya melirik sekilas, pukul delapan.

"Jam...DELAPAN?!"

Baru sadar.

Jaka baru sadar, baru ingat pula bahwa hari ini ia ada kelas jam delapan pagi. Dosen paling killer mungkin sudah duduk manis di kelas, mengabsen murid—tanpa Jaka ada disana.

"Jaka! Sarapan dulu!"

Mama berteriak lantang dari bawah begitu mendengar keributan di lantai atas. Beliau membawakan sebuah nampan berisi nasi goreng dan susu putih keatas, berhati-hati karena ia tahu anak satu-satunya itu kalau sudah panik bisa tiba-tiba beringas. Di sisi lain, Jaka segera mengambil asal handuknya di gantungan pintu, lalu masuk kedalam kamar mandi yang letaknya di sebelah kamarnya. Mama masih ditangga, menyaksikan keributan yang diciptakan anaknya sambil menggeleng keheranan.

"Jaka...Mama taruh di meja belajar ya. Dimakan!" Mama berseru sebelum kemudian masuk begitu saja kedalam kamar beraksen hitam dan putih milik Jaka.

Tak ada jawaban. Hanya bunyi shower yang setia mengiringi ucapan beliau.

Benar-benar belum sampai lima menit, Jaka sudah keluar dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. "Ih! Mama ngapain masuk kamar Jaka?!"

Sang Bunda menoleh ke asal suara begitu nampan sudah tergeletak rapih, kemudian tersenyum lucu kala melihat anaknya ternyata sudah tumbuh semakin besar. Jelas, bidangnya tubuh seorang Jaka memperlihatkan seberapa baik pubertas merubahnya.

"Mama cuma naruh ini kok kamu malah sewot. Hahaha." Mama tergelak melihat anaknya menutupi tubuh malu-malu.

Jaka menuntun Sang Bunda keluar kamar sambil bersungut-sungut. "Jaka udah gede, Ma. Udah ah Jaka mau pake baju!"

"Dulu kamu biasa aja ah kayak gini..."

"Kan dulu Jaka masih kecil..."

"Ya udah, dimakan ya itu."

Jaka menoleh kearah meja belajarnya di dekat pintu kamar, lalu kembali menatap malaikatnya. "Nanti kalo sempet, Jaka udah telat. Makasih, Ma!"

Dan pintu tertutup begitu saja. Menyisakan Mama yang masih larut dalam tawanya. "Udah gede, juga. Bandelnya ilangin! Jangan suka telat!"

Tanpa disangka-sangka ada sebuah suara menyaut dari dalam kamar. "Masih syukur aku mau masuk!"

Mama mengerti, anaknya itu memang mantan anak nakal di sekolahnya dulu. Kerjaannya keluyuran tiap hari, pulang bisa malam, tak jarang juga dipanggil guru konseling. Tetapi yang ia syukuri adalah meskipun begitu, Jaka masih mau menuruti keinginan-keinginan darinya dan suaminya.

***

"Iya, Mi...aku besok malem take off  kesana..."

Seorang gadis muda tengah berdiri menatap pemandangan kota dari jendela kamar hotelnya. Sesekali mengetuk permukaan kaca jendela dengan kukunya sendiri.

"Iya, ada Adin, Rani, Sheila, Kezia, Ellen sama Ella. Mereka juga take off bareng sama aku."

"..."

"Oh? Mau pergi lagi? Sebulan?"

"..."

"Um...ya udah gak apa-apa, aku bisa sendiri kok nanti. Aku tutup ya, Mi. Bye, Mami!"

Wulan reflek menjatuhkan tubuh keatas kasur. Matanya yang terlampau tajam dengan bulu mata lentik terpejam rapat-rapat. Bibirnya yang kecil dan secerah cherry mengatup seolah tak ingin banyak bicara. Rambut cokelatnya yang sedari tadi di cepol dibiarkan rusak karena bertubrukan dengan kasur. Sebelum pikirannya mengawang di udara, suara pintu terbuka menginterupsi ketenangannya.

Wulan membuka mata, memastikan siapa yang masuk ke kamarnya. "Eh? Ada Kezia."

"Sorry, gak ngetok dulu. I'm tired. Nungguin Ella sama Ellen muter-muter gak ada capeknya. Mending balik duluan."

Gadis itu kemudian menepuk-nepuk belah kosong di kasurnya. Mengisyaratkan pasangan sekamarnya itu agar ikut merebahkan diri di sebelahnya.

Wulan sedang berlibur. Menikmati liburan semester yang tinggal tiga hari. Nanti malam mereka akan kembali ke Singapura. Melanjutkan kuliah mereka yang akan masuk semester baru.

Wulan itu sebenarnya asli nusantara. Lahir di Jakarta, tempat dimana pusat pemerintahan berkembang. Ia kuliah di Singapura berkat beasiswa dari sekolahnya dulu. Masuklah Wulan ke Singapore University of Technology and Design, mengambil jurusan Seni Kreatif dan Desain. Disana ia bertemu Kezia dan kawan lainnya. Kezia, Rani, Sheila, Adin juga asli Jakarta. Sementara Ella dan Ellen dari Jogjakarta. Selama liburan, duo kembar itu sengaja mengajak sahabat-sahabatnya—termasuk Wulan—berlibur ke tanah kelahiran mereka berdua. Bukan hanya di satu daerah, tapi juga menyambangi daerah lainnya di sekitar Jawa Tengah. Hitung-hitung keluar dari negara singa putih yang selalu menjadi pemandangan mereka.

"Diem aja, kenapa?"

"Itu, Mami sama Papi mau pergi hari ini. Gak tau sih, katanya ke Jepang. Sebulan pula."

"Loh? Lo bahkan belom pulang, udah mau ditinggal lagi?" Kezia menoleh kearah Wulan, melihat air muka yang ditunjukkan sahabatnya mulai tidak enak.

Wulan hanya mengangguk pelan. Menghembuskan napasnya kasar, bisa-bisanya kedua orang tuanya pergi meninggalkan Wulan padahal anak gadis mereka belum menginjakkan kaki di rumah.

Definisi rumah yang ia punya hanya di Singapura.

"Ya udah, nanti sampe sana gue bantuin lo beres-beres."

Silih berganti, ekspresi gadis muda itu langsung kembali cerah. Hatinya bersorak riang. Untunglah masih ada manusia seperti Kezia. Mau membantunya saat tau temannya butuh bantuan.

"Makasih, Kezia!" Ujarnya sembari berseri-seri. Kezia sendiri hanya mengangguk menanggapi sahabatnya itu.

***

1214 words.

Tbc.

Thank you for voting!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro