IX - STAY WITH ME

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I-ibu meninggal?"

Jaka Tarub terisak. Mendapati tubuh Ibundanya sudah terbujur kaku. Sementara Nawang Wulan mencoba menenangkan suaminya. Menjanjikan bahwa ia akan selalu ada untuk suaminya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sudah dua hari sejak malam itu, Wulan merasa hidupnya makin lengkap. Makin bahagia karena bisa menemukan cinta yang tak terduga, jelas karena ia menerima Jaka. Hari ini juga paspornya sudah selesai dibuat. Wulan jadi tenang, semuanya beres karena benda itu sudah di tangan.

Tapi itu artinya, ia harus berpisah dengan Jaka. Dengan semua hal yang pernah mereka lalui. Di tempat penuh warna yang membuatnya berhasil jatuh cinta terlalu dalam hingga tenggelam.

Wulan melangkahkan kaki riang keluar dari kantor imigrasi. Sendirian, karena Jaka sedang ujian. Sempat terbesit di pikirannya untuk menetap sebentar disini, sambil memikirkan kalimat perpisahan untuk Jaka sebelum ia kembali. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada nama Jaka terpampang di layarnya.

"Halo? Ka—Oh, Oke."

***

"Ka...Ujian udah? Gak cabut kan?"

"Iya, udah."

"Ka..."

"Iyaaa?"

"Tau legenda Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari?"

Jaka mengangguk sekilas, lalu menyesap kopi hangat miliknya.

Suasana kafe sore ini cukup ramai. Kafe tempat Wulan dan Jaka berbagi cerita saat pertama kali bertemu. Meskipun sekarang bukan waktunya liburan, bukan juga waktu wajarnya anak kuliahan berada di luar kampus saat ujian, Jaka dengan santai malah mengajak gadis itu pergi kesini.

Jaka hanya ingin sekedar menenangkan diri. Duduk berhadapan dengan gadis yang baru saja dikenalnya seminggu namun sudah dicintainya—Wulan.

Pemuda jangkung yang cukup tampan, rahang tegas, rambut kecokelatan, kulit tan dan pupil cokelat muda menatap keluar. Ia sengaja mengajak bidadarinya kesini, menghampiri keramaian untuk menutupi sendunya dengan sempurna.

"Aku gak begitu suka legendanya."

Nyaris saja Jaka menyemburkan minumannya saat itu juga. Mengapa ada manusia yang bahkan tidak menyukai legenda dari tanah kelahirannya sendiri?

Matanya mendelik kearah gadis di hadapannya. "Aneh," lalu terkekeh pelan.

"Aneh?"

"Legenda punya tanah sendiri harusnya lo pelajarin dan lo lestariin. Kenapa coba gak suka?" Tanyanya sambil menggulung lengan jaketnya. Memakukan pandangan ke gadis manis yang tampak gugup.

Kini berganti Wulan yang menatap keluar. Ia sadar, Jaka telah mengalihkan atensi ke dirinya. Terlalu intens.

"Gak begitu suka, Jaka. Tokoh laki-lakinya jahat. Aku tau sih itu emang cuma legenda, tapi who knows kalo ternyata kejadian di dunia nyata? Dia ngambil selendang bidadari yang sebenernya berharga banget. Di sembunyiin bertahun-tahun bahkan sampe mereka ada ikatan. Egois." Wulan bersungut-sungut saat mengingat kembali kisah yang sempat ia pelajari di bangku SMA pada saat mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Mengutamakan diri sendiri hingga mengorbankan hidup orang lain dengan cara berbohong.

"Egois?" Jaka sempat gemas melihat tingkah gadis muda ini, tapi seketika terpaku saat kemudian mendengar pernyataan yang keluar begitu lancar dari mulut Wulan.

"Aku gak pernah suka pembohong...haaah, munafik rasanya. Dia berkhianat sama cintanya sendiri."

Sementara itu, Jaka semakin memperdalam posisi benda yang sudah mencuat sedikit dari kantung celananya. Berusaha agar kotak emas itu tak jatuh saat ia bergerak.

Di hatinya kini, sesuatu tengah memberontak.

Tidak. Wulan tidak boleh sampai tahu.

Drrrt!

"Bentar." Jaka mengambil ponselnya diatas meja, ada nama Mama terpampang di layar ponsel.

"Halo, Ma?"

"Jaka, ini Papa. Mama..."

***

"Jaka tenang dulu...serius, kamu gak akan bisa mikir jernih kalo gini."

"Gimana mau jernih, Wulan! Mama kritis, terus gue harus tenang gimana?!"

Jaka berjalan tergesa-gesa melalui koridor rumah sakit diikuti Wulan dibelakangnya. Matanya memerah, menahan air mata di pelupuknya. Pandangannya menelanjangi setiap sudut rumah sakit, mencari letak UGD yang entah dimana. Pikirannya kalut, memikirkan keadaan Mama saat ini.

Mama kecelakaan. Ditabrak mobil dengan kecepatan penuh saat tengah menyebrang jalan.

"Brengsek! Siapa yang berani-beraninya nabrak Mama? Baj—"

"Jaka, ini tempat umum."

"Persetan! Gue harus ketemu Mama sekarang!" Wulan agak kaget, Jaka kasar sekali. Tapi Wulan berusaha mengerti keadaannya sekarang.

Disana, di depan ruang bertuliskan 'UGD' ada Papa. Tak jauh dari Papa, berdiri seorang lelaki muda sepantarannya tengah menunduk lesu.

BUGH!

"BANGUN PENGECUT! LO YANG UDAH NABRAK MAMA, IYA?!"

DUG!

Papa terkejut melihat anaknya tiba-tiba datang dan menghajar laki-laki muda tadi hingga jatuh tersungkur. Darah mengucur dari sudut bibirnya, tapi lelaki itu tak mengelak. Benar rupaya, tampang begajulan dengan bau alkohol menyeruak. Napas Jaka memburu, air mata luruh begitu saja. Tidak peduli banyak orang yang melihatnya disana, karena nyatanya lelaki dibawahnya yang bersalah.

Kakinya menendang pilar penopang koridor rumah sakit hingga retak, lalu jatuh terduduk di kursi tunggu dengan wajah memerah. Sesak, nyawanya seolah dipaksa keluar dari raga hingga ia bisa merasakan tubuhnya menggigil. Percuma melanjutkan perkelahian, hal itu tak akan menentukan nasib malaikatnya didalam. Tak lama, seorang pria tua dengan jas putih keluar dari ruangan. Membawa hasil pengecekannya terhadap pasien.

Jaka berdiri tepat di hadapan sang dokter. Bahkan lebih dulu kebanding Papa. Menuntut penjelasan rinci dari pria itu.

Pria tua itu menghembuskan napas, lalu tersenyum. "Keadaan Nyonya Renata memang sedikit parah. Tulang tangan kanannya patah, dengan robekan kecil di pinggang sebelah kanannya. Tapi sekarang kondisinya sudah stabil, nyonya sedang dalam keadaan semi koma dan mungkin bisa bangun esok. Saya harap anda dan keluarga terus berdoa untuk keselamatannya. Saya permisi."

Hening. Tak langsung masuk kedalam seperti Papa, Jaka malah kembali jatuh di kursi tunggu. Wulan sedari tadi hanya menyaksikan, namun diam-diam hatinya ikut hancur. Wulan tahu benar, bagaimana menenangkan Jaka. Duduk berdampingan diatas kursi, mengelus punggung tegap itu tanpa suara. Membiarkan Jaka larut dalam tangisnya. Karena Wulan tahu betul, betapa sakitnya ketika nyaris kehilangan orang yang dicintai.

"Wulan..." suara lirih itu membuat gadisnya menoleh.

"Iya?"

"Tolong, tetap disini. Jangan pernah pergi."

Wulan mengangguk sambil terus mengelus punggung Jaka. "Iya, Wulan disini. Disini buat Jaka, gak akan kemana-mana."

Kemudian, berakhir dengan Jaka yang menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher Wulan. Menghirup aroma vanilla sebanyak-banyaknya, sedikit banyak bau hujan turut masuk ke indera penciumannya, seolah dua aroma itu adalah aroma penenang bagi dirinya sendiri.

***

928 words.

Tbc.

Uhuy dikit lagi~

Thankyou!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro