V - THE NIGHT WE MEET

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selendang ku hilang! Siapa yang mencuri selendangku?"

Salah satu dari yang paling tua maju untuk bertanya kepada adik bungsu mereka. "Dimana kau menaruh selendang itu, Nawang Wulan?"

"Disini! Bersama milik kalian."

Nawang Wulan panik. Tanpa selendangnya, tak mungkin ia bisa pulang ke khayangan. Apalagi selendang itu raib tanpa jejak, tak memungkinkan mereka mencarinya disaat hari menjelang malam.

Satu lagi mendekat, memeluk adiknya itu. "Nawang Wulan, kami minta maaf. Kami harus segera kembali ke khayangan dan meninggalkanmu disini. Ayahanda bisa marah kalau tahu kita masih disini."

"Kalau sudah ketemu, segeralah pulang. Kami menyayangimu." Setelah itu, mereka semua pergi meninggalkannya.

Ia kemudian bertekad. "Siapapun yang menemukan selendangku, kalau perempuan, akan kujadikan ia saudaraku. Kalau laki-laki, akan aku jadikan suamiku."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Asli, boy. Ngeselin."

"Bener juga, haha. Untung orang tua gue gak strict sampe-sampe jodohin gue gitu."

"Ogah gue sebenernya. Mau nolak? Tau sendiri bokap kayak gimana."

"Susah sih, bos. Kalo emang syaratnya nyari pengganti. Mana ada cewek yang bisa tiba-tiba diajak jadi pacar."

Jaka terlihat diam dan berpikir. Benar juga kata Evan di sebrang telfon. Mana ada perempuan yang mau diminta untuk jadi pacarnya secara tiba-tiba.

"Kecuali gini, lo punya temen atau kenalan yang lebih cakep dari si Laras, terus lo bayar dia atau apa lah. Suruh jadi pacar pura-pura lo."

"Ye ngaco! Mana ada cewek mau digituin. Kalo ketauan juga bahaya."

"Yeh belom dicoba udah gitu. Kalo mau selamet, ikutin saran gue."

Tapi, saran Evan ada benarnya juga. Siapa tahu, ternyata cara itu ampuh?

"Bisa sih. Boleh deh gue coba."—tapi siapa ceweknya?

"Mau gue cariin cewek?"

Sebentar, Jaka tak mau kalau harus melibatkan orang lain, apalagi Evan. Kalaupun ketahuan, biar namanya saja yang buruk di mata orang tuanya, bukan Evan. "Enggak, bos. Makasih. Gue ada, kok. Udah ya, kayaknya dipanggil nih."

TUT.

Panggilan terputus sepihak dari Jaka. Pemuda itu membaringkan tubuhnya diatas kasur. Sesekali menatap jam dinding yang sudah menunjukkan angka delapan. Pikirannya buntu. Merasa tidak adil dan tersinggung karena dianggap tidak laku. Jaka baru ingat kalau jam sembilan nanti, akan ada makan malam bersama di restoran Papa. Tujuannya untuk membicarakan kerjasama Papa dan Pak Surya. Yah, meskipun Jaka tahu sebenarnya Papa ingin Jaka bertemu Laras lagi.

Laki-laki itu bangkit, mengambil secarik kertas buram dan bolpoin diatas meja belajarnya. Kembali duduk di balkon kamar. Cuaca masih cerah, rasi bintang makin nampak, bulan purnama pun terlihat semakin bercahaya. Waktu yang sangat tepat untuk menuliskan beberapa kata dari imajinya sendiri. Kata yang ingin di utarakannya setelah bertemu gadis manis tadi. Gadis yang kalau diingat lagi seperti tampak familiar di matanya.

Jalan Malioboro, Jogjakarta, tadi masih jam tiga sore. Sekarang sudah gelap.

Beritahu aku, benarkah jika malaikat hari ini sedang lengah dalam menjaga surganya?

Jika benar, pantas saja ada bidadari yang lolos jatuh ke bumi senja tadi. Pantas juga matahari sempat mengintip malu-malu. Kalah indah ternyata.

Lalu tertawa kecil membaca tulisannya sendiri. Lantas ia melipat kertas tersebut, dan mengantunginya di kantung celana.

Jaka mengambil permen karet dari sakunya, mengunyah permen itu, sesekali meniup balon hingga pecah sendiri. Tangannya terulur ke udara, seolah ingin menangkap gemerlap bintang yang bertebaran di angkasa. Ia suka melihat kerlip cahaya di langit, indah. Setiap malam, selain menulis, terkadang Jaka menceritakan pengalamannya dalam satu hari dalam diam. Kalau Evan sibuk, kalau-kalau tak ada lagi tempat untuknya berkisah, hanya langit dan seisinya yang bisa mendengar keluhan pemuda itu.

Sebelum tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan suara berat seorang laki-laki diluarnya. "Jaka, Papa mau bicara."

***

"Tadi lo kemanaaaa?" Kezia mencubit hidung Wulan gemas. Yang dicubit malah terkikik pelan karena merasa lucu.

"Cuma beli makanan, terus pas balik Kezia sama Adin udah gak ada. Ya, aku pulang duluan."

"Yang nyuruh lo pulang duluan siapa?"

"Adin."

Kezia menoleh kearah Adin. Mereka saat ini tengah berkumpul di kamar Wulan, sekedar bersenda gurau mengingat malam ini adalah malam terakhir mereka di Jogjakarta.

Adin menggeleng. "Engga. Gue cuma nyuruh dia beli arum manis doang. Bukan pulang duluan."

Kezia kembali menatap Wulan lekat-lekat. Wulan kembali tertawa geli. "Iya iya, maaf. Lagian ya, dicariin gak ada. Ya udah aku kesini."

"Kita tuh mau nyamperin lo, Ulannn!"

Belum sempat Wulan membalas, suara pintu terbuka membuyarkan semuanya. Ada Rani disana, membawa banyak makanan ringan dan minuman bersoda untuk dinikmati bersama. "Ini, masih nyisa banyak, cuy. Ayo abisin."

Sheila yang berada dekat pintu langsung meraih kaleng soda berwarna merah dan meneguk isinya. Sementara Ella dan Ellen menghampiri Rani untuk membantunya membawa camilan ke tengah kamar.

"Guys, abis makan siap-siap ya. Kita ke bandara, setengah sebelas kita udah take off. Kezia, jangan ngomel mulu, ya?" Adin menepuk pundak Kezia sambil tersenyum. Kezia hanya mengangguk pasrah, mengikuti langkah Adin untuk mengambil camilan bawaan Rani tadi.

***

"Mana nih? Udah jam sembilan."

"Sebentar lagi, Jaka. Kalo kamu emang gak suka sama Laras, seenggaknya hargain dia." Mama mengusap lengan Jaka lembut.

Jaka mendecih malas. Menggulung lengan jaketnya. Matanya menjelajah ke setiap sudut restoran. Hingga matanya berhenti tepat di pintu masuk, ada Laras, Pak Surya, dan seorang wanita tua yang sepertinya adalah Ibu Laras.

Malam ini, gadis itu mengenakan celana putih diatas lutut dengan atasan kemeja hitam berbahan satin. Kalung dan anting emas yang cukup kebesaran turut menghebohkan penampilan gadis itu.

Papa gak salah milih calon?!

Selama makan, Jaka nampak sangat tidak bernafsu. Bahkan untuk menyuap kentang goreng saja rasanya menjadi hambar saat ia tahu Laras terus menatapnya tanpa henti. Memang, sepanjang itu yang mereka bicarakan hanya urusan bisnis dan mengapa Bunda Laras tak datang saat pertamakali mereka bertamu ke rumahnya.

Sayangnya akhirnya, satu topik yang ia hindari muncul juga.

"Jadi gimana? Udah cocok sama Laras, nak?"

Pupil cokelat itu mendelik kearah Pak Surya. Tatapannya benar kelam, tidak bisa diartikan.

"Kalo Jaka di undang kesini cuma buat omongin soal perjodohan, maaf Jaka gak bisa. Laras, gue minta maaf harus nolak ini. Gue punya hati yang harus gue jaga. Permisi."

Pemuda itu bangkit dengan tergesa, meninggalkan mereka semua dalam kebingungan. Papa yang memanggil nama anaknya terus-menerus bahkan tak digubris. Jaka sudah muak, ini bukan jaman Siti Nurbaya yang apa-apa harus diatur. Jaka punya hak, dan Jaka berhak.

***

"Sebentar, aku mau ambil pesenan dulu! Kalian duluan aja!"

Wulan mengobrak-abrik isi tasnya. Beberapa barangnya berserakan keluar. Begitu menemukan dompetnya, Wulan mengambil selembar uang dari dalam dompet dan beranjak menuju kasir kafe untuk mengambil minumannya. Setelah itu menyusul keenam temannya yang sudah terlebih dahulu keluar kafe.

Setelahnya, seorang laki-laki dengan jaket putih dan celana robek-robek masuk kedalam kafe. Mendudukan dirinya asal di salah satu meja kafe. Saat baru saja menyentuh buku menu, pergerakannya berhenti karena melihat sebuah buku kecil dibawah buku menu.

Paspor.

"Ini punya siapa, dah?"

Jaka mengambil paspor itu, menelisik seluruh sudut kafe. Mencari tanda-tanda pemilik paspor yang mungkin belum jauh dari sini. Dengan hati-hati, Jaka membuka buku paspor tersebut.

Yang mengejutkan adalah saat dirinya melihat nama dan foto seorang gadis terpampang di dalamnya.

Nawang Wulan Olivia.

Sempat merasa lucu dengan nama gadis yang mirip dengan nama bidadari dalam suatu legenda. Kalau saja ia tak ingat bahwa namanya juga mirip dengan nama pria di legenda yang sama, mungkin Jaka sudah tertawa sekarang.

Sementara fotonya—ah, Jaka tahu!

Laki-laki itu segera beranjak dari kafe. Rasa kesalnya seketika hilang termakan rasa penasaran. Sempat terbesit keinginan untuk mengembalikkan paspor ini, sebelum akhirnya ada pikiran lain yang membuatnya menghentikan langkah. "Kalo paspornya disini, dia gak akan bisa pulang, kan?"

"Dia ini yang tadi sore, kan? Polos gini, kayaknya gak bakal tau paspornya di ambil. Sementara...bisa gue akuin jadi pacar, kan?"

Sementara itu,

"Tadi masih ada di dalem tas...kalo ilang gak bisa pulang dong? Wulan mau pulaaaang! Hiks..." Wulan tampak ketakutan karena paspornya hilang.

Adin berusaha memeluknya. Menenangkannya, sementara Rani sudah meminta pusat informasi menginformasikan tentang kehilangan paspor kalau-kalau ada yang menemukannya. Kezia dan Sheila sempat kembali ke kafe, tapi nihil. Tak ada yang menemukan paspor Wulan, sekalipun mereka mencarinya sendiri.

Ella dan Ellen terus menghitung waktu, takut-takut mereka telat check-in dan malah ketinggalan pesawat. Kuliah di luar negeri tidak bisa disamakan dengan di dalam. Kalau kau ketinggalan materi selama satu bulan, habis sudah. Kalau tidak dikeluarkan, mau tidak mau harus mengulang pelajaran yang tertinggal sendirian.

"Apa gue disini aja nemenin Wulan?"

Rani berdecak kesal. "Gak mungkin, Din. Kalo kita ditanya, mau alesan apa? Kalo sampe ketauan salah satu dari kita ada yang disini dan gak kuliah, bisa abis."

"Kok lo gitu? Ini kasian Wulannya..."

"Dampaknya ke Wulan juga, Din! Dia bakal kena omel orang tua lo juga kalo sampe lo disini. Bisa-bisa kalian dipisahin, mau?"

Adin terdiam. Ada benarnya juga. Sekarang mereka hanya bisa pasrah. Kesempatan check-in tinggal setengah jam lagi.

"Eh, check-in sekarang gak? Sebentar lagi nih." Ella berdiri dari duduknya. Bukan egois, tapi ada hal yang lebih penting. Wulan seolah mengerti. Tangisnya berhenti, ia tahu, ada masa depan yang lebih penting. Paspor bisa di urus nanti kalau orang tuanya sudah kembali, minta tolong Kezia juga bisa.

"K-kalian...gak apa-apa, duluan aja. Wulan nyusul nanti, tenang aja."

Adin dan Rani sontak menoleh, memasang wajah khawatir—namun juga lega disaat yang bersamaan. Begitu pula Kezia yang baru saja sampai. "Wulan? Apaan sih?"

Wulan mengangguk. Meski ia tahu hidupnya akan sedikit berantakan setelah ini. "A-aku bisa nunggu Mami pulang atau minta bantuan Kezia pas kalian udah sampe nanti. J-jadi, gak apa." Masih menahan sesenggukan, Wulan berusaha terlihat kuat.

Adin lalu memeluk Wulan. "Maafin kita, maaf harus ninggalin Wulan disini."

"Wulan, kalo ada apa-apa bilang gue atau yang lain, ya."

Wulan mengangguk. Kezia mengelus punggung tangannya. Setelahnya, Wulan hanya bisa terduduk lemas di kursi tunggu bandara. Meratapi punggung keenam sahabatnya yang berjalan menjauh meninggalkan dirinya. Tak ada yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri disini. Ia bergumam kecil sambil melamun.

"Kalo ada yang nemu paspor Wulan, kalo cewek Wulan jadiin sahabat deket, kalo cowok...pacar?" ujarnya tanpa sadar.

Sebelum tiba-tiba, sebuah suara memecahkan lamunannya. Suara seseorang yang dari tadi memperhatikan tujuh perempuan cantik yang tampak resah dari jauh.

"Hey, lo yang tadi siang, kan?"

***

1.614 words

Tbc.

xoxo,

:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro