IV - PERTEMUAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jaka, Ibu mau bicara."

Suara halus wanita itu membuyarkan lamunan Jaka yang tengah duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bulan purnama.

"Ada apa, Ibu?"

"Jaka, Ibu sudah semakin tua. Ingin setidaknya melihatmu menikah. Tadi, Pak Ranu membicarakan tentang anaknya, Laraswati. Kamu kenal?"

Jaka mengangguk. Laraswati, nama bunga desa yang terkenal cantik dan elegan. Tapi menurut Jaka, Laraswati itu berlebihan.

"Apa...kamu mau mengenal Laraswati lebih dekat?"

Kalimat itu sukses membuat Jaka mematung, seolah mengerti alur kisah yang dibuat Mbok Randa, perjodohan. Jaka jadi teringat mimpinya, apakah wanita secantik bidadari di dalam mimpinya itu Laraswati?

Malam itu juga, Jaka Tarub kembali mendapat jawaban lewat mimpi. Di mimpinya, bidadari cantik waktu itu datang lagi. Dengan senyum yang kian hangat laksana mentari, suara lembut dan cara bicaranya yang menghanyutkan. Jaka telak terpesona. Hingga Jaka merasa yakin, gadis itu bukan Laraswati.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Seorang laki-laki muda tengah sibuk menghitung jumlah bintang di angkasa malam itu. Matanya terus saja menyusuri tiap-tiap jengkal rasi bintang di langit malam dari balkon kamarnya. Sebelum tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi dirinya.

"Jaka..."

Bersamaan dengan pintu yang berderit terbuka, Jaka segera masuk kedalam kamar, tidak mau kena omel Mama karena belum tidur padahal sudah tengah malam.

Oh ya, Jaka dan Laras tadi sudah sempat bertukar nomor ponsel, Laras memancing topik obrolan berdua di ruang tamu, sementara Papa dan Pak Surya menikmati teh hangat di luar. Laras benar-benar tertarik dengan Jaka. Lain halnya dengan laki-laki itu, Jaka tidak tertarik, sama sekali tidak.

"Kenapa, Ma?"

Mama berjalan mendekat kearah anaknya yang baru saja menutup jendela kamar. Sudah terlampau tahu kebiasaan Jaka setiap malam, memandangi bintang jika langit cerah, atau menulis untaian kata diatas kertas buram.

"Duduk sini."

Mama menepuk-nepuk kasur anaknya. Sekedar ingin mendengar sepenggal kisah tentang hari ini.

Jaka patuh, ia menghampiri Sang Bunda lalu duduk di hadapannya. Mungkin Jaka terkadang terlihat seperti anak Mama. Padahal sesungguhnya, Jaka yang kuat pendiriannya sekaligus orang yang hangat saat menyayangi orang lain adalah keturunan Mama.

"Gimana tadi, ketemu Laras? Cantik, kan?"

Jaka hanya tersenyum datar. Sebisa mungkin tak membuat Mama kecewa. "Lumayan."

"Suka?"

"Hah?"

"Suka? Sama Laras?"

Jaka menggeleng pelan. Mama tidak kaget, karena Mama sudah tahu betul sebenarnya apa jawaban Jaka.

"Kenapa? Coba sini cerita."

"Manja."

Mama cekikikan pelan. Membuat Jaka kebingungan. "Semua perempuan mau kali dimanja."

"Bukan, Ma. Manja yang ngerajuk gitu."

"Ngerajuk?"

Jaka menegakkan tubuhnya, lalu memperagakan bagaimana cara Laras meminta nomor ponsel dan akun sosial media Jaka.

"Jakaaa...gue mau minta nomor lo, dong. Boleh ya? Atau lo save nomor gue ya? Bla bla bla...cih."

Mama tertawa lepas melihat betapa menghayatinya Jaka memerankan Laras tadi. Betul juga, tapi jatuhnya malah seperti ngebet punya cowok.

"Mana tuh yang katanya gak bisa deket sama cowok? Berani taruhan Jaka kalo sohib dia banyak." Jaka mendecih malas. Tentu saja, sudah kelihatan sebenarnya Laras itu seperti apa. Gadis macam Laras biasanya mudah terkenal, entah di kalangan murid saat sekolah dulu, atau di kalangan teman kampus.

"Jaka...kamu mirip Papa, lho."

"Ya, kan anaknya."

"Jadi, gimana? Mau nyoba dulu sama Laras? Jadi temen dulu aja."

Jaka tertawa remeh. "Temen? Kalian jodohin Jaka pelan-pelan, kan?"

Mama mengangguk pelan. "Ini kemauan Papa, Jaka."

Jaka menghembuskan napasnya kasar. Tahu betul perawakan Papa seperti apa. "Jaka coba ya, Ma. Syukur kalo tahan. Sejam sama dia rasa seabad."

Lalu beranjak pergi menuju pintu kamar, ingin ke dapur ambil susu vanila sebenarnya. Tapi yang Mama tangkap, Jaka seolah tak lagi ingin mendengar skenario buatan orang tuanya ini.

"Jaka..."

Jaka menoleh. Masih bungkam.

"Coba dulu gak apa-apa. Tapi kalo emang kamu gak suka, gak mau, gak usah lanjut. Nanti Mama bantu bilang ke Papa."

"Kalo dilarang?"

"Seandainya bisa, sebelum nolak Laras, kamu bawa satu anak gadis kedepan kita. Bukti kamu bisa jatuh cinta."

Malam itu, di mimpinya, Jaka kembali melihat gadis manis dengan tampang yang kian jelas. Lucu, dengan suara yang halus dan menenangkan. Matanya yang bercahaya seolah memancarkan harapan.

***

Jogjakarta, 12 siang.

"Wulan, paspor udah?"

Gadis yang dimaksud menoleh ke arah temannya. Kezia nampak sibuk membenahi barang-barangnya kedalam koper.

"Udah."

"Baju lo udah masuk semua?"

"Gak semua, lho. Kan masih mau dipake sepasang buat besok pulang."

"Maksud gue yang lain, sayangkuuuu."

"Ih, jijik! Ngapain pake sayang-sayangan?"

"Lagian lo bikin gemes. Orang nanya jawabnya gak bener."

"Kamu yang salah nanya."

Kezia menghembuskan napas malas. "Ya udah, gue salah. Terus abis ini, mau kemana dulu?"

Wulan tampak menimang-nimang tawaran Kezia sebelum mereka kembali ke Singapura. "Malioboro? Mau?"

"Lagi? Kan semalem udaaaaaah!"

Kenyataannya, tak ada yang dapat menolak tatapan memelas dari seorang Wulan. Sekalipun Kezia yang terkenal galak dan keras.

"Oke, ayo."

"Ajak Adin atau Rani?"

"Rani lagi keluar sama Sheila. Adin aja."

"Siap."

***

"Jaka, Laras, kalian gak apa-apa kan temenin Tante kesini?"

Jaka hanya berdehem pelan. Padahal Mama tahu Jaka sedang tak ingin bertemu Laras. Bahkan kalau bisa, benar-benar tidak ingin menemuinya lagi. Ada saja yang membuat Jaka sebal terhadap gadis itu. Pulang kuliah, mau istirahat mumpung besok hari Minggu, malah berakhir diajak pergi sama Mama. Parahnya, Mama juga mengajak Laras!

"Gak apa-apa lah, Tan. Aku suka banget malah kalo disuruh nemenin Tante. Sering-sering aja, Tan kita jalan bertiga gini. Ya, kan, Jak?"

Laras menatap Jaka yang ada di sebelah Mama. Ya, Mama berada diantara Laras dan Jaka atas permintaan Jaka.

"Ogah gue sih." Meskipun kecil tapi sukses membuat Mama mencubit lengan anak laki-lakinya itu.

Laras total acuh, ia malah memperhatikan toko-toko yang ada di sepanjang jalan saat itu. Malioboro, tempat yang tengah mereka pijak saat ini.

"Tante, kita masuk ke toko batik, yuk? Belanja disitu bagus-bagus batiknya."

Mama menoleh ke arah butik batik yang dimaksud Laras, butik batik paling bagus dan juga paling mahal disana. "Bagus sih, tapi Tante gak bawa uang banyak."

"Emang gak ada kartu kredit, Tan? Kalo ada kan bisa dipake."

Sungguh, ucapan semacam ini yang membuat Jaka sebal. Dengan tidak etisnya menanyakan soal kartu kredit. Masalahnya, mereka kenal belum ada sehari.

"Tante lupa bawa."

Laras mendengus sebal, merasa keinginannya tak terpenuhi. Melepas gandengan tangannya yang sedari tadi bertengger di lengan Mama begitu saja. Lalu berjalan dengan sedikit lebih cepat daripada mereka.

Jaka terkekeh pelan, melirik Mama. Merasa menang akan pandangannya yang benar. Membuat Mama menggeleng keheranan melihat tingkah Laras.

"Jak, Mama mau nyari toilet umum, bilangin Laras."

Jaka mengangguk dan menyusul Laras yang sudah beberapa langkah di depan mereka. Laras masih terlihat kesal, tapi dengan baiknya Jaka menggandeng lengan Laras agar mengikuti langkah Mama yang sudah berbalik untuk mencari toilet umum.

Laras senang karena Jaka menggandengnya? Tidak. Jelas, kemauan Laras itu mutlak, dan Jaka ataupun Mama tidak bisa menurutinya tadi.

Di sisi lain, seorang gadis tengah membetulkan rambutnya di kaca toilet umum. Menunggu satu teman mereka yang ada di dalam toilet. Sudah lama mengantri, saat kebagian sialnya yang masuk itu Kezia. Apa-apa harus bersih, rapih, dan lengkap.

"Ah, Kezia lama!"

Adin melihat Wulan yang masih saja merengut karena Kezia tak kunjung keluar. Lalu tertawa sendirian karena gemas dengan tingkah Wulan. Wulan memang paling kecil diantara keenam sahabatnya. Lahir paling terakhir diantara mereka, belum lagi tingkahnya yang polos dan jujur. Sulit menolak jika anak itu meminta sesuatu.

"Wulan, mau jajan apa sih?" Adin menatap Wulan sambil tersenyum seolah-olah Wulan adalah anak kecil yang merengek minta balon.

"Mau beli arum manis, tadi ada yang jual."

"Ya udah, Wulan beli aja. Adin disini sama Kezia. Bisa sendiri, kan?"

Wulan mengangguk. Adin itu bertolak belakang dengan Wulan. Dia paling dewasa, paling pengertian, juga bisa diandalkan untuk masalah rumit. Wulan suka sekali saat bercengkrama dengan keenam sahabatnya, terutama Adin. Sudah seperti kakak sendiri padahal umur mereka hanya terpaut perbedaan bulan.

Wulan pergi sendirian, meninggalkan Adin yang masih menunggui Kezia. Mencari kesenangannya sendiri—penjual arum manis di sepanjang jalan. Begitu ketemu, tak butuh waktu lama untuk Wulan mendapatkan apa yang diinginkannya. Lalu kembali menuju toilet umum tadi untuk bertemu kedua sahabatnya.

"Loh? Kok gak ada?"

Matanya berpendar ke penjuru toilet umum yang cukup luas. Tidak ada Adin ataupun Kezia disini. Wulan ditinggal. Untung jarak hotel dan Malioboro tidak terlalu jauh, dia bisa pulang sendiri, biar saja Adin dan Kezia. Mereka masih berdua.

DUG!

Baru saja Wulan berbalik untuk kembali, ia menabrak seorang wanita tua yang tampaknya terburu-buru keluar. Sebelumnya wanita itu sempat mengeluarkan seluruh barang-barang dari tas nya di wastafel dan mencari tisu untuk mengelap tangannya. Lalu keluar begitu saja tanpa memasukkan kembali bungkus tisu yang masih terisi penuh dan—dompet. Fatal.

"Ibu!"

Ah, ceroboh banget.

Wulan keluar toilet sambil membawa bungkus tisu dan dompet milik wanita tua tadi. Tapi ia kehilangan jejaknya. Yang Wulan ingat, wanita itu mengenakan kemeja putih, celana kulot abu-abu dan tas abu-abu.

Kalau tidak salah, ia berbelok kiri dari arah pintu keluar toilet.

***

"Loh, bentar, dompet Mama kok gak ada ya?"

Mama terlihat mengecek isi dari dalam tasnya. Saat hendak mengeluarkan uang untuk membeli dompet kulit titipan Papa, Mama baru sadar bahwa dompet miliknya tak ada di dalam tas.

Jaka menoleh, begitu juga Laras yang sebenarnya tidak begitu peduli.

"Mama taruh mana tadi?"

"Mama juga gak tau, abis dari toilet...tadi cuci tangan...terus keluarin tisu...tisunya kok juga gak ada?!"

Jaka menepuk dahinya. Bisa-bisanya Mama lupa saat seperti ini.

Jaka segera pergi meninggalkan Mama dan Laras, mencari dompet Mama yang mungkin terjatuh saat berjalan tadi.

Tiba-tiba, seorang gadis manis berteriak kearah mereka berdua dari kejauhan. Gadis dengan overall jeans dan sweater putih sebagai dalaman tengah berlari dengan napas yang terengah-engah, tapi tak jengah hingga salah satu dari mereka sadar ada yang mendekat.

"Ibu...ini...tadi...dompetnya sama tisu, ketinggalan."

Gadis itu menunduk sebentar, lelah. Mama memperhatikan gadis dengan rambut terurai di sebelahnya. Yang diperhatikan lalu kembali berdiri tegak, dan tersenyum manis.

"Ini."

Mama melihat tangan gadis itu yang menyodorkan tisu dan dompet berwarna hitam. Beliau tersenyum senang dan nampak sangat bersyukur karena ada yang mengembalikkan miliknya dengan utuh.

"Ini punya Tante tadi ya, sayang? Aduh makasih banyak, bener deh. Tante kira ini hilang...terima kasih banget, ya." Mama mengambil dompet dan tisu tersebut, lalu memasukkannya kedalam tas. Setelahnya memegangi pundak Wulan yang masih terlihat naik turun pengaruh napasnya yang tak teratur.

"Sama-sama, Bu. Tadi ada di toilet."

"Panggil Tante aja. Ih, masih muda gini dipanggil Ibu."

Wulan tertawa kecil. "Iya, Tante."

Laras yang sedari tadi acuh, nampak mulai cemburu. Padahal, bukan siapa-siapa, tapi tetap saja ia tidak suka jika calon mertuanya bersikap seperti itu kepada gadis lain.

"Cek dulu tuh, Tan. Takut ada yang ilang." Ujarnya dengan nada menyindir.

Mama juga tak mau memihak salah satu. Ada benarnya juga. Untung, setelah di cek, seluruh isi dompet masih lengkap. Tidak ada kurang satupun.

"Lengkap kok, Laras. Makasih, siapa?"

"Wulan, Tan."

"Makasih, Wulan."

Wulan mengangguk senang. "Tan maaf, aku pergi dulu, ya? Udah ditungguin temen."

"Gak mau ikut sama Tante sama anak-anak? Abis beli titipan mau makan siang."

Wulan menoleh kearah 'anak-anak' yang dimaksud. Bukan, bukan gadis yang tadi sempat menyuruh Mama mengecek ulang isi dompetnya. Matanya malah terpaku kearah laki-laki yang baru saja datang dari kejauhan. Sadar bahwa saling melempar pandang, laki-laki itu tersenyum hangat. Tak ada yang sadar akan kedatangannya kecuali Wulan. Bahkan sepertinya Mama dan Laras tak tahu bahwa Jaka baru saja kembali.

"Tan, aku duluan, ya."

"Oh, iya. Makasih, Wulan."

Wulan mengangguk, lalu berbalik meninggalkan mereka bertiga begitu saja. Meninggalkan Mama yang tersenyum senang, Laras yang nampak sebal, dan Jaka, dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sementara itu, Jaka masih berpura-pura baru datang.

"Ma, udah ketemu?"

Mama menoleh, "Udah, tadi ada yang anterin. Kamu kemana sih?"

Jaka terkekeh pelan. "Abis muterin jalan. Syukur deh kalo ada."

***

1.871 words.

Tbc.

Krisar bole kaliiii

xoxo,

:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro