III - IT GIRL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salah satu kawan petani Mbok Randa menemui beliau dengan senyum sumringah. Menanyakan sesuatu perihal putranya.

"Mbok Randa, mengapa sampai saat ini Jaka Tarub belum juga menikah?"

Mbok Randa hanya tersenyum bijak lalu memusatkan perhatian ke orang di depannya. "Belum ada calonnya. Mungkin memang belum jodoh."

"Kalau saya berniat menjodohkan anak saya Laraswati dengan Jaka Tarub, apakah Mbok Randa bersedia?"

Mbok Randa terlihat terkejut tapi juga bahagia di saat yang sama. Namun rasa bahagia itu luntur seketika saat ia mengingat kembali putranya yang lebih memiliki hak untuk menerima atau tidak perjodohan ini. "Saya setuju, tapi belum tentu Jaka Tarub setuju. Jadi nanti saya bicarakan kepada Jaka Tarub. Dia lebih berhak."

Lelaki tua itu tersenyum, meski agak kecewa. "Baiklah. Kalau Jaka Tarub menerima, Mbok tinggal kabari. Saya bisa bawa Laras kesana untuk bertemu Jaka."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Pak Wijaya, mohon maaf, saya mau bertanya sesuatu nih."

Dua orang pria tengah berbincang di ruang meeting mengenai projek baru mereka nanti. Pak Wijaya-yang tadi disebut namanya-berencana untuk membuka cabang restoran miliknya di dalam salah satu mall ternama milik rekan bisnisnya. Sebelumnya, mereka pernah bertemu pada acara seminar pengusaha untuk sekedar berbincang ringan. Lalu, obrolan biasa waktu itu berlanjut ke tahap kerja sama seperti ini.

Obrolan sesekali diselingi candaan yang terdengar tidak serius. Sebelum tiba-tiba salah satu dari mereka memulai topik lain dengan nada bicara sungguh-sungguh.

"Oh, mau tanya apa, Pak?"

"Ehm-gini, Pak. Saya punya satu anak perempuan dari dua bersaudara. Saya dengar bapak juga punya anak laki-laki ya?"

Pak Wijaya-Papa Jaka, seperti mengerti akan dibawa kemana percakapan ini.

"Iya betul, haha. Kenapa ya?"

Dengan hati-hati, si rekan bisnis berucap. Tak ingin salah bicara rupanya. Takut-takut menyinggung perasaan pria tua di hadapannya. "Saya sebenarnya berniat mengenalkan anak saya, namanya Laraswati Alexa, ke anak bapak. Kalau sudah kenal kan, lumayan Pak. Kita bisa sering-sering bekerja sama. Hahaha."

Tak dapat dipungkiri hati kecil pria di depannya bersorak riang. Setelah sekian lama, ada juga yang bersedia jika anaknya dikenalkan dengan Jaka. Karena sungguh, setahu beliau, Jaka paling sulit jatuh cinta. Sikapnya yang dingin dan perilakunya yang sembarangan membuat Papa berasumsi bahwa tidak mungkin ada wanita normal yang mau menerima anaknya yang seperti ini. Ayahnya hanya ingin melihat anaknya barang sekali mengenalkan seorang gadis kedepan dirinya dan istrinya.

Padahal sebenarnya Jaka orang yang sangat hangat kalau sudah kenal dekat. Sayangnya, kebanyakan dari perempuan itu sendiri benar-benar ada yang menjauh, padahal baru ditampakkan sifat dinginnya saja. Kalau tahu sehangat apa seorang Jaka, mungkin bisa jatuh cinta.

"Laras, ya. Berapa usianya kalau saya boleh tau?"

"Laras delapan belas tahun, Pak. Anak bapak?"

"Namanya Jaka Tarub Samudera. Dia sudah sembilan belas tahun, Pak."

"Oh, berarti sekali-sekali bisa kita adakan pertemuan? Sekalian mengenalkan Laras dan Jaka. Laras ini anaknya susah dekat sama laki-laki menurut saya, hahaha."

Pria di hadapannya hanya tertawa pelan. Terlalu cepat sebenarnya. Tapi menurutnya tak apa juga. Siapa tau Laras dan Jaka bisa cocok bersama karena sifat mereka yang serupa?

"Boleh boleh. Kapan anda bisa?"

"Bapak kapan bisa?"

"Besok saya lagi gak ada jadwal meeting, gimana kalau besok?"

***

Jaka memarkirkan motor besarnya yang berwarna putih di halaman rumah. Lalu turun sambil menarik tas kecilnya santai diikuti Evan dibelakangnya.

"Tungguin sih, cepet amat lo jalan."

"Lo yang lama, boy."

Begitu memasuki rumah, ia disuguhkan dengan pemandangan ruang tamunya penuh dengan berbagai macam camilan. Entah itu camilan tradisional maupun kue kering.

"Loh? Mau ada apaan?" Jaka berteriak asal hingga penjuru rumah. Mama datang dari arah dapur sambil membawakan lagi beberapa kue kering untuk di tata diatas meja.

"Ada tamu nanti."

Jaka merebahkan tubuhnya keatas sofa, sementara Evan yang melihat kedatangan Mama Jaka segera menyalimi beliau dengan hormat dan melemparkan senyum jenaka yang tampak lucu.

Tumben-tumbenan orang tuanya menyuruhnya pulang cepat begini. Biasanya Jaka kuliah pagi baru pulang pukul tujuh malam juga tak ada masalah.

"Duduk sini. Kaku amat, boy." Jaka menepuk-nepuk sofa sebelahnya yang kosong. Mengisyaratkan agar Evan segera menduduki bagian itu.

Tiba-tiba, Papa keluar kamar dengan wajah bahagia. Oh, Jaka baru sadar, kenapa pula Papa bisa tiba-tiba ada disini?

"Loh? Papa gak kerja?"

"Ya enggak. Mau ada temen Papa dateng nanti. Oh, makasih yo, nak Evan udah mau bawa Jaka kesini."

Evan yang sedari tadi asyik mengambil beberapa camilan di hadapannya hanya menoleh sambil tersenyum. Menganggukkan kepala tanda setuju.

Ternyata kehadirannya dianggap juga.

"Siapa, Pa?"

Papa hanya mengulas senyum. "Nanti juga kamu tau. Bersih-bersih sana, abis itu bantuin Mama siapin makanan. Evan juga boleh ikut kalau mau."

***

Dua orang tua tengah berbincang serius di ruang tamu. Tampaknya menunggu kedatangan seseorang yang tak kunjung tiba. Salah satu dari mereka menyeruput teh hangat miliknya dan sesekali menanggapi pembicaraan dari sang istri yang tengah berlangsung.

"Kalo Jaka gak suka, gimana, Pa?"

"Coba dulu, Ma. Belum tau hasilnya kalau Jaka sendiri belum liat."

"Mama cuma takut, dia malah marah. Tau sendiri anak kita itu kalau punya pendirian ya maunya dia, gampang tersinggung lagi."

Papa Jaka menaruh teh hangat yang sedari tadi berada di tangannya. Kemudian menatap wanita-yang meskipun sudah berumur-cantik di depan matanya. "Jaka kan, penurut kalau sama kita. Lagian, rekan bisnis Papa yang kali ini lebih sukses. Lumayan kan kalau mereka bisa sampai menikah? Perusahaan Papa sama dia bisa jadi satu. Bisa sukses kayak dia kita."

Mama menggeleng keheranan. "Pa, nanti kan yang jalanin anaknya. Bukan Papa. Yang ngerasain bahagia, ya, Jaka. Bisa kita santai, kita enak, tapi kalau ternyata Jaka gak suka, gimana?"

"Mama kan belum liat. Belum tau juga hasilnya." Papa melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di wajahnya. Mengucek kedua matanya perlahan, kemudian kembali menatap Mama.

Mama sendiri memijat pelipisnya keras-keras. Terkadang memang kedua anak adam dan hawa-yang beranjak tua-ini sulit untuk sependapat masalah anak mereka. Contohnya dulu, masalah kota tinggal demi sekolah Jaka, lalu jurusan kuliah Jaka."Aduh, Papa baru ketemu beberapa kali aja udah bisa naruh kepercayaan gitu aja. Heran."

"Gak apa-apa, Ma. Kalau beruntung kan-"

"Pokoknya kalau sampai Jaka gak suka, Papa gak boleh maksa! Jaka udah cukup nurutin kita, ya. Sekarang dia udah gede, udah tau mana yang baik buat dia. Apalagi soal perjodohan ini, dia lebih berhak. Ya, Pa?"

Papa menghembuskan napasnya pelan. Memang mau seberapa kuatpun pendirian Papa, jika yang membantah adalah Mama, Papa hanya bisa menurut. "Iya, Ma. Jakanya mana?"

Mama menangguk senang atas kemenangannya.

Tak lama berselang, Jaka turun dari kamarnya. Mengenakan sweater merah maroon dan celana jeans. Tak lupa parfum beraroma musky mint melekat kuat di tubuhnya. Rambut berantakan yang justru menambah kesan kece dan menyenangkan. Membuat kedua orang tuanya berdecak kagum saat melihat gaya anak mereka berpakaian.

"Aduh, mau malem mingguan sama siapa nih mas nya?" Mama datang menghampiri anak mereka satu-satunya. Mengacak-acak surai cokelat anaknya gemas.

"Siapa yang nyuruh Jaka rapih gini?"

Mama terkekeh pelan-karena beliau yang memerintah Jaka berpakaian seperti itu. "Kamu cakep deh kalo gini. Kayak Papa muda dulu."

Papa yang mendengar malah tertawa lebih keras. "Papa lebih ganteng dari Jaka, tau. Badan Papa dulu kekar. Gak kayak kamu."

"Apaan? Papa dulu gemuk gitu. Masih syukur Mama suka."

"Eh, sembarangan. Kerenan Papa kemana-mana. Coba kamu kasih liat temen-temen cewek kamu foto Papa. Berani taruhan pasti mereka lebih kagum sama Papa."

"Enggak yeee! Jaka lebih cakep."

"Papa-"

Tok!Tok!

"Permisi, selamat malam."

Perhatian seketika teralih ke arah pintu. Ketukan yang cukup nyaring membuat tiga manusia di ruangan itu saling pandang sebentar. Akhirnya dengan niat kuat, Papa membuka pintu sambil memasang senyum ramah. Berlagak sudah tahu siapa yang akan bertamu.

"Pak Surya? Silakan masuk Pak."

"Terimakasih, Pak. Maaf kalau mengganggu malam-malam begini."

"Oh, santai saja, Pak. Kita memang sudah menunggu kedatangan Pak Surya dan-Laras dari tadi."

Laras?

Jaka diam saja. Memperhatikan siapa yang baru saja bertamu di rumahnya. Seorang pria tua namun tampak berwibawa. Setelan jas hitam dengan kemeja biru dongker sebagai dalaman, celana bahan hitam dan sepatu pantofel yang berkilat. Sepertinya teman Papa. Tapi mau apa kesini? Segala membawa gadis muda dengan balutan dress hitam polos selutut dan dandanan yang menurut Jaka terlalu menor.

Wajahnya memang terbilang cantik. Mungkin. Entahlah, Jaka sendiri sudah tidak tau harus menyebutnya cantik atau norak. Riasan yang menempel di wajah si gadis terlalu tua untuknya, terlalu berlebihan.

Loh, bentar. Sejak kapan gue jadi merhatiin orang banget?

"Duduk, Pak. Nanti biar istri saya yang menyiapkan minuman." Begitu Papa menyuruh kedua tamunya duduk, Mama dengan sigap pergi ke dapur, membuat minuman untuk menjamu tamu spesial mereka.

Pak Surya-begitu disebutnya-mendudukan diri di sofa yang sama dengan anaknya. Sementara Jaka masih memperhatikan dari tangga, lupa akan tata karma begitu saja.

"Sebentar, saya mau panggil Jaka dulu." Pamit Papa kepada Pak Surya. Ekor mata lelaki tua itu langsung mengarah ke tangga dekat perbatasan dapur dan ruang tamu. Beliau menghampiri anaknya saat itu juga.

Tak lama, karena Jaka sudah dari tadi sadar bahwa dirinya ditunggu. Ia mengikuti langkah Sang Ayah. Berakhir duduk berhadapan dengan rekan bisnis Papa dan anak gadisnya.

"Ini, Jaka. Yang saya bilang kemarin."

Jaka menyalami Pak Surya. Tapi, begitu gadis muda disebelahnya mengulurkan tangan, Jaka cepat-cepat menarik tangannya dan duduk sambil melipat lengan di dada.

"Jak!"

"Apa sih, Pa?"

"Sopan sedikit."

Bisik-bisik diantara keduanya mungkin membuat gadis di depan mereka tidak nyaman. Ia tersenyum kecut, berusaha sesopan mungkin melerai pertengkaran kedua anak dan ayah itu.

"Gak apa-apa, Om. Hehe, maaf ya aku udah lancang."

Papa segera mengalihkan perhatiannya kearah gadis yang barusan ditolak secara halus oleh Jaka. Lalu berusaha tersenyum sebisa mungkin. "Maafin Jaka, ya. Anaknya emang suka gak sopan gini."

Gadis itu hanya mengangguk patuh.

"Jaka, ini Laras. Anak Om. Om harap kalian bisa kenal, ya. Kata Papa kamu, kamu susah deket sama cewek ya?"

Jaka hanya berdeham malas. Terlalu ingin tau. Begitu menurutnya.

"Iya. Kenapa, Om?" -Kata siapa? Gue supel gini.

"Laras juga gitu. Nah, dengan kalian ketemu kayak gini, Om pengen kalian bisa temenan lah seenggaknya."

Laras tersenyum manis. Rupanya gadis ini bisa langsung jatuh pada pesona Jaka begitu saja.

Tapi, lain Laras, lain pula Jaka.

Kedatangan gadis itu dan ayahnya, serta pertemuan mereka yang seperti ini malah menciptakan kesan skenario perjodohan antara dua anak pengusaha diantara mereka. Jaka tidak suka itu. Jika benar, tentu Jaka akan menolak.

Ia sempat teringat akan mimpinya tadi siang, di kantin kampus. Gadis yang ditemui dalam mimpinya...bukan Laras, kan?

Gadis di dalam mimpinya terlalu lugu. Kalau mungkin itu isyarat ia akan bertemu seorang gadis manis, Jaka berharap bukan Laras orangnya. Karena jujur, Laras memang cantik, tapi tak terlihat lugu dan manis seperti gadis di dalam mimpinya. Senyum gadis itu manis. Jaka suka.

***

1.717 words.

Tbc.

Thankyooous for voting!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro