XI - THE TRUTH UNTOLD

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima kasih karena sudah hadir sebagai pelengkap hidupku, dewi." –Jaka Tarub

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Jadi, yang kemarin itu bohong? Kalian memang ada hubungan, tapi baru?"

Jaka menjelaskan semuanya kepada kedua orangtuanya. Semuanya. Jelas Mama dan Papa nampak sangat kecewa. Tapi sekali lagi, Papa tak ingin mengambil langkah tergesa. Ia juga tahu, alasan anaknya berbohong juga karena dirinya. Memaksakan kehendak dari awal.

"Jaka, Wulan itu baik. Kamu salah udah bohongin perempuan kayak dia. Mama sayang sama dia." Mama berucap halus sambil sesekali menyamankan posisi tangannya yang masih dalam masa pengobatan.

Jaka semakin menyesal, hatinya terus meronta, menyuruh tubuhnya bangkit dan cepat mengejar Wulan sebelum terlambat.

Papa menepuk pundak anak satu-satunya itu dengan raut yang tak dapat dijelaskan. "Papa betul-betul minta maaf, Jaka. Kalo dari awal Papa gak maksa kamu, gak bakal kayak gini. Kalian juga gak perlu repot-repot kenal cuma untuk—"

"Enggak. Jaka berterima kasih sama Papa, karena itu Jaka bisa kenal Wulan. Tapi sekarang..."

"Jaka, kamu laki-laki, harus kuat. Menyesali dan nangis disini gak akan membantu menyembuhkan rasa bersalah kamu. Kamu harus berbuat sesuatu, sebelum semuanya makin jauh."

Jaka langsung melesat ke kamar tamu, kamar Wulan. Mencari barang yang mungkin tertinggal—benar saja. Kamera polaroid dan sebuah boneka hadiah ulang tahunnya. Jaka pergi ke kamarnya, lalu melesat masuk kembali ke kamar Wulan. Menuliskan sesuatu, dan mengucapkan beberapa kata ke arah boneka beruangnya.

***

"Kalajengking punya anak dengan cara apa?"

"Bertelur?"

"Salah."

"Melahirkan?"

"Salah."

"Terus apa?"

"Dengan menikahi kalajengqueen! Hehe. Ih kok cemberut? Ketawa dong, gue udah usaha buat menghibur cintaku ini."

"Budak cinta, pengemis cinta. Cinta cinta mulu yang dipikirin, emang kenyang makan cinta?"

Wulan menangis terisak di dalam taksi. Mengingat candaan terakhir yang dilontarkan Jaka. Saat itu adalah saat terakhir Wulan melihat seorang pangeran es membujuk bidadarinya agar tak lagi marah hanya karena kecipratan lumpur sehabis hujan. Bahkan saat itu Jaka tampak lebih kuat, padahal waktu itu adalah waktu dimana mereka pulang sehabis menjenguk Mama yang masih koma di rumah sakit. Memang garing, tapi usahanya membuat Wulan kagum.

"Kebahagiaan gue? Kayanya kalo pas liat lo ketawa, sampe mata lo sipit-sipit gitu, hehe!"

"Tukang ngalus!"

Lagi. Betul, sudah terlalu banyak kenangan yang tercipta. Semua yang mereka ukir sendiri, dalam label skenario. Tanpa sadar bahwa keduanya bukan hanya jatuh cinta, tapi sudah cukup terikat.

Akhirnya Wulan sampai di suatu tempat. Sebuah motel super sederhana dengan harga yang murah, hanya sebagai atap tidur semalaman. Esok ia akan pulang dan tak berniat kembali lagi. Karena kembali kesini sama saja seperti mengulang hal paling buruk yang pernah terjadi di dalam hidupnya.

Pupus sudah memberikan kesan indah untuk Jaka di hari terakhirnya sebelum ia kembali ke rumah yang sebenarnya.

***

Matanya dengan was-was mengedar pandang ke setiap sudut kota. Mencari sosok dengan koper kecil barangkali tengah berjalan dibawah remangnya lampu jalanan. Jaka mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, walau agak berhati-hati karena takut kotak merah yang diikat di jok belakangnya terjatuh.

Dari keramaian yang bising hingga berganti desauan angin tengah malam, tak juga Jaka melihat Wulan berkeliaran di daerahnya. Tapi logikanya berkata, tak mungkin Wulan keluar dari kota ini. Mengingat ia masih asing disini.

Satu-satunya yang dapat Jaka lakukan hanya pergi ke bandara. Menurut info dari Mama, Wulan akan pulang dalam waktu dekat. Jaka tak perduli jika harus menginap hingga tujuh malam di bandara. Ia harus bertemu Wulan. Menyampaikan banyak hal yang belum sempat terucapkan. Sebuah kejujuran yang belum dapat dikatakan.

***

Di bawah semburat oranye langit sore, Wulan dengan hati kosong melangkah masuk ke dalam bandara. Baru saja ingin check-in, mendadak ia merasa ingin buang air. Wulan bergegas untuk mencari toilet terdekat sambil masih membawa koper dan menenteng tas putihnya. Kemudian diletakkannya koper dan tas putih di tempat penitipan barang depan toilet umum.

Di sisi lain, Jaka terbangun karena pemberitahuan jadwal keberangkatan sore ini terdengar memekakan telinga. Ia mengerjap perlahan, baru sadar sekarang ia masih di bandara. Jaka bangkit sambil masih memegangi kotak merah di tangannya. Mencari-cari apakah ada jadwal keberangkatan ke Singapura sore ini.

"Jam lima sore. Oh, pesawat garuda nih."

Laki-laki itu sempat ingin berpindah tempat, menunggu Wulan yang entah akan datang atau tidak di dekat Garuda Lounge. Namun rasa itu urung ketika matanya sempat menangkap seorang gadis tengah menitipkan sesuatu di tempat penitipan samping toilet.

Jaka bergegas menuju tempat penitipan barang, bidadarinya kini ada di depan matanya!

"Mbak...maaf itu tadi tas tenteng punya cewek barusan ya?"

Yang dipanggil mengangguk. "Ada yang bisa saya bantu, mas?"

Jaka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya setengah tidak yakin, tapi demi cintanya, Jaka harus melakukan ini.

"Mbak, maaf saya pacarnya. Tapi saya abis ini mau ada acara, jadi boleh minta tolong masukin kotak ini kedalem tasnya? Ini isinya boneka, kamera, sama surat kok, bukan yang macem-macem." Lalu Jaka berusaha bernapas normal setelahnya. Entahlah, jantungnya merasa terpacu. Takut kalau Wulan tiba-tiba keluar dan langsung salah paham.

Untuk sesaat, wanita di hadapannya sempat terpaku menatap wajah sempurna ciptaan Tuhan itu. Sadaar dirinya menjadi daya tarik, Jaka menjentikkan jari di depan mata wanita itu. Ia tersadar, lalu terkekeh dan mengambil kotak tersebut, segera memasukkannya kedalam tas tenteng Wulan.

Jaka langsung pulang? Tentu tidak. Ia kembali ke Garuda Lounge, sengaja menunggu Wulan disitu.

Lima belas menit berlalu, dari balik topinya, Jaka memperhatikan setiap manusia yang keluar dari toilet, itu Wulan!

Perempuan itu melangkah terburu-buru untuk check-in. Waktu tersisa setengah jam lagi. Setelah menyelesaikan prosedur check-in, Wulan dengan tenang menuju kursi tunggu di lounge yang sama dengan Jaka. Wulan tidak sadar, sama sekali tidak.

Gadis itu berjalan gontai, menatap lantai dibawahnya. Tidak, apakah ia salah karena pergi dari sini? Tidak, kan? Bukan seperti ini yang Wulan harapkan, bukan pulang dengan membawa masalah yang tak akan pernah selesai.

"Wulan..."

Seseorang berdiri menghalangi jalannya. Wulan mendongak, dan terkejut saat mendapati Jaka di depan matanya. "Mau apa lagi? Aku mau pulang."

Jaka menatap Wulan dengan tatapan bersalah, matanya menyorotkan kesedihan dan penyesalan. Hanya itu. Sementara Wulan...masih cinta. Tapi kebohongan Jaka, mengubur rasa cintanya dalam-dalam. Rasanya mati. Padahal tadinya, alasan Wulan bertahan disini selama ini hanya Jaka. Tapi sekarang, hilang.

Jaka reflek menggapai kedua tangan Wulan, mengelus jari-jari itu lembut. Dibawah sinar senja kaca bandara, matahari setengah lingkar menjadi saksi pilu mereka sore itu. Jaka dengan air muka berantakan, dan Wulan dengan tangis serta napas yang tertahan. "Wulan...maaf. Maaf kalo selama ini, gue bohong sama lo. Gue udah jatuh sama lo dari pertama kali kita ketemu. Bukan cuma pengen, tapi gue butuh sama lo. Butuh lo ada disini."

Wulan mengatur napasnya, berusaha agar air di pelupuk matanya tak jatuh saat itu. "Aku mau pulang."

"Lo udah janji buat disini sama gue, kan? Tolong..."

"Jangan egois lagi. Sejak awal aku gak pernah cinta, bahkan gak pernah suka sama kamu, aku benci. Kamu yang bikin ini semua makin rumit, pake melibatkan perasaan segala. Jangan ngarang, aku gak pernah janji kayak gitu."

Bohong jika Wulan membencinya. Bohong kalau ia tak pernah jatuh cinta kepada pemuda di hadapannya. Bohong kalau dia tak pernah berjanji, karena nyatanya ia juga melibatkan perasaan di dalamnya.

"Wulan...kamu mau nampar aku, bebas. Mau maki aku sepuasmu, gak masalah, tapi tolong jangan pergi."

PLAK!

Jaka terdiam untuk beberapa saat. Wulannya, benar-benar menamparnya tanpa aba-aba. Pipinya memerah, panas. Bersamaan dengan air mata yang mengalir dari pelupuk mata—  Wulan. Gadis itu menangis, karenanya.

Cara bicaranya berubah, seketika melembut. "Sini, nangis disini. Maafin Jaka, Jaka bodoh, pembohong, bikin Wulan nangis." Jaka memeluknya hangat, mendekapnya sayang. Pertahanan gadis itu runtuh saat itu juga. Wulan menangis makin keras, air matanya membasahi jaket yang dikenakan Jaka. Aroma vanila manis dan musky mint pekat saling merekah di udara. Jaka mengelus punggung gadis yang lebih muda. Ikut menangis, dalam diam.

Syukur orang-orang disana memang mewajarkan perpisahan di bandara. Keluarga mereka, sahabat mereka, atau cinta mereka, akan lepas landas dan kembali dalam waktu lama.

"Terima kasih karena mau jadi pelengkap hidup seorang yang bodoh ini. Maaf kalo ternyata aku jatuh pada perasaan yang salah dengan cara yang salah. Terima kasih karena telah mau menjadi yang pertama singgah lalu menetap. Terima kasih karena telah berusaha mengucap cinta dan menerima, walau nyatanya tidak benar menerima. Wulan adalah yang pertama—juga terakhir. Jaka Tarub, mencintai Nawang Wulan, bidadarinya."

***

1.328 words.

Tbc.

Lah, mellow gini:(

xoxo, :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro