10. Writing: Character Design (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Requested by relialys 

Note: Pembahasan ini hanya berdasarkan experience saya sendiri, maka kalian tidak harus setuju dengan semua hal di sini. Mungkin akan ada curhatan terbelusung juga. Jika menginginkan yang lebih umum atau akurat, kalian bisa ke google atau tips kepenulisan lain yg lebih waras di wattpad ada banyak :v

:.:.:

Sorry. Saya terlewat satu pembahasan lagi dalam mendesain karakter di bab kemarin karena keasikan. Like I said, saya masih amatir dalam memberi ilmu faedah macam ini. Saya terbiasa bertingkah nirfaedah.

Di bab sebelumnya, ada tiga perkara yang mesti diperhatikan dalam membuat karakter.

Apa itu Anak-anak?

//benerin kacamata

//lempar kapur ke sembarang anak

//gebrak papan tulis


Ada penampilan luar, bagian dalam, dan identitas. //tanya sendiri, jawab sendiri

Sekarang, poin keempat yang mestinya penting dalam penulisan sebuah fiksi:


.

.

.

.

.

4. STATUS

"Oh, jomblo atau single gitu ya, Jazz?"

"Wah, karakterku statusnya taken, enggak jomblo, pacarnya enam dong."

"Karakterku udah married dong. Udah dapat cap halal dari MUI."

...

....

.....

......


Esmeralda, membungkuklah ke depan lubang WC dan muntahkan pola pikir kebucinan nan meracunimu itu.

Status karakter di sini berkaitan dengan statusnya di sebuah cerita fiksi.

PROTAGONIS VS ANTAGONIS

Apakah harus ada perbedaan jelas antara protagonis dan antagonis? Harus hitam dan putih? Si Prota begitu suci bak malaikat, dan si Anta bobrok bin belangsak—harus gitu??

Jawaban saya:

Lihat target pembaca.

Saat kalian menyediakan bacaan untuk bocah unch-unch, anak-anak yang baru mengenal dunia fiksi bersamaan dengan 1+1=2 dan ejaan "Budi pergi ke pasar", maka berilah batasan antara baik dan jahat sejelas mungkin.

"Heh, gabisa gitu dong, Jazz. Pembaca harus kritis! Jangan dikasih bacaan yang enggak sehat! Manusia itu enggak ada yang hitam atau putih! Harus begini dan begono, enggak boleh begana!"

"Masa kita ngajarin si Antagonis harus tersiksa paling buruk di ending dan si Protagonis paling bahagia? Kan ada masa lalu kelam yang bikin si Antagonis begini!"

Lihat kognitif pembacamu, Pablo. Bocah yang baru mengenal dunia kejahatan sebatas dorong-dorongan di atas prosotan, mau kamu racuni dengan dunia kelam abu-abu orang dewasa?

Mungkin ada cerita anak yang, begitu kita tumbuh dewasa, baru kita sadari ceritanya gelap na'udzubillah. Seperti Tudung Merah yang dimakan Serigala, Hansel dan Gretel yang akan dipanggang Nenek Sihir, atau kasus KDRT Cinderella. Tapi mereka punya satu kesamaan: protagonis dan antagonis punya batasan jelas. Karena di umur anak-anak, memang sudah targetnya untuk mengetahui apa yang boleh dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tujuannya adalah menyampaikan pesan ini: Jika mereka baik, hal baik pula yang akan datang. Jika mereka jahat, maka ganjarannya pun buruk.

Lantaran di sini otak kita semua masih tahap berflower, tentu enggak bisa disamakan target pembacanya dengan yang di luar. Bukan menghina negara sendiri, tapi hal ini memang nyata adanya. Percy Jackson saja, yang target pembacanya adalah 9 sampai 12 tahun di luar sana, begitu masuk ke tempat kita dibaca oleh remaja-dewasa kisaran 15-25 tahun. Cuma segelintir dan segelintirnya segelintir anak saja yang sudah baca Percy Jackson sejak umur 9 tahun.

Beberapa waktu lalu saya terlibat debat seru sama salah satu kenalan yang bersikeras bahwa anak-anak di sini harus sudah dikenalkan dengan tokoh abu-abu yang tidak punya batasan jelas antara hitam dan putihnya. Dia ingin anak Indonesia kritis, katanya. Enggak boleh dibodoh-bodohi cerita ala sinetron yang si Prota kelewatan baik dan si Anta kelewatan jahat, katanya

Masalahnya, memang belum waktunya.

Masalahnya, kok kita mau menjejali anak-anak dengan bacaan kritis, tapi malah protes dan nyebar meme tentang bocah yang udah dapat smartphone sejak SD?

Intinya, jangan menyuapi anakmu dengan sesuatu yang masih belum bisa ditelannya.

Contoh tegasnya batasan antara protagonis dan antagonis:

Si Protag akan dianiaya oleh Antag, tetapi Protag tetap tersenyum dan berbaik hati kepada Antag. Antag kian menjadi, tetapi Protag tak jemu-jemu menyebarkan kebaikan. Suatu hari, si Antag menyebrang jalan dan semesta turun tangan dalam bentuk seorang supir yang tengah mengemudikan Tayo, menabrak Antag sampai menggelundung di jalan. Tak berhenti sampai sana, mayat si Antag yang akan dikuburkan mendadak masuk pengaduk semen. Di adegan lain, si Protag sudah bahagia dengan pangeran idaman.

Pesannya jelas: selama kamu baik, nasibmu suatu saat akan membaik. Jika kamu jahat, nasibmu akan jadi buruk. That's for children literature, di mana si Tudung Merah secara ajaib diselamatkan oleh seorang pemburu yang membelah perut serigala.

"Wah berarti kamu mau bilang kalau sinetron yang protagonisnya kelewat suci dan antagonisnya kelewat iblis itu fiksi anak-anak, ya, Jazz?"

Iya. Target penikmatnya anak-anak. There, I said it.

Oke, saya mulai nge-rant. Tampar saya, Manteman

Begitu kita memasuki dunia remaja, batasan antara protagonis dan antagonis ini mulai mengabur. Belum sungguh abu-abu, tapi batasannya mulai dibikin tidak jelas antara protagonis dan antagonis. Di fiksi remaja, perihal protagonis dan antagonis bukan lagi menyangkut si Baik dan si Jahat, melainkan kepada siapa pembaca harus berpihak.

Katakanlah bacaan berikut untuk anak 11-14 tahun.

Si Protag naksir Ketua OSIS, lalu muncullah seorang tokoh yang juga naksir Ketua OSIS dan melakukan apa pun untuk menghalangi jalan si Protag menuju pangerannya. Secara otomatis, pembaca akan berpihak pada si Protag, dan menganggap tokoh yang menghalangi jalannya itu adalah si Antag.

Apa yang dilakukan si Antag belum tergolong kejahatan berat, dan bisa saja si Protag ikut bermain kotor untuk mendapatkan Ketua OSIS, tetapi pada akhirnya pembaca akan berpihak pada Protag.

.:.

Masalahnya jadi berbeda jika target pembaca kita naikkan lagi. Katakanlah untuk anak 15 ke atas.

Batasannya mulai mengabur. Si Antagonis punya background, masa lalu yang membangunnya dan membuatnya berlaku jahat. Protagonis pun memiliki kualitas yang tidak sepenuhnya bagus, sifat-sifat yang tidak seharusnya ditiru.

Namun, dengan ketidakjelasan sifat baik-buruk ini, intinya tetap sama: protagonis hendak mencapai sesuatu, dan antagonis menghalanginya. Di Indigenous, saya hampir enggak punya antagonis. Kalau pun ada (Abu, misal, yang hampir antagonis), pengaruh mereka kurang besar. Beda sama di RavAges, yang antagonisnya berjibun.

Saat target pembacamu remaja dewasa atau dewasa, pembaca memang diharuskan menangkap pesan bahwa seseorang tidak langsung menjadi jahat atau baik saat meluncur keluar dari rahim ibunya. Mereka dibentuk—oleh lingkungan, masa lalu, dan tokoh lain.

Bersamaan dengan ini, muncul status lain:

Deuteragonis, tritagonis, mentor, narator (narator juga merupakan protagonis jika cerita ditulis dalam sudut pandang orang pertama)

Nah, apakah di buku anak-anak tidak ada deuteragonis dan lain-lainnya? Ada kok, tetapi mereka tidak kebagian lampu sorot karena fokus cerita ada pada protagonis dan antagonis. Setelah target pembaca naik, tokoh dengan status lainnya mulai mendapat lampus sorotnya masing-masing agar pembaca mampu menghargai tokoh lain dalam status apa pun, meski hanya sidekick sekali pun.

-Apa itu deuteragonis?

Deuteragonis itu bisa jadi sidekick, atau love interest-nya si protagonis, atau pengagum rahasianya, atau malah jadi musuhnya (walau bukan antagonis). Deuteragonis bisa punya konflik sendiri sebagai sub-plot yang akan memberi pengaruh pada protagonisnya.

Misal: Ron dan Hermione dalam Harry Potter, Buzz Lightyear di Toy Story, Eleven di Stranger Things, Grover dan Annabeth di Percy Jackson and the Olympian, Banyu Biru dan Abu di Indigenous, Alatas-Truck-Erion di RavAges.

-Apa itu tritagonis?

Tritagonis berada satu level di bawah deuteragonis, tetapi bukan berarti mereka kurang penting. Kadang mereka bisa memiliki konflik sendiri sebagai sub-plot yang akan mempengaruhi atau tidak mempengaruhi protagonis. Contoh yang paling saya sukai adalah Neville Longbottom dalam Harry Potter. Neville adalah salah satu contoh tokoh paling menarik untuk dieksplor meski dia bukan protagonis—hidupnya malah bisa dibilang lebih ngenes daripada Harry sendiri, dan kita baru tahu latar belakangnya yang unik itu di buku keempat, Goblet of Fire.

Contoh tritagonis: Jessie dan Andy di Toy Story, dewa-dewi olympia dan Tyson di Percy Jackson, Magenta di Indigenous, Ryan dan teman-teman Leila di Komplek 44 di RavAges.

-Apa itu mentor?

Mentor adalah semacam pemandu, yang memberi pelajaran-pelajaran dan membimbing protagonis. Biasanya mereka digambarkan bijak, memberi semacam pencerahan dan membuat plot cerita stay di konflik utama.

Contoh: Albus Dumbledore di Harry Potter, Chiron di Percy Jackson, Mr. Brunner di The Edge of Seventeen, Gandalf di The Lord of the Rings, Azura di Indigenous, Aga Morris di RavAges.

-Apa itu narator?

Yang membawakan cerita. Yang punya sudut pandang. Bisa jadi si protagonis, atau bisa jadi penulis sendiri.

Apakah narator harus punya keterlibatan?

Bisa ya, bisa tidak.

Narator paling unik sejauh ini bagi saya pribadi ada di buku The Book Thief.

.:.

Apa lagi?

Kalau mau lebih pusing lagi, akan ada istilah antihero, atau hero yang kurang memiliki kualitas hero. Antihero bisa datang dari protagonis mau pun antagonis, atau deuteragonis dan gonis-gonis lainnya.

Pembuatan antihero ini bisa dibilang kompleks. Penulis harus membawakan seorang karakter sebagaimana adanya manusia, dengan hal-hal buruk yang lumrahnya ada pada antagonis, dan memanusiakannya melalui plot agar tetap disukai pembaca. Atau, dalam tahap tertentu, membuat pembaca bingung apakah mereka harus membenci atau menyukai si antihero.

Truck dan Leila adalah antihero di RavAges. Contoh antihero lain bisa kalian temukan bejibun di Suicide Squad.

Antihero favorit saya sejauh ini adalah Severus Snape. Always.

:.:.:

Nah, semenarik apa pun tokoh tambahan, jangan sampai karakter-karakter berstatus deuteragonis dan figuran malah lebih stand out daripada protagonis dan antagonisnya sendiri.

Bagaimana mendesain protagonis dan antagonis agar lebih stand out? Karena, in the end, mereka berstatus protagonis dan antagonis memang untuk mendapat lampu sorot utama.

Jawabannya adalah jatah kemunculan dan peran yang dimainkan dalam konflik utama. Dengan jatah muncul lebih banyak, otomatis tiga perkara yang kita bahas di bab sebelumnya (penampilan luar, bagian dalam, dan identitas) bisa lebih tereksplor. Lebih diingat oleh pembaca. Dan, dengan membuat kehidupan si protagonis dan antagonis berputar di sekitar konflik utama, pembaca akan lebih fokus kepada mereka.


Silakan jika ada yang ingin ditanya, disanggah, atau ditambahkan. Komen saja '-')/


E-Jazzy, 13 April 2019
Sedang diteror apdet oleh RavAges dan Indigenous

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro