4. Kangen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kalau begitu saya permisi.”

Fatur mengangguk dan tersenyum. Clientnya menjabat tangan Fatur dan juga Dena secara bergantian.

Setelah dirasa pergi, Fatur langsung berlalu pergi meninggalkan Dena tanpa sepatah katapun.

Dena melotot, gadis itu buru-buru merapikan berkasnya dan berlari menyusul Fatur.

Andai saja dirinya dan Fatur masih anak SMA, Dena pastikan sepatu yang saat ini ia pakai akan mendarat mulus pada kepala pria itu.

Tapi sayangnya si pria menyebalkan itu adalah bosnya sekarang. Ia tak bisa lagi gegabah seperti dulu. Jika saja ia melakukan hal seperti itu, pekerjaannya yang menjadi taruhan. “Sabar, Den. Orang sabar jodohnya Lucas cobain kuy,” gumam Dena melantur.

Gadis itu masuk ke dalam mobil milik Fatur. Fatur meliriknya, “Lama banget. Kode minta digandeng?” tanya Fatur.

“Nggak, Pak. Bapak kali yang mau digandeng sama saya,” jawab Dena asal.

Fatur tertawa, pria itu memukul stirnya beberapa kali. “Pede sekali kamu, Dena. Gandengan saya—”

“Di Amerika lebih cantik daripada kamu,” sambung Dena.

“Itu kamu tau.”

Dena memilih diam. Percuma saja ia menjawab ucapan Fatur. Bosnya itukan cerewet, tidak bisa diam.

Fatur memilih melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Pria itu sesekali melirik Dena yang terlihat memperhatikan jalanan. “Den, Mama saya nanyain kamu.”

“Hah?”

Fatur mendengkus, “Mama saya nanyain kamu. Bukan saya. Jangan geer kamu!” ujar Fatur.

“Terus?” tanya Dena.

“Dia mau ketemu. Kangen katanya. Tapi—kamu jangan geer! Bukan saya yang kangen sama kamu.”

Dena tertawa pelan, “Kirain Bapak yang kangen sama saya,” goda Dena.

“Gak ada kerjaan banget saya ngangein kamu. Balik lagi ke topik. Mama mau ketemu sama kamu, kamu bisanya kapan?” tanya Fatur.

Dena mengangkat bahunya tak tahu. “Saya sibuk, Pak.”

“So sibuk kamu.”

“Kenapa Bapak sewot? Jangan bilang, ini alesan Bapak aja yang mau lama-lama sama saya? Ngaku!”

Fatur menghentikan mobilnya. Pria itu menatap Dena kesal, “Geer banget kamu. Ngapain saya lama-lama sama kamu? Memang faedahnya apa buat saya?” tanya Fatur marah.

Dena tertawa, “Bercanda, Pak. Malem ini saya bisa kok. Hari ini kan malam minggu, berhubung saya—”

“Jomblo? Bilang aja kamu kode saya minta balikan. Maaf ya Dena, hati saya udah kekunci dan gak ada kunci serepnya.”

“Dan kamu harus inget, Mama saya ngajak ketemu karna dia kangen. Bukan berarti saya ajak kamu ke rumah sebagai calon menantunya Mama,” tekan Fatur.

Dena mengerucutkan bibirnya, “Ya udah sih, Pak. Saya juga gak pernah ngarep balikan sama Bapak. Bapaknya aja yang mikirnya kaya gitu,” ujar Dena.

***

Jam istirahat Dena memilih makan di kantin kantor bersama Anggita dan juga Fitri. Tak lama, seorang pria yang umurnya satu tahun di atas Dena duduk di samping gadis itu.

Dena tersenyum, “Den, malam minggu, nih. Jalan, yuk! Gue beliin batagor deh.” Pria itu menaik turunkan alisnya.

“Males banget. Masa iya cuman dikasih batagor. Lo niat ngajak gue jalan gak sih, Bim?" tanya Dena.

“Si Bima kan gitu. Pengennya gandeng yang cakep, tapi modalnya cuman lima rebu,” sahut Fitri.

Dena tertawa pelan, “Dena gak matre kaya lo ya, Fit. Dia mah dikasih air putih doang juga bilang makasih,” ujar Bima.

“Ya lonya yang gak tau diri, Bima,” jawab Anggita.

Bima memilih duduk di samping Dena. “Bukan gak tau diri. Ini tuh salah satu cara buat gue tes calon isteri gue. Kalau dia mau diajak jalan dikasih batagor doang, berarti dia mau nerima gue apa adanya. Kaya Dena nih contohnya,” ujar Bima.

“Siapa juga yang mau jadi isteri lo? Gue nerima batagor bukan karna mau jadi calon isteri lo, ya! Gue nerima karna gue laper.”

Anggita dan Fitri tertawa bersamaan, “Makannya jadi orang tuh jangan kepedean!” ujar Fitri.

“Malu gak tuh?” sahut Anggita.

“Ya Allah, Den. Lo gak bisa apa bohong dikit? Lo gak kasian liat gue dibully kaya gini? Jahat lo, Den,” rajuk Bima.

Dena tertawa. Gadis itu menepuk pundak Bima beberapa kali. “Ya udah, Bim gue mau jadi isteri lo.”

“Dena, ke ruangan saya sekarang.”

Dena, Fitri, Anggita, dan Bima sontak mengalihkan pandangan mereka. Di sana, Fatur berdiri dengan wajah datarnya. Tak lama setelahnya, Fatur berlalu pergi meninggalkan kantin.

Dena mengerjapkan matanya beberapa kali. “Den, lo gak ngelakuin kesalahan apa-apa, kan? Si Bos mukanya datar banget kaya jalan tol anjir,” ujar Fitri.

Dena menggeleng. Gadis itu lantas menyimpan uangnya di meja kemudian pamit pergi menyusul Fatur.

Dena berjalan dan sesekali berlari kecil. Langkahnya terhenti tepat di depan ruangan bosnya itu.

Dena memejamkan matanya sesaat. Setelahnya, gadis itu memberanikan diri membuka pintu.

“Sedeket apa kamu sama Bima?”

Dena cengo. Gadis itu menatap Fatur yang tengah berdiri di hadapannya sekarang. “Saya—”

“Pacaran?”

“Anu—”

“Terus tadi apa kata kamu? Isteri? Kamu mau menikah? Sama Bima? Yang bener aja, Den.”

Dena mengerjapkan matanya beberapa kali, “Apa sih, Pak? Saya nggak mudeng,” kata Dena.

“Oh, atau jangan-jangan ... Bapak cemburu ya? Jadi bener kata adik Bapak? Bapak belum move—”

“Jangan geer kamu! Salah kalau saya nanya soal kamu sama Bima? Kamu sama Bima itu kerja sama saya. Saya berhak tau—”

“—Ah udahlah. Gak penting.” Fatur memilih duduk di kursi kebesarannya.

Pria itu melirik Dena yang masih berdiri. “Nanti malem gak usah jadi. Mama saya gak jadi kangen sama kamu,” ujar Fatur ketus.

Dena memasang wajah bingungnya. Namun setelahnya, gadis itu menganggukan kepalanya dengan semangat. “Ya udah, Pak. Kalau gitu saya mau pergi sama Bima aja. Lumayan dapet batagor sebung—”

“Malam ini jadi! Tadi Mama saya bilang dia kangen. Pokonya malam ini kamu saya jemput. Jangan ke mana-mana, kalau kamu pergi sama Bimo, saya potong gaji kamu!” Fatur memotong ucapan Dena dengan cepat.

Dena mengerutkan keningnya. “Saya jadi curiga, Pak. Yang kangen sama saya Mamanya Bapak, atau Bapak sih? Kok bisa—”

“Mama saya! Jangan geer kamu. Nggak ada kerjaan banget saya ngangenin kamu. Maaf ya, Dena. Kamu itu bukan tipe pacar idaman buat saya,” ujar Fatur.

Dena mencibir pelan, “Gini-gini juga saya pernah jadi pacar Bapak 4 tahun. Kalau saya bukan tipe pacar idaman, terus 4 tahun kemarin itu namanya apa?” tanya Dena gemas sendiri.

“Khilaf.”

Dena diam. Gadis itu langsung berjalan menuju mejanya dan mengecek beberapa berkas.

Fatur sesekali melirik gadis itu. Mengapa Dena mendadak diam? Apa ucapan Fatur menyakiti gadis itu? Tapi, ya sudahlah. Nggak penting juga, toh, Dena pernah menyakiti Fatur lebih dari ini.

“Den ....”

“Kenapa, Pak?”

“Nggak ngetes aja.”

TBC

Hallo! Apa kabar? Btw, kayanya untuk 2 hari ke depan aku gak bakalan up dulu, ya. Karna, ada kepentingan di RL.

Ada yang ingin disampaikan untuk

Fatur

Dena

Bima

Fitri & Anggita

See u next chapter!<3

Novel DHUM masih bisa dipesan lewat penerbit ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro