Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu, di luar sana, semua orang sedang menikmati malam menjelang pergantian tahun bersama keluarga atau teman-teman. Semua orang sibuk untuk menikmati akhir tahun yang akan berganti dengan tahun baru. Berbeda dengan Fina, ia justru harus mencari tempat untuk melahirkan bayi yang sedang dikandungnya. Ini kandungan keduanya. Jika yang pertama ia rasa mudah untuk melakukan persalinan, berbeda dengan persalinannya kali ini karena dia melahirkan tanpa didampingi suami atau orang yang bertanggung jawab atas kehamilannya. Fina tertatih menuju tempat di mana ada orang yang mau membantunya untuk melakukan persalinan. Tak ada warga sekitar yang mau membantunya karena bayi yang dia kandung berasal dari perbuatan terlarang ketika ia merantau di negara orang. Fina merasa malu meminta bantuan pada orang terdekat karena dia sudah mencoreng kehormatan keluarganya dengan melakukan perbuatan haram. Bukan hanya keluarganya saja, tapi ia pun mencoreng kehormatan keluarga mendiang suaminya.

Keringat mengucur deras di kening wanita itu. Ia masih menahan rasa sakit karena kontraksi yang sedang melanda kandungannya. Kakinya pun basah karena ketuban sudah lebih dulu pecah. Di tengah gelapnya mala, Fina masih berusaha untuk mencari tempat agar dia bisa melahirkan dengan selamat. Napasnya naik turun. Fina mengusap perutnya.

Sabar, Nak. Sebentar lagi kamu akan lahir. Ibu sudah sampai di rumah Mbok Minah, lirih Fina sambil mengusap perutnya.

Fina mengetuk pintu rumah Mbok Minah, dukun bayi di kampung sebelah. Dukun bayi di kampungnya tak mau membantu Fina karena mereka takut jika membantu Fina akan membuatnya malu karena telah menolong wanita pezina.

"Mbok Minah!" seru Fina dengan rintihan. Sudah beberapa jam dia menahan sakit karena kontraksi dan perjalanan jauh.

Pintu pun terbuka. Sosok wanita tua berdiri di pintu menatap Fina. Tatapan menelusuri tubuh Vina menggunakan dian. Ya. Mbok Minah tidak memiliki penerangan lampu. Dia menggunakan dian sebagai penerangan.

"Tolong saya, Mbok. Saya mau melahirkan," rintih Fina.

Mbok Minah membuka pintu rumahnya lebar. Dia membantu Fina masuk ke dalam rumah. Mbok Minah terkenal sebagai dukun bayi di kampung itu pada jamannya. Semakin majunya teknologi, dukun bayi pun seakan sudah tidak lagi dibutuhkan oleh warga karena kebanyakan sudah beralih pada bidan. Hanya Mbok Minah harapan Fina satu-satunya. Selain keadaan kehamilannya, Fina pun tak memiliki banyak uang untuk melahirkan bidan, dan transportasi menjadi kendalanya.

Tanpa pikir Panjang, Mbok Minah pun membantu persalinan Fina dengan alat seadanya. Dengan penerangan seadanya tak membuat semangat Fina luntur untuk melahirkan walaupun hanya menggunakan alat seadanya.

Tepat pukul setengah satu malam jeritan bayi menggema di rumah tua Mbok Minah. Bayi laki-laki telah lahir dengan normal di tengah malam euforia pergantian malam tahun baru. Fina merasa terharu melihat bayi yang telah dilahirkannya. Seakan beban yang ia tanggung sedikit berkurang. Fina pun berterima kasih pada Mbok Minah karena sudah membantu persalinannya.

***

Fina berjalan tertatih menuju rumahnya sambil menggendong putra yang baru kemarin dia lahirkan. Ia pernah akan melakukan aborsi, tapi akan lebih merasa berdosa jika menggugurkan bayi yang sedang dikandungnya. Fina memilih untuk tetap mempertahankan kandungannya karena perbuatan itu ia alami bukan karena keinginannya, melainkan atas dasar pemerkosaan dari majikannya saat menjadi TKW. Fina sudah siap menerima cacian dari warga kampung ketika dia kembali ke negaranya. Benar saja. Ia mengalami banyak hujatan dari keluarganya, dari keluarga mendiang suaminya, dan dari warga sekitar. Fina telan semua hujatan itu apa pun rasanya demi mempertahankan bayinya.

"Ibu!!!" seru gadis kecil yang berlari menghampiri Fina.

Fina tersenyum pada gadis kecil itu. Ya. Gadis kecil itu adalah Juli, anak pertamanya bersama mendiang suami. Fina menghampiri Juli yang sudah menantinya di teras rumah.

Fina menoleh ke suatu suara di mana terdapat segerombolan ibu-ibu yang sedang menggosipkannya. Fina pun tak peduli. Dia melangkah masuk ke dalam rumah bersama putrinya.

"Juli sudah makan?" tanya Fina pada putrinya sambil menidurkan bayinya di atas kasur.

"Sudah, Bu. Tadi nenek datang bawa makanan buat Juli." Juli membalas pertanyaan sang ibu sambil menatap adiknya yang masih terlelap.

"Nama adik Juli siapa, Bu?" tanya Juli pada sang ibu.

"Namanya Januar. Seperti nama kamu di bulan Juli, Ibu namai adik kamu Januar." Fina menanggapi pertanyaan putrinya.

Fina tak bisa membayangkan masa depan putra dan putrinya. Ia tak begitu khawatir dengan masa depan Juli karena dia memiliki saudara dari ayahnya. Tapi ia khawatir dengan masa depan Januar. Putranya tak memiliki siapapun selain Fina. Ia tak mungkin minta tanggung jawab dari majikannya karena telah kembali ke kampung halaman. Mata Fina berkaca menatap wajah polos bayinya.

Setidaknya aku sudah berusaha semampuku untuk membesarkan kalian. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, aku tak tahu. Semoga kalian bisa hidup bahagia setelah aku tak ada. Maafkan Ibu jika tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kalian.

***

Fina menatap bangunan yang ada di depannya. Tidak ada pilihan untuknya selain menitipkan putranya di tempat itu. Ia merasa putus asa karena kondisi memaksanya untuk melakukan yang terbaik bagi masa depan putranya. Fina sudah menitipkan Juli pada keluarga mendiang suaminya. Mereka hanya menerima Juli, tidak menerima Januar karena bukan dari keturunan mereka. Fina pun terpaksa harus menitipkan Januar di panti asuhan. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan. Pihak panti asuhan menyapa Fina. Fina tersenyum ramah.

"Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas panti asuhan.

"Saya mau menitipkan anak saya di sini." Fina berterus terang.

Petugas itu mengantar Fina ke ruangan pemilik panti. Fina melangkah ragu menuju ruangan itu. Sebenarnya, ia ingin membesarkan anak-anaknya dengan tangannya sendiri, tapi dia teringat akan penyakit yang dideritanya. Air mata mengalir di pipi wanita yang masih berusia 35 tahun itu. Fina mengusap air matanya ketika tiba di ruangan yang dituju.

Fina menjelaskan tujuannya datang ke tempat itu. Ia ingun menitipkan Januar karena dirinya mendapat vonis dari dokter jika hidupnya tidak lama lagi. Pihak panti menatap Fina ragu. Tapi, ketika Fina menunjukkan berkas catatan medisnya, pihak panti asuhan pun percaya jika Fina mengalami penyakit tumor ganas. Fina pun mengurus berkas untuk masalah penitipan Januar di panti asuhan tersebut. Ia tak ingin semuanya terlambat sehingga akan menyusahkan Januar nantinya. Fina ingin melihat Januar tumbuh besar dan bahagia. Fina pun berharap jika putrinya akan tumbuh seperti yang ia harapkan.

***

Tangis bocah balita menggema di ruangan khusus yang ada di panti asuhan. Sudah beberapa hari bocah itu murung, tidak mau makan, atau bahkan bermain bersama teman-teman seperti pada biasanya. Seakan kegelisahan yang sedang dia hadapi berkaitan dengan kondisi ibunya yang sedang mengalami sakit menjelang kematian di rumah sakit.

"Januar jangan nangis terus, dong. Mbak capek, nih," eluh petugas panti. Sudah beberapa hari Januar tak lelap tidur. Petugas panti merasa kewalahan dengan perubahan Januar. Mereka tak sadar jika ikatan anak dan ibu sangatlah erat.

"Januar masih demam?" tanya petugas panti lainnya.

"Masih, Mbak. Aku sudah kasih parasetamol, tapi panasnya nggak turun-turun," balas petugas yang sedang menggendong Januar.

Tangisnya mereda ketika mata Januar terpejam. Petugas panti bernapas lega karena Januar tertidur. Mereka merasa kasihan pada Januar karena sejak Januar tiba di panti dia tak makan, bermain dengan teman sebayanya, bahkan Januar tak ingin disentuh oleh siapapun.

***

Januar tumbuh dalam pengawasan panti asuhan. Wajah khas bule dominan pada paras Januar di usianya menginjak 5 tahun. Januar menjadi primadona di panti asuhan tersebut. Dia tampan, pendiam, dan sopan. Banyak orang yang ingin mengadopsi Januar, tapi pemilik panti menolak karena dia teramat sayang pada Januar, dan alasan lain pemilik panti asuhan mempertahankan Januar karena dia tumbuh menjadi anak yang smart. Januar banyak mendapat predikat dari sekolah, bahkan Januar mendapat beasiswa untuk masuk SMA dari sekolah SMP tempat Januar belajar saat ini. Tak heran jika pemilik panti menimang-nimang Januar. Kini Januar pun sudah menginjak usia 15 tahun. Waktu seakan berjalan cepat seiring berjalannya waktu.

"Januar! Oper bolanya!" seru temannya.

Januar menatap sekilas temannya. Dia lalu menatap gawang. Januar mengabaikan permintaan temannya. Dia menendang bola melewati lawannya. Tatapannya lurus pada gawang, lalu Januar menendang keras bola yang ada di kakinya.

"GOOLLL!!!"

Sorak dari penonton menggema di lapangan sekolahan. Januar tersenyum sekilas. Peluit panjang pun berbunyi tanda akhir permainan bola. Januar merebahkan tubuhnya di atas rumput.

"Curang kamu, Jan." Teman Januar menggerutu.

"Maaf, Man. Udah nggak sempat kalau aku lempar bola ke kamu, jadi aku selesaikan saja daripada nggak jadi gol." Januar membalas.

"Tapi aku juga pingin cetak gol," eluh Iman, teman Januar.

"Kita nanti buat strategi lagi, nanti aku kasih kamu kesempatan buat cetak gol, gimana?" Januar menawarkan.

"Benar, ya?" Iman mengacungkan jari kelingkinya.

Januar menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Iman.

Iman adalah teman Januar semenjak masuk bangku SMP. Iman pula teman Januar di panti. Mereka tumbuh bersama. Yang membedakan mereka adalah kulit tubuh dan paras. Jika Januar berkulit putih, lain hal dengan Iman. Pihak panti tak tahu orang tua Iman karena Iman ditemukan petugas kepolisian dan dibawa ke panti. Perbedaan kulit bukanlah halangan dalam berteman. Yang membuat mereka erat karena satu sama lain mengerti dan berusaha untuk kompak.

***

《《《 Bersambung ... 》》》

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro