EMPAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januar seakan menemukan semangat baru di sekolah yang ia masuki dua bulan yang lalu. Dia bahkan merasa tenang dan nyaman ketika memasuki sekolah barunya. Ya. Dia merasakan hal iku karena kini nama Januar dilindungi oleh Damian. Setidaknya Januar tidak menerima perlakuan buruk atau hinaan dari teman-temannya. Januar lebih percaya diri dengan statusnya saat ini. Masalah ketampanan, banyak siswa tampan di sana, mengingat mayoritas murid sekolah itu anak orang-orang kaya, tapi tak mengurangi sedikit pun ketampanan yang Januar miliki. Januar tetap menawan baik dalam paras maupun prestasi. Januar memegang janjinya jika dia akan berusaha untuk tetap mempertahankan predikatnya, dan janji itu perlahan ia tepati. Ia menggeser predikat nilai terbaik dari murid sebelumnya. Jika pada sekolah sebelumnya Januar mengincar predikat untuk menggapai beasiswa, berbeda dengan saat ini, Januar mempertahankan predikatnya untuk menyenangkan orang-orang yang menyayanginya.

Bel tanda istirahat menggema. Semua murid menutup buku dan memasukannya ke dalam tas. Januar masih duduk di kursinya ketika semua temannya keluar kelas untuk istirahat. Bahkan buku pelajaran miliknya masih terbuka. Januar menyandarkan punggunya ke sandaran kursi. Ia menghela napas sesaat, lalu kembali menatap bukunya. Seorang siswi masuk ke dalam kelas itu dan menghampiri Januar. Sudah beberapa hari siswi itu berusaha untuk mendekati Januar, tapi Januar selalu menghindarinya. Januar tahu jika siswi itu terkenal cantik dan banyak siswa yang mengaguminya termasuk Gibran, siswa yang terkenal tampan, kaya, dan arogan. Januar tidak tertarik dengan pamor mereka di sekolah ini. Ia hanya mengabdikan diri di sekolah barunya hanya untuk belajar, bukan untuk mencari sensasi atau apa pun yang berkaitan dengan popularitas. Karena baginya, popularitas akan datang dengan sendirinya jika dia bisa menjadi siswa berpredikat terbaik, bukan mengenai paras menawan atau kekayaan.

"Sumpah! Baru kali ini ada cowok yang nggak mau deket sama gue." Siswi itu berkata sambil menatap Januar.

Januar tak menggubris. Dia masih sibuk membaca bukunya, tapi dia mendengar ucapan gadis itu.

Gadis itu geram. Dia pun mendekati Januar. "Elo normal nggak, sih?!" tuduhnya pada Januar.

Januar menatap gadis yang berdiri di hadapannya. Ia segera mengalihkan pandangannya.

"Gue cuma mau kenalan sama elo. Apa gue salah?" Siswi itu kembali bersuara.

"Lisa!!!"

Ya. Siswi itu bernama Lisa. Sudah beberapa hari ini Lisa mencoba untuk mendekati Januar, tapi tidak ada respon, bahkan Januar selalu menghindarinya. Lisa tak membalikan tubuh karena dia tahu siswa yang menyerukan namanya. Siswa itu menghampiri Lisa.

Siswa itu menarik tangan Lisa. "Kamu apa-apaan ngemis minta berteman sama dia?! Kamu nggak lagi sakit, kan?! Jangan sampai kamu merendahkan harga dirimu hanya karena anak baru ini!" Siswa itu menatap Lissa.

"Lepasin!" Lisa mengempaskan tangan siswa itu. "Gue lebih baik berteman dengan dia daripada pacaran sama playboy seperti kamu!" Lisa menatap tajam siswa itu.

Januar menutup buku-bukunya lalu memasukan ke dalam tas. Dia malas mendengar obrolan tak jelas seperti itu. Januar beranjak dari kursi, meninggalkan kelas dan dua sepasang kekasih yang sedang ribut karena pihak ketiga.

"Dengerin aku, Lis. Aku dan Reina nggak ada hubungan apa-apa. Kamu nggak percaya?"

Lisa menatap Januar yang sedang berjalan melewatinya.

"Gue udah nggak percaya sama elo lagi, Gibran! Kita putus!" Lisa bergegas meninggalkan Gibran, tapi Gibran mencekal tangan Lisa. Lisa kembali mengempaskan tangan Gibran, lalu mengejar Januar.

"LISAAA!!!" geram Gibran.

Januar masuk ke dalam perpustakaan. Lisa pun mengikuti Januar, masuk ke dalam perpustakaan. Lisa menatapi deretan buku-buku yang tertata rapi. Ia menghela napas karena harus masuk ke tempat itu. Lisa menghentikan langkah ketika melihat Januar sedang membaca buku. Lisa menghampiri Januar. Ia pun duduk di samping Januar. Januar mengabaikan kehadiran Lisa.

"Elo beneran nyebelin, Januar. Gue datang baik-baik ke elo ingin bersahabat, tapi elo selalu menghindar. Gue hanya ingin ikut belajar sama elo karena elo smart dan nggak sombong seperti si Salsa yang bangga dengan nilai-nilai terbaiknya. Gue cuma mau ikut belajar bareng lo. Awalnya gue seneng saat lo geser posisi Salsa, tapi sekarang gue nyesel sudah ngrendahin diri gue cuma minta pertemanan sama orang dengan niatan biar ketularan pinter, tapi ternyata orang itu nggak jauh beda dengan Salsa." Lisa terdengar sedih.

Konsentrasi Januar teralih. Ia mendengar semua ucapan Lisa. Januar seakan tersentuh dengan ucapan Lisa. Januar teringat dengan hasil ujian terakhir jika Lisa berada dalam urutan rendah. Januar menghela napas.

"Gue nggak akan ngejar-ngejar lo lagi buat jadi sahabat gue! Lo sama seperti siswa yang lain, sombong!" Lisa beranjak dari bangku. Dia pergi meninggalkan Januar.

Berpasang mata menatap Lisa dan Januar. Januar menghela napas. Dia beranjak dari bangku, lalu bergegas meninggalkan perpustakaan. Januar mengikuti Lisa dari belakang. Bel tanda istirahat sudah habis pun menggema. Januar berjalan cepat untuk menghampiri Lisa. Lisa akan masuk ke kelasnya, tapi Januar menahan bahunya. Lisa menatap tangan yang menjegal bahunya.

Januar menarik tangan dari bahu Lisa. "Kamu boleh jadi sahabat aku." Januar bersuara.

Lisa membalikkan tubuh. Senyum bahagia ia sunggingkan. "Beneran?" Lisa memastikan.

Januar mengangguk.

Lisa mengulurkan tangan sebagai tanda persahabatan. Januar menjabat tangan Lisa.

"Sahabat." Lisa menggenggam erat tangan Januar.

Januar mengurai jabat tangan. "Aku ke kelas dulu." Januar berlalu dari hadapan Lisa.

Lisa pun masuk ke dalam kelas dengan hati berbunga. Alasan lain Lisa ingin berteman dengan Januar karena dia tahu jika Januar adalah salah satu anak orang kaya di Bali. Lisa tak mau mengabaikan kesempatan itu dan dia rela merendahkan dirinya asal bisa berteman dengan Januar.

Dari arah jauh, terlihat raut Gibran memerah melihat Lisa dan Januar mulai bersahabat. Gibran tak masalah jika Januar menjadi siswa berpredikat, tapi dia tak setuju jika Januar mendekati Lisa. Siapapun yang mendekati Lisa, maka Gibran akan memberinya pelajaran. Lisa hanya untuk Gibran, bukan untuk siapapun.

Aku nggak peduli kamu anak siapa, tapi aku akan membuat perhitungan denganmu karena sudah mendekati Lisa. Lisa hanya boleh dekat denganku, bukan dengan laki-laki lain termasuk kamu, Januar.

***

Lisa menghentakan kakinya pada lantai. Ia merasa jenuh karena harus menunggu Januar untuk mengajarinya mengenai pelajaran yang masih belum ia pahami. Lisa sudah mengirim pesan pada Januar untuk datang di lorong dekat taman, tapi Januar masih belum tiba di tempat janji padahal Januar sudah berjanji akan datang.

"Kamu nunggu siapa? Januar? Dia nggak akan datang."

Lisa menatap ke sumber suara. Dia melihat Gibran berdiri tak jauh dari tempatnya duduk saat ini. Lisa mengabaikan perkataan Gibran, dia membuka buku untuk menghindari Gibran.

"Daripada kamu nungguin dia, lebih baik kamu ikut aku ke kantin." Gibran membujuk.

Lisa tak menanggapi ucapan Gibran.

"Tunggu saja sampai lumutan." Gibran berlalu pergi dari tempat itu.

Lisa menatap kepergian Gibran. Ia paham benar setiap kata-kata Gibran. Lisa bergegas meninggalkan tempat itu untuk menuju kelas Januar. Di kelas Januar tak ada. Lisa pun bertanya pada teman sekelas Januar, tapi mereka tak tahu keberadaan Januar. Lisa pun keluar dari tempat itu untuk mencari Januar. Lisa bertanya pada murid lain mengenai keberadaan Januar. Salah satu siswa yang ditanya Lisa pun ada yang melihat Januar di toilet. Lisa bergegas menuju toilet. Ia ingin memastikan keadaan Januar.

"Lisa!!"

Lisa menghentikan langkah saat akan memasuki toilet laki-laki karena namanya diseru oleh sahabatnya, Dea dan Hilda. Dea dan Hilda menghampiri Lisa.

"Kita nyariin kamu, ternyata kamu di sini?" tanya Dea.

Hilda menatap ke arah toilet laki-laki terdapat tulisan 'toilet rusak'. "Kamu ngapain ke toilet laki-laki?" tanya Hilda.

"Kalian tunggu di sini. Aku mau masuk ke sana." Lisa mengintruksi teman-temannya.

"Tapi, Lis-"

Lisa bergegas masuk ke dalam toilet. Ia mengamati setiap sudut toilet. Tatapannya tertuju pada toilet yang posisinya persis di ujung dan tertutup. Terlihat kunci berada di luar pintu. Lisa bergegas membuka toilet itu dan dilihatnya Januar terduduk di lantai dalam keadaan basah kuyup.

"Januar." Lisa masuk ke dalam toilet. Dia membantu Januar untuk keluar dari dalam toilet. Dilihatnya, wajah Januar lebam. Lisa mengeratkan giginya.

Gue benci elo. Gue muak dengan elo, Gibran! geram Lisa dalam hati.

Lisa meminta bantuan pada Dea dan Hilda untuk membawa Januar ke UKS. Lisa membantu Januar untuk mengompres luka lebam di pipi Januar.

"Gibran keterlaluan. Gue bakal laporin dia ke BP." Lisa membuka suara sambil mengompres luka Januar.

"Jangan, Lis. Aku nggak mau cari masalah dengan dia. Aku nggak apa-apa." Januar menolak.

"Kenapa? Elo takut sama Gibran?" tanya Lisa.

Januar menghela napas. "Tolong, rahasiakan semua ini. Aku nggak mau masalah ini menyebar apalagi sampai Ayahku tau. Aku nggak mau." Januar membalas.

"Kenapa?" tanya Lisa, menatap Januar bingung.

"Nanti kamu akan tau kalau saatnya tiba." Januar menatap Lisa sendu.

Lisa hanya bisa mengangguk.

Untuk saat ini, diam adalah cara terbaik yang harus Januar hadapi. Ia tak ingin mencari masalah di sekolah. Ia harus menepati janjinya pada Damian dan Aisyah.

***

Rautnya menyungging senyum ketika melihat gadis cantik yang ia kenali mendekat ke arahnya. Lesung pipi pun mengiringi senyum remaja yang baru menginjak kelas 3 SMA itu. Januar Adima, salah satu murid pemiliki prestasi terbaik di SMA Taruna. Dia memiliki wajah khas bule, postur tubuh yang tinggi, membuat siswi terkagum-kagum dengan sosok Januar yang akrab disapa Ari. Ari menjadi idola di SMA Taruna karena kepintarannya dan ketampanannya. Ari terkenal pendiam, ramah, dan sopan. Tak heran jika guru-guru pun sering memuji karena kesempurnaan pada dirinya. Walaupun baru beberapa bulan masuk SMA Taruna, Ari mengungguli predikat siswa terbaik sebelumnya di SMA Taruna. Semua yang Ari miliki tak membuatnya besar kepala. Dia tetap sederhana dan bersikap seperti layaknya murid biasa.

"Ri, ke kantin, yuk?" ajak gadis berambut hitam lurus yang kini duduk di sebelahnya.

"Aku masih ada tugas, Lis." Ari menolak.

Lisa mengembuskan napas. "Lo sudah pintar, Ri. Ngapain masih sibuk belajar? Bukannya orang pintar itu nggak mesti kudu belajar terus?" Lisa protes.

Ari hanya tersenyum tanpa menatap Lisa. Dia masih menatap buku yang sedang menjadi targetnya untuk menyelesaikan tugas. Bukan sifatnya mudah menerima bujukan. Ari justru selalu menolak ajakan teman-temannya untuk nongkrong atau hal lain yang tidak berguna. Di sekolah, dia akan fokus pada tujuannya, belajar.

Terdengar pintu kelas terbuka keras. Ari melirik dengan ekor matanya ke sumber suara. Dia menghela napas. Lisa pun menoleh ke sumber suara. Lisa memutar bola mata jengah.

"Lisa! Keluar!" seru siswa berpenampilan arogan.

"Nggak mau! Lo siapa, Bran? Berani-beraninya ngusir gue?!" Lisa menolak keras.

"Aku mau bicara dengan Ari!" Siswa itu terdengar kesal. Dia kesal dengan Lisa karena lebih memilih dekat dengan Ari daripada dengannya. Sebelum Ari masuk SMA Taruna, Lisa dekat dengan Gibran, lebih dari kata 'dekat'. Kedatangan Ari di SMA Taruna membuat kedekatan Lisa dan Gibran merenggang. Bukan hanya merenggang, bahkan mereka telah sah putus.

"Palingan lo mau cari masalah kan sama Ari? Gue udah paham lo, Gibran!" Lisa memicingkan mata pada Gibran, siswa yang terkenal dengan keangkuhan, sombong, dan kasar.

"Kamu keluar aja, Lis. Aku nggak akan kenapa-napa." Ari angkat suara. Sudah beberapa kali dia menghadapi Gibran. Baru kali ini Gibran berani terang-terangan cari masalah pada Januar.

Gibran menarik tangan Lisa. Lisa menolak, tapi cekalan tangan Gibran lebih kuat dari tenaganya. Gibran mengunci pintu kelas setelah Lisa keluar dari dalam ruangan itu.

"Gibran!!! Lo bakal nyesel kalau sampai terjadi masalah lagi!!! Gue bakal laporin elo ke bokap lo!!!" seru Lisa dari luar pintu.

Gibran mendekati Ari. Dia menatap Ari dengan tatapan ingin memangsa. Sejak kedatangan Ari di sekolah itu, pamor Gibran menurun. Sebelum Ari masuk ke SMA Taruna, Gibran-lah yang menjadi idola karena ketampanannya, bukan karena kepintarannya. Gibran merasa tersaingi dengan hadirnya Ari di SMA Taruna. Gibran yang terlahir dari keluarga terpandang pun merasa terhina ketika harga dirinya tak lagi dianggap oleh siswi-siswi SMA Taruna termasuk Lisa.

"Sekarang aku tau kalau kamu anak haram." Gibran membuka suara. Dia duduk di depan Ari.

Ari tak menanggapi. Dia sibuk dengan buku yang ada di depannya. Ari menyadari alasan Gibran mencari masalah dengannya secara terbuka.

"Ternyata kamu bukan anak Pak Damian. Kamu anak pungutnya. Dulu kamu di panti asuhan sebelum dipungut jadi anaknya Pak Damian. Ibumu PSK, sama seperti kakakmu yang sekarang naik jabatan jadi istrinya Pak Alex, asisten pribadinya Pak Jordan, kakak tiri Pak Damian. Ternyata kamu tak jauh berbeda dengan kehidupan orang-orang yang dekat denganmu. Sama-sama nggak jelas!" Gibran mengejek. Lebih tepatnya menghina Ari. Bukan hanya Ari, tapi ayah angkatnya beserta keluarganya.

Ari mengeratkan gigi-giginya. Darimana dia tahu semua itu? Apa dia memata-matai rumah Ayah? Apa dia-

"Kenapa?! Kamu kira aku takut?!" Gibran lalu tertawa.

Ari beranjak dari kursi. Dia akan meninggalkan Gibran, tapi Gibran menjegal langkah Ari dengan kakinya, dan Ari pun tersungkur ke atas lantai. Ari memejamkan mata sejenak sambil menghela napas untuk menenangkan hatinya. Ini bukan pertama kali Ari mendapat perlakuan seperti ini dari Gibran, tapi sudah berkali-kali Gibran menghajarnya.

"Kenapa?! Marah?! Kesal?! Aku sudah tau semuanya tentang kamu! Kenyataan kalau kamu itu anak haram!" Gibran kembali tertawa setelah mengejek Ari.

Ari akan beranjak, tapi Gibran menginjak punggung Ari. Ari mengurungkan niatnya untuk bangkit. Selama ini dia tak pernah melawan Gibran karena dia tak mau memiliki masalah di sekolah terutama pada Gibran. Dia sudah berjanji pada Damian dan Aisyah jika tidak akan terlibat masalah dengan siapapun di sekolah. Di sekolah sebelumnya Ari sudah mendapat hukuman karena berkelahi dengan teman kelasnya karena temannya sering mengejeknya dengan hal sama, anak haram.

Ari menyentuh kaki Gibran, lalu membalikan tubuh dan menghempaskan kaki Gibran. Gibran menatapnya murka.

"Berani sekali kamu menyentuh kakiku, Anak Haram?!" ucapnya penuh amarah.

"Kamu boleh menghina aku dengan sebutan apa pun. Tapi kalau kamu sudah menyebut nama Ayahku, maka aku nggak akan diam dengan ejekanmu!" Ari pun bersuara dengan nada tegas. Dia menatap Gibran tajam. Ari beranjak dari lantai.

Gibran melayangkan pukulan pada Ari, tapi Ari menghindar. Gibran pun akan menendang Ari, tapi Ari bergegas meraih kursi sehingga tendangan Gibran mengenai kursi. Gibran merebut kursi itu dari Ari. Gibran melayangkan pukulan pada Ari dan berhasil mengenai pipi Ari. Ari akan membalas, tapi ia urungkan ketika ingat janjinya pada Damian.

"Jangan cari masalah atau berkelahi di sekolah. Tujuan kamu sekolah untuk belajar, bukan untuk cari masalah."

Ari kembali mendapat pukulan dari Gibran. Gibran berulang kali memukul wajah Ari sehingga pelipis Ari mengucurkan darah.

"Kamu nggak pantas sekolah di sini! Kamu anak PSK! Kamu anak haram! Seharusnya kamu sekolah di sekolah biasa atau lebih baik kamu sekolah di jalanan!"

Ari mendorong tubuh Gibran. Kali ini dia tidak terima ketika Gibran kembali mengejeknya dengan sebutan itu. Ari membenturkan tubuh Gibran pada dinding.

"Kalau saja aku nggak janji dengan Ayah, mungkin kamu sudah kukirim ke rumah sakit!" Ari melepas cengkraman dari pakaian Gibran. Ari berlalu dari hadapan Gibran.

Gibran pun geram. Dia berjalan menghampiri Ari dan akan melakukan pukulan, tapi niatnya terhadang.

"GIBRANNN!!!" seru seorang guru.

Gibran menghentikan aksinya.

"Kalian berdua ke ruang BP sekarang!" seru guru itu.

Ari berjalan meninggalkan ruang kelas. Dia mematuhi perintah guru untuk menuju ruang BP. Ia sudah berulang kali mendatangi ruangan itu dengan masalah yang sama. Dia tak pernah membalas perbuatan yang telah Gibran lakukan. Ari masih bisa sabar karena dia telah berjanji untuk tidak membuat masalah. Jika saja dia tidak berjanji pada Damian, mungkin Gibran akan mengalami luka yang sama seperti musuh Ari di sekolah yang lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro