SEBELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah lebar ia lajukan. Kacamata hitam masih menghiasi wajahnya. Tangannya masih mendorong troli untuk keluar dari bandara. Senyum menghiasi wajahnya kala menatap langit kota itu. Senyum yang dirindukan. Walaupun hanya 2 tahun, tapi Bali memiliki banyak kenangan untuknya. Hanya Bali tempat ia pulang, bukan Solo tempat dia dilahirkan. Dia tak akan lupa dengan kota kelahirannya, tapi dia hanya tidak memiliki tujuan di kota itu karena orang-orang yang dia cintai sudah tak ada di sana. Tujuannya saat ini adalah kota di mana ada banyak orang yang mencintainya. Bali.

Deringan ponsel menghentikan langkahnya, menatap ponsel yang masih ada dalam genggaman. Dia menempelkan benda pipih itu pada telinga setelah menggeser ke warna hijau.

"Kamu di mana, Ri?" tanya seseorang di seberang sana.

"Ini Ari sudah hampir sampai di lobi." Januar kembali mendorong troli.

Ya. Akhirnya Januar kembali ke Bali. Dia diberi tugas oleh Robert untuk mengurus bisnisnya di Bali. Januar menyetujui karena Retno pun menyetujui jika itu adalah yang terbaik untuk Januar.

"Ari!!!"

Januar menoleh ke sumber suara. Ia menatap keluarga kecil yang sudah menantinya. Senyum kembali menghiasi rautnya. Ia melepas kacamata yang dikenakan. Januar memeluk kakaknya yang sudah lama tak ia jumpai. Matanya berkaca. Rindu yang membuncah seakan tumpah. Rindu itu kini terobati.

"Kakak apa kabar?" tanya Januar pada Juli, masih dalam pelukan.

Juli mengangguk. Ia mengusap kepala adiknya lembut. Adikku. Kamu semakin tinggi. Kamu semakin tampan. Kamu selalu membuatku rindu. Aku bersyukur kamu baik-baik saja selama di sana. Aku sangat merindukanmu.

"Aku sangat merindukanmu, Kak. Aku senang lihat Kakak sehat dan bahagia." Januar melepas pelukan.

"Kakak Ari."

"Om Ari."

Januar melepas pelukan. Dia menatap dua bocah yang ada di samping Juli. Januar tersenyum sambil menatap mereka bergantian. Tubuh ia rendahkan, lalu merentangkan tangan. Dua bocah itu memeluk Januar. Dua bocah itu adalah Aida dan Juna. Aida putri Damian dan Aisyah. Juna putra Juli dan Alex. Januar meninggalkan mereka di saat masih bayi. Kini mereka sudah tumbuh besar. Januar pernah bertemu dengan Aida ketika usianya masih 3 tahun. Damian pernah ke Aussie dan saat itu dia membawa Aisyah dan Aida. Tapi Januar tak sekali pun bertemu Juna. Dia hanya bisa menyapanya melalui videocall atau telepon. Kini rasa rindunya perlahan terobati.

""Kita akan makan dulu atau langsung pulang ke rumah?" tanya Alex.

Januar memasukkan kopernya ke dalam bagasi. "Pulang saja, Kak. Aku ingin makan di rumah. Sudah lama aku tak makan masakan Kak Juli," balasnya, lalu menutup bagasi.

"Rumah ..." Alex menggantungkan kalimatnya.

Januar menatap sekitar. Ia tak dapati anak-anak di luar mobil. "Ke rumah Kakak."

Januar menatap Alex ketika tak ada balasan darinya. Ia menghela napas. "Di sana sudah ada Roni. Tidak masalah jika sementara waktu aku tinggal di rumah Kakak. Jika Kakak keberatan, aku akan tinggal di resort." Januar tak mau ambil pusing.

"Bicarakan dengannya secara baik-baik jika kamu merasa tak enak dengan adanya Roni di rumah itu. Kakak lihat, dia anaknya cukup mengerti." Alex menepuk bahu Januar.

Kaca mobil terbuka. Juli menatap Januar. Januar tersenyum. Ia dan Alex pun masuk ke dalam mobil. Mobil itu bergerak meninggalkan bandara. Pandangan Ari tertuju pada luar kaca.

Banyak yang sudah berubah dari kota ini. Aku hampir lupa dengan jalanan dan bangunan yang sudah perlahan berubah. Dulu aku sering melewati jalanan ini ketika pulang sekolah. Aku akan mampir ke kafe untuk menghilangkan bosan yang melanda. Aku rindu suasana saat itu. Januar berkata dalam hati.

"Bu. Om Ari akan pulang ke rumah Juna, kan?" tanya Juna pada ibunya, Juli.

Juli hanya tersenyum. Ia tak bisa mengangguk atau menggeleng karena jawabannya ada pada Januar dan sepertinya Januar tak akan tinggal bersama Juli karena Januar anak angkat Damian.

"Kak Ari akan pulang ke rumah aku. Aku punya Om Roni dan Kak Ari di rumah. Kamu nggak punya." Aida merasa bangga.

"Sudah, sudah. Om Ari milik kalian. Jangan ribut." Alex angkat suara.

"Kita pulang ke rumah Kakak dulu. Nanti Aida akan aku antar ke rumah jika Ayah dan Ibu sudah pulang." Januar menimpali.

Mobil yang mereka naiki tiba di halaman rumah Alex. Januar tersenyum menatap bangunan rumah itu. Tidak banyak yang berubah. Hanya taman kecil yang kini berubah luas dan cat luar rumah yang kini menjadi terang. Januar turun dari mobil. Ia menghampiri bagasi dan mengeluarkan kopernya. Ia menarik koper sambil berjalan menuju pintu. Napas ia hela sebelum masuk ke dalam rumah itu. Rasa rindu yang terpendam kini terobati. Ia kembali menginjakan kaki di rumah itu. Seakan kembali pada masa ketika SMA. Ia akan ke rumah itu setelah berkelahi dengan Gibran untuk menghilangkan jejak pada wajahnya agar Damian tidak curiga. Januar tersenyum mengingat masa-masa itu.

"Om Ari. Om Ari nanti malam tidur di rumah Ibu, kan?" tanya Juna dengan nada rendah.

Perhatian Juna teralih pada keponakannya. Kepalanya mengangguk.

"Yes!" Juna mengangkat tangan menang.

"Jangan bilang Aida." Januar membalas.

"Oke!" Juna berlari meninggalkan Januar dengan raut menang.

Senyum kembali menghiasi wajah Januar disertai gelengan kepala. Ia melangkahkan kaki menuju kamarnya. Senyum kembali menghiasi wajahnya ketika menatap pintu kamar yang pernah ia singgahi. January. Namanya tercetak dalam kertas yang pernah ia tulis dan ditempelkan pada pintu depan kamarnya. Nama itu masih melekat pada pintu kamar yang sudah lama ia tinggalkan. Januar merebahkan tubuh di atas ranjang. Ranjangnya sudah berubah. Kini ranjang itu menjadi baru dan luas, berbeda dengan ranjang sebelumnya. Juli sudah membelikannya ranjang baru sesuai keinginannya. Januar memang meminta untuk mengganti ranjang sebelumnya karena ia merasa sempit.

Januar membuka mata. Ia meraih benda pipih yang ada di sakunya untuk memastikan pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Damian segera ia buka. Januar belum tahu jika saat ini ibu angkatnya sedang berada di rumah sakit karena akan melahirkan anak keduanya. Itu alasan keberadaan Aida di rumah Alex dan alasan mereka tidak bisa menjemputnya. Damian menitipkan Aida pada Alex dan Juli untuk sementara waktu.

From: Ayah Damian
Kamu sudah sampai?
Kabari Ayah jika kamu sudah sampai.
Aida akan ikut jemput kamu dan dia akan tinggal di rumah kakakmu untuk beberapa hari ke depan karena Ibu akan melahirkan.

Mata Januar terpejam sesaat. Ia lupa jika beberapa bulan yang lalu mendapat kabar akan mendapat adik baru. Kesibukannya pada bisnis dan kuliah membuatnya lupa dengan hal-hal selain itu. Ia mengetik pesan balasan pada ayahnya.

To: Ayah Damian
Ya. Ari sudah sampai.
Ari baru sampai di rumah Kakak.
Ari mungkin akan tinggal di sini untuk sementara waktu.
Ari akan ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ibu.

Ingatan Januar kembali pada masa ketika ia membantu Aisyah melahirkan Aida. Ia dipaksa menyetir dalam keadaan belum memiliki SIM. Tapi ia merasa bangga karena pernah melakukan kebaikan menolong Aisyah.

Januar bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Ia akan ke rumah sakit untuk melihat kondisi Aisyah sekaligus mengobati rasa rindunya pada kedua orang tua angkatnya. Januar melangkah keluar dari kamar setelah pakaiannya rapi. Ia menghampiri ruang makan. Sepi. Januar duduk di kursi. Ruang makan pun sudah berubah. Kursi yang ia duduki lebih nyaman dari kursi sebelumnya. Januar menoleh ketika mendengar langkah kaki. Ia tersenyum ketika mendapati Juli menghampirinya. Juli mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan untuk Januar. Januar membuka ponselnya.

From: Kak Juli
Apa mau Kakak panaskan sayurnya?
Atau mau Kakak masakan yang lain?

"Tidak perlu, Kak. Ini sudah cukup. Ari akan makan makanan yang ada." Januar membalas Juli dengan ucapan.

Juli kembali mengetik pesan. Januar menunggu pesan dari Juli.

From: Kak Juli
Apa kamu akan tinggal di sini?
Kakak harap seperti itu.
Kakak rindu denganmu, Januar.

Januar tersenyum. "Iya. Ari akan tinggal di sini. Sekarang Ari mau makan. Ari sudah menahan lapar sejak di bandara. Kita tunda dulu bicaranya." Ari menyendok nasi setelah membalas Juli.

Juli hanya tersenyum menatap adiknya yang sedang sibuk menyendok nasi. Aku penasaran dengan kehidupannya selama di Aussie. Mengenai pekerjaannya, kuliahnya, dan mengenai dia menjadi model. Dia benar-benar berubah. Dia menjadi terbuka, berbeda dengan Januar yang dulu. Bu Retno merubahnya menjadi seperti ini.

"Kak. Ari mau ke rumah sakit setelah ini. Apa Ari harus bawa Aida?" Januar meminta izin.

Juli meraih kertas yang ada di atas meja makan. Ia menulis jawaban untuk Januar.

Aida sedang tidur. Dia sudah ketemu dengan Bu Aisyah. Kemarin, Kakak sudah jenguk di rumah sakit. Mungkin lusa beliau akan pulang.

Januar mengangguk melihat tulisan kakaknya. "Baiklah. Januar akan ke sana sendiri."

Juli kembali menulis pesan untuk Januar di kertas.

Kamu nggak cerita sama Kakak mengenai kehidupan kamu di sana. Kakak mau dengar langsung dari kamu, Ri.

Januar membaca pesan Juli. Ia kembali tersenyum. "Sama saja, Kak. Apa yang Ari ceritakan di pesan itu sama. Tidak akan berubah jika Ari cerita langsung. Ari di sana kerja, kuliah, dan bantu Emma mengembangkan bisnisnya. Bukankah itu sama dengan yang Ari kirim lewat pesan?" Januar menyuapkan makanan setelah membalas Juli.

Kamu nggak pacaran kan di sana?

Januar meletakan sendok dan garpu yang sedang ia pegang ke atas piringnya setelah membaca tulisan dari Juli. "Apa Ari pernah bohong dengan Kakak?" Januar menatap kakaknya.

Senyum menghiasi wajah Juli. Ia mengacak rambut adiknya. Rasa rindu menggoda adiknya begitu terasa. Rindunya terobati ketika sosok Januar kembali hadir di sisinya. Januar pun selalu terbuka pada Juli dalam segala hal termasuk wanita. Panggilannya pada sang kakak pun berubah menjadi "kakak", jika sebelumnya "mbak". Januar merasa lebih nyaman jika memanggilnya dengan sebutan itu.

***

Setelah makan siangnya selesai, Januar meninggalkan rumah kakaknya untuk menemui orang tua angkatnya. Kini, tinggal bertemu dua orang itu rasa rindunya akan terobati. Januar melangkahkan kaki untuk menuju ruangan tempat ibunya dirawat. Ia sudah tiba di rumah sakit. Januar menghampiri resepsionis untuk menanyakan ruangan tempat Aisyah dirawat. Januar melangkahkan kaki setelah mendapat informasi ruangan yang ia cari. Pandangannya terfokus pada sosok wanita yang sedang berjalan setengah berlari mengikuti suster yang membawa tubuh Balita. Januar merasa tak asing dengan wanita itu. Ingatannya langsung kembali pada tujuh tahun silam.

Naima. Ya. Dia Naima, adik kelas yang pernah aku tolong dan pernah aku kagumi. Apa yang dia lakukan di sini? Siapa Balita yang dia ikuti? Apa dia anaknya? Januar bertanya-tanya dalam hati. Ia segera menggelengkan kepala. Langkah pun kembali ia lanjutkan untuk menuju ruang rawat Aisyah.

Januar mengetuk pintu, lalu membukanya ketika tiba di ruang rawat Aisyah. Ia tersenyum ketika mendapati Damian dan Aisyah menatapnya. Januar menghampiri mereka. Ia memeluk Damian.

"Ayah apa kabar?" tanya Januar, masih dalam pelukan.

"Seperti yang kamu lihat." Damian melepas pelukan.

"Kamu apa kabar, Ri?" tanya Aisyah.

"Ari baik, Bu. Ibu?" Januar bertanya balik.

Januar terlibat obrolan hangat bersama Damian dan Aisyah. Ia menumpahkan kerinduan yang sudah terpendam lama. Januar pun menceritakan mengenai kuliah terakhirnya. Ia banyak berterima kasih pada Aisyah dan Damian karena sudah membantunya mewujudkan keinginannya untuk menyelesaikan kuliahnya. Entah apa jadinya jika ia tak pernah bertemu dengan Damian dan Aisyah. Mungkin dia masih dicemooh dan direndahkan oleh orang-orang yang tak menyukainya.

"Apa Emma masih marah denganmu?" tanya Damian.

Januar duduk di kursi. Ia dan Damian keluar dari ruangan agar Aisyah istirahat. Lebih tepatnya ada hal penting yang ingin Damian tanyakan.

"Iya. Dia kecewa dengan Ari karena tidak mendiskusikan hal ini padanya. Padahal Ari sudah berulang kali mengajaknya untuk mendiskusikan hal ini, tapi dia menolak. Dia sibuk dengan bisnisnya." Januar menjelaskan.

Damian tersenyum. "Dia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan. Kamu tidak bersalah." Damian menepuk bahu Januar pelan.

"Papa meminta Ari untuk mengurus bisnisnya yang ada di sini. Bagaimana menurut Ayah?" tanya Januar serius.

"Itu hak kamu. Bukankah kedatanganmu ke sini untuk hal itu?" Damian bertanya balik.

Januar tersenyum getir. "Ari tidak yakin." Januar menunduk.

Damian terkekeh. "Ayah tidak masalah. Kamu berhak memilih pilihanmu sendiri. Ini waktu yang tepat untukmu terjun ke medan bisnis yang sesungguhnya. Jangan kecewakan Ayah dan Papa dengan pilihanmu. Kamu bisa bertanya pada Ayah jika ada yang ingin kamu tanyakan. Ayah siap membantu." Damian meyakinkan.

Januar menatap Damian. "Jadi ..." Januar menggantungkan kalimatnya.

"Jadilah CEO yang bertanggung jawab." Damian mengangguk.

Januar memeluk Damian. Damian menepuk bahu putra angkatnya. "Terima kasih, Ayah." Januar terdengar haru.

"Kamu sudah matang dalam masalah bisnis. Tugas Ayah sudah selesai. Ah, lebih tepatnya Mama sudah membuatmu seperti ini. Kamu bisa berjalan sesuai apa yang kamu inginkan selama itu baik untukmu. Jangan mengecewakannya. Itu sama saja kamu mengecewakan Ayah." Damian melanjutkan.

Januar mengangguk. Ia berjanji akan menjalankan amanah dari Retno dan dari Damian. Janji. Januar melepas pelukan.

"Yah. Aku ingin tinggal dengan Kakak." Januar mengajukan.

"Tidak masalah." Damian menyetujui.

"Terima kasih untuk semuanya."

Damian terkekeh. "Kamu seperti akan kembali ke Aussie lagi setelah baru tiba di Bali." Damian menggoda.

Suara tawa pun menggema. Baru kali ini ia mendapati candaan dari Damian setelah 8 tahun diangkat sebagai anaknya. Biasanya, dia dapati Damian selalu serius dan beraut tegang. Kini berubah. Damian perlahan menjadi lebih humoris.

Januar meninggalkan ruang rawat Aisyah setelah berpamitan. Ia harus pulang untuk menyiapkan diri karena besok harus bertemu dengan orang penting. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Januar menyempatkan diri melihat adiknya yang masih berada di ruang bayi. Perhatiannya terusik ketika melihat Naima berdiri di depan ruang bayi. Januar menghampirinya.

"Hai." Januar menyapanya ragu.

Naima menatap Januar bingung. Dia menunjuk dirinya sendiri.

"Iya. Kamu lupa?" tanya Januar.

Dia menyapaku? Siapa? Apa dia salah orang? Naima bertanya dalam hati.

"Aku kakak kelasmu di SMA Taruna. Aku masih ingat. Namamu Naima, bukan? Aku pernah menolongmu saat motormu kehabisan bensin. Kita sering ketemu di Perpus. Ah, maksudku, aku sering melihatmu di Perpus. Kamu masih ingat?" Januar menjelaskan. Dia mencoba membuat Naima ingat.

Naima masih berusaha mengingat. Kakak kelas di SMA Taruna? Kehabisan bensin? Sering bertemu di Perpus? Dia ...

"Aku berkelahi dengan Gibran saat menolongmu. Kejadian itu tepat tujuh tahun lalu saat kita masih di SMA Taruna." Januar menambahi.

"Kamu Januar Adima? Siswa dengan predikat terbaik di SMA Taruna saat itu?" Naima menebak. Lebih tepatnya ia ingat.

Januar tersenyum malu. Ia mengusap tengkuknya. "Itu berlebihan." Januar menepis.

"Itu kenyataannya."

Hening.

"Oh, iya. Sedang apa kamu di sini?" Januar mengubah topik obrolan.

Naima menghela napas. Wajahnya berubah sedih.

"Apa ada masalah? Di mana suamimu? Apa dia sedang sibuk?" Januar penasaran. Dia menatap ke lorong yang sepi.

Naima menatap Januar. "Aku belum menikah." Naima menepis.

Januar menatap Naima bingung. Pandangannya beralih pada ruang bayi.

"Bayi itu dibuang oleh ibunya beberapa hari yang lalu di depan panti asuhan yang aku kelola saat ini. Dia bayi yang malang. Dia mengidap jantung bocor. Aku baru mengetahuinya tadi setelah dokter melakukan beberapa pemeriksaan." Naima menjelaskan. Matanya berkaca.

Dia mengelola panti? tanya Januar dalam hati.

Naima mengusap air mata yang hampir jatuh. Ia berusaha tersenyum. "Aku yakin Fian kuat. Dia akan sembuh. Kita hanya perlu menunggu waktu sampai dia cukup usia untuk dioperasi." Naima berusaha menguatkan diri.

"Ya. Dia pasti kuat." Januar memberi tambahan semangat.

Januar menatap ruang bayi. Ia menatap adiknya, lalu berganti pada Fian yang terpasang banyak alat di tubuhnya. Januar ikut sedih melihat bayi malang itu.

"Bolehkah aku meminta alamat panti asuhanmu? Jika ada waktu luang, aku ingin berkunjung." Januar menatap Naima.

"Jalan Raya Arteri, nomor lima. Panti Asuhan Mutiara. Kamu bisa cari di google maps." Naima memberikan alamat pada Januar.

Januar mengangguk. Ia meraih sesuatu dari sakunya. "Ini kartu namaku. Jika kamu butuh bantuan, kamu bisa hubungi aku. Siapa tahu aku bisa membantu." Januar menyodorkan kartu nama pada Naima.

Naima menerima kartu nama Januar. "Terima kasih." Naima mengangguk.

"Aku pergi. Tetap semangat." Januar mengepal tangan dan mengangkatnya untuk memberi semangat pada Naima.

Naima tersenyum dan mengangguk. Januar berlalu dari hadapan Naima. Januar tak menyangka jika akan bertemu dengan gadis itu di rumah sakit. Januar mengingat alamat panti dan berjanji akan mengunjungi tempat itu.

***

Mana nih yang nunggu Januar?
Tinggal ketemu sama Lisa ya yang belum.
Okey. Aku atur waktu buat mereka ketemu.
Kalian setuju Januar sama siapa?
Januar - Emma?
Januar - Naima?
Januar -Lissa?

Apa Januar sama authornya? 🤣
*disleding readers

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro