SEPULUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januar mendaratkan tubuhnya pada sofa yang ada di ruang keluarga. Napas kasar keluar dari mulutnya. Begitu banyak beban yang menghimpit pikirannya.: kantor, kuliah, amanah, dan kerinduannya pada negara tempat ia dilahirkan. Semua seakan menumpuk dalam pikirannya. Tujuh tahun bukanlah waktu singkat untuk meninggalkan negara kelahirannya. Ya. Tujuh tahun Januar meninggalkan Indonesia. Rasa rindu seakan menggerogotinya setiap hari. Kini, ia bukan lagi laki-laki remaja, tapi dia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang matang dengan pemikiran. Berbagai pengalaman sudah ia dapati selama mengenyam pendidikan di negara Kanguru. Ia tinggal menunggu tugas akhirnya yang akan selesai tak lama lagi. Setelah tugasnya selesai, maka ia berencana untuk segera kembali ke Bali.

Mata Januar terpejam ketika mendengar langkah kaki menggema. Kakinya masih terlipat di atas sofa. Ia mengetahui jika Emma akan datang ke rumah untuk membawanya pergi. Kesalahan pertamanya pada Emma karena telah menuruti permintaannya sejak awal sehingga membuatnya terjerat dengan dunia fashion. Jika saja ia tak menuruti permintaan Emma, mungkin dia tak akan digandrungi banyak wanita sosialita di kota itu dan menjadi sorotan kamera. Emma memaksa Januar agar mau menjadi model produk pakaian yang dirancangnya. Ia merasa jika Januar cocok menjadi model pakaian yang akan menjadi trend di kalangan remaja saat ini. Dia sukses menjadikan Januar model dalam bisnisnya.

Emma mendekati Januar. Ia melipat tangan di dada. "Ari! Kamu ada pemotretan hari ini! Kenapa kamu tidak menjawab teleponku? Kamu harusnya datang ke kantorku untuk rapat mengenai produk baru yang akan kukeluarkan untuk bulan depan!" Emma terdengar kesal.

Januar masih terdiam. Ia berpura tidur. Langkah alas kaki lain pun terdengar mendekati Januar dan Emma.

"Emma. Kamu tahu jika Ari baru saja pulang setelah bertemu dengan orang penting. Biarkan dia istirahat. Dia pasti lelah. Dia pun ada pertemuan dengan Profesor Jean siang ini." Retno menegur putrinya.

"Tapi pemotretan nanti sore juga penting untuk bisnis Emma, Mama. Ari sudah janji akan melakukannya. Dia harus menepati janjinya." Emma membalas ucapan mamanya.

"Sejak kapan Ari tak pernah tepat janji padamu? Bukankah selama ini dia menepati setiap janjinya padamu walaupun kamu selalu memaksanya?" Retno menyudutkan putrinya.

Selama ini, Emma sudah berlebihan memaksa Januar untuk menuruti semua permintaannya termasuk menjadikan Januar bintang model.

Januar membuka mata, beranjak dari sofa, berjalan meninggalkan ruangan itu. Setiap kehadirannya di rumah itu suasa tak pernah tenang. Ada saja yang diributkan antara ibu dan anak mengenai Januar.

"Atur saja untuk pemotretan nanti sore. Aku akan datang setelah bertemu dengan Profesor Jean. Pastikan semuanya sudah siap." Januar bersuara sebelum memasuki ruang makan.

"Seharusnya kamu datang dalam rapat tadi, jadi kamu tahu siapa yang akan bekerja sama denganku. Dia dari Indonesia!" Emma menimpali.

Januar tak peduli. Ia sudah masuk ke dalam ruang makan untuk mengisi perutnya yang sudah meminta jatah. Retno menghampiri Januar yang sudah berada di ruang makan. Ia merasa jika Januar sudah berlebihan bertindak selama ini menuruti keinginan Emma. Januar memiliki kehidupan lain yang harus dijalani tanpa diikuti Emma.

"Aku akan siapkan semuanya! Kamu harus datang tepat waktu! Aku kirim lewat pesan alamatnya! Jangan terlambat, Januar! Ingat!" Emma berseru tanpa menghampiri Januar.

"Iya!" seru Januar singkat.

Retno duduk di samping Januar. Ia menatap pemuda yang ada di sampingnya saat ini. "Apa kamu akan terus menuruti Emma? Itu bukan bidangmu, Ari. Kamu punya pekerjaan penting lain selain menjadi model pakaian." Retno mengingatkan Januar.

Januar meraih salad sayur dan menuang di atas piring. "Ari tahu, Ma. Ari hanya membantu Emma sementara. Ada waktunya Ari akan menolak dan lebih memilih apa yang harus Ari utamakan." Januar menyuap makanannya ke dalam mulut.

"Apa kamu akan menetap di sini?" tanya Retno.

Januar menghentikan kunyahannya. Tatapannya terlempar ke arah Retno. Mereka saling pandang. Januar hanya tersenyum tipis.

"Kamu sudah sukses di sini. Semua jurusan kuliahmu sudah selesai. Kamu pun sudah memiliki pengalaman dengan bisnis. Apa kamu akan terus di sini untuk melanjutkan hidup dan tidak kembali ke Bali?" Retno melanjutkan.

"Akan ada waktu yang tepat untuk Ari pulang ke Bali, Ma. Ari hanya perlu menyiapkannya. Tapi bukan untuk saat-saat ini. Ari khawatir pada Emma." Januar melanjutkan makannya.

"Papa punya proyek baru di Bali. Dia sengaja melakukan itu untuk kamu. Mama dan Papa tidak bermaksud mengusrimu, Ri. Mama hanya merasa jika kamu berat dengan kami untuk ditinggalkan. Maka dari itu, Papa terpaksa melakukan semua ini. Mama tak ingin Emma semakin bergantung padamu. Mama sudah diskusi dengan Papa mengenai kamu. Mama sudah siapkan semuanya. Kamu harus pulang ke Bali. Biarkan Emma menjalani semuanya sendiri. Dia harus mandiri tanpa kamu. Mama harap kamu mengerti. Kamu masih bisa ke sini jika ada waktu luang. Rumah ini terbuka untukmu." Retno berterus terang.

Seketika Januar terdiam. Ia tak pernah memikirkan untuk pulang ke Bali dalam waktu dekat. Ia masih tak percaya mendengar ucapan Retno. Tujuh tahun, dia terpaksa meninggalkan orang-orang yang ia cintai dan memilih tinggal di Aussie. Apa yang akan ia jelaskan pada Emma jika dia akan kembali ke Bali dalam waktu dekat?

"Mama akan coba bujuk Emma untuk melepaskanmu pulang ke Bali. Kamu akan tetap jadi anak Mama, Ari. Walaupun hanya tujuh tahun, kamu sudah mengobati rasa rindu Mama pada sosok putra Mama. Pulanglah. Kamu pasti rindu dengan Bali." Retno mengusap punggung Januar.

Januar mengangguk. "Ari akan ajak Emma makan malam sambil berdiskusi dengannya mengenai masalah ini. Semoga dia mengerti."

"Dia pasti mengerti jika kamu yang menyampaikan."

Januar menggenggam tangan Retno. Tujuh tahun Mama mendidik Ari. Mama sudah seperti orang tua Ari. Mama mengajari Ari banyak hal. Bisnis, kuliah, kasih sayang, masak, sosialisasi, semua Mama ajarkan pada Ari. Berat hati ini untuk meninggalkan Mama, Emma, dan semua yang ada di sini. Ari sayang kalian semua. Ari janji akan balas semua kebaikan kalian. Janji.

***

Januar menatap Emma yang sedang sibuk berbicara dengan kru pemotretan. Konsentrasinya tak fokus karena memikirkan cara untuk membuat Emma mengerti. Januar tak punya pilihan selain mengatakan kebenaran yang akan ia sampaikan. Ia tahu, Emma akan berat melepaskannya untuk pulang ke Bali.

"Ari!"

Januar terkesiap ketika seruan Emma dan tepukan keras mendarat di lengannya. Ia seketika terjatuh dari bangku yang sedang didudukinya. Emma tertawa lepas melihat Januar terjerembab di atas lantai. Para kru pun menahan tawa melihat kejadian itu. Januar beranjak dibantu Emma.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Emma duduk di hadapan Januar.

"Tidak ada." Januar menatap pakaiannya. Ia baru sadar jika pakaian yang dikenakannya saat ini sangat kontras dengan kulitnya. Januar mengamati setiap lekuk tubuhnya.

"Kenapa?" tanya Emma.

"Ini yang akan jadi edisi bulan depan?" Januar bertanya balik.

"Iya." Emma menatap tak mengerti.

"Pikirkan lagi. Aku rasa ini tidak cocok." Januar melepas dasi warna biru yang mengikat lehernya. "Ambilkan jas biru muda." Januar mengintruksi salah satu karyawati Emma. Dia melepas jas kuning yang membalut tubuhnya. Januar mengenakan jas warna biru muda pemberian karyawati. Ia mengacak rambutnya yang sudah ditata rapi. Januar lebih menyukai style gayanya sendiri tanpa diatur. Gel pun ia oleskan pada rambut hitamnya. Perfect.

Emma tersenyum menatap Januar. Penampilan Januar selalu membuatnya kagum. Hal ini lah yang membuat Emma selalu semangat untuk menciptakan desain baru. Ia selalu membayangkan jika apa yang diciptakannya akan cocok untuk Januar kenakan dan akan menjadi trend di kalangan anak-anak muda jaman ini. Emma tidak sadar jika ia tak bisa lepas dari Januar. Jika saja tidak ada larangan untuk berhubungan dengan Ari, mungkin Emma akan melakukannya.

Januar sibuk bergaya di depan kamera. Emma membebaskan Januar bergaya dengan kenyamanan yang ia inginkan. Januar sudah terbiasa dengan sorotan blits. Tanpa arahan, semua akan terkesan natural dan tanpa paksaan. Januar sangat cocok dengan gaya naturalnya. Wajah tampan dan kesempurnaan tubuh Januar alasan tepat Emma menjadikannya model.

Satu jam telah berlalu. Januar dan Emma telah selesai melakukan pemotretan untuk katalog yang akan ia luncurkan pada bulan depan. Januar akan mendapatkan honor sesuai kesepakatan yang sudah mereka diskusikan, dan Emma siap mengirim honor Januar ke berbagai panti asuhan yang sudah diajukan Januar pada Emma sejak beberapa tahun yang lalu. Ya. Januar menyumbangkan semua uang pemberian Emma untuk panti asuhan yang ada di Bali dan tempatnya dulu dibesarkan. Tak ada keinginan pada dirinya untuk menerima uang dari Emma sepeserpun. Teringat pada panti asuhan membuat Januar ingin memberikan hasil jerih payahnya untuk anak-anak panti.

Januar menghampiri Emma setelah selesai merapikan penampilannya. "Aku ingin mengajakmu makan malam. Sudah lama kita tidak makan malam bersama karena kesibukan masing-masing. Bisa?" pintanya pada Emma.

Emma menatap jam tangannya. "Aku sibuk, Januar. Kita bisa makan malam bersama nanti. Aku ada rapat dadakan di kantor. Maaf." Emma tersenyum, meminta pengertian pada Januar.

Januar menarik tangan Emma sebelum gadis itu berlalu. "Kesempatan tidak akan pernah datang untuk kedua kali. Ketika kamu merasa menyesal, maka itu kerugian yang tak akan pernah bisa ditebus."

Emma membalikan tubuh. Ia menatap Januar. "Aku tidak akan pernah menyesal dengan apa yang sudah kulangkahkan. Bukankah di sampingku ada orang-orang yang menyayangiku? Lalu kenapa aku harus menyesal? Aku bahagia dengan pilihanku saat ini," balasnya dengan senyum kebanggaan.

Kepala Januar mengangguk lemah, tanpa kata. Kamu akan menyesal, Emma.

"Aku pergi. Mungkin aku akan pulang malam. Sampaikan pada Mama jika dia bertanya. See you." Emma meninggalkan Januar setelah mengatakan hal itu.

Kamu sibuk dengan kesuksesanmu sendiri sehingga kamu lupa dengan orang-orang yang mencintaimu perlahan akan meninggalkanmu. Maafkan aku, Emma. Aku belum bisa menjadi saudara yang baik untukmu. Semoga kamu selalu bahagia dan semakin sukses.

Januar beranjak dari kursi yang ia duduki. Diraihnya ponsel dari dalam saku dan mengetik pesan untuk seseorang. Langkahnya menuju pintu keluar.

To: Mama
Apa Mama ada di rumah?

Januar masuk ke dalam mobil setelah mengirim pesan pada Retno. Ia segera melajukan mobilnya menuju rumah. Balasan pesan pun tak ia dapati dari Retno.

***

Mobil yang Januar kendarai tiba di halaman rumah. Ia bergegas turun dan meraih ponselnya karena mendapati balasan pesan dari Retno.

From: Mama
Mama sedang ada urusan di luar. Mama sudah ingatkan pelayan untuk menyiapkan makan malam jika kamu pulang.

Januar menghela napas. Ia membuka pintu rumah dan berjalan masuk. Lagi, ia kembali mendapati rumah sepi. Januar mendaratkan tubuhnya pada sofa. Ia memejamkan mata. Terdengar langkah kaki menghampirinya.

"Apa Tuan ingin makan sekarang?" tanya pelayan.

"Siapkan saja," balasnya tanpa membuka mata.

Pelayan mengangguk dan berlalu pergi. Januar membuka mata. Ia menatapi langit-langit ruangan itu. Pandangannya beralih mengitari ruangan yang sekarang ia pijak. Akan ada banyak kenangan yang ia tinggalkan di rumah itu. Januar beranjak. Ia melangkahkan kaki menuju ruangan lain. Matanya menjelajah. Kesepian menemaninya setiap kembali ke rumah itu. Penghuni rumah justru sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka akan berkumpul jika ada masalah. Januar masuk ke dalam ruang makan. Ia duduk di kursi yang biasa ia duduki. Diraihnya gelas berisi jus jrruk dan menenggaknya sampai tandas. Ia membuka piring dan mengisinya dengan berbagai makanan. Makan malam ia nikmati sendiri tanpa pemilik rumah.

Deringan ponsel menggema di ruangan itu. Januar meraih ponselnya dari dalam saku celana. Ia tersenyum ketika mendapati nama Aisyah menghiasi layar ponselnya. Januar menggeser warna hijau.

"Iya, Bu." Januar menyapa.

"Kakak!"

Senyum menghiasi wajah Januat ketika mendengar suara Aida. "Iya, Sayang." Januar menimpali.

"Kapan Kakak pulang? Kata Ayah, Kakak mau pulang ke Bali? Iya, kan?" tanya gadis kecil itu.

"Aida mau jemput Kakak?" Januar beranjak dari kursi. Ia meninggalkan ruang makan dan mengakhiri makan malamnya.

"Iya. Aida mau jemput Kakak. Kakak cepat pulang, ya? Aida sudah kangen sama Kakak."

Januar kembali tersenyum. Ia masuk ke dalam kamarnya. "Iya. Nanti Kakak kabari kalau sudah sampai Bali. Berikan teleponnya pada Ibu."

"Iya, Ri." Aisyah bersuara.

"Ibu apa kabar?" tanya Januar.

Ia tenggelam dalam obrolan bersama keluarga angkatnya. Mereka adalah obat baginya di saat sepi melanda. Rasa rindu pada mereka semakin tak bisa dibendung. Walaupun mereka pernah mengunjunginya, tapi waktu sesaat tak banyak mengurangi rasa rindunya pada mereka. Ada banyak yang ingin Januar ceritakan pada mereka tentang kehidupannya di Aussie. Tentang Emma yang selalu manja padanya. Tentang Retno yang mengajarinya banyak hal. Tentang kampus yang selalu membuatnya pusing. Dan tentang rumah yang selalu menciptakan kesepian. Semua akan menjadi lembaran baru ketika kembali menginjakkan kaki di tanah Bali. Januar teringat dengan masa di SMA. Ia mengingat bagaimana perjalanan hidupnya selama 27 tahun ini. Ia tak menyangka jika akan menjadi orang sukses. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dulu dia dihina, disingkirkan, dan direndahkan. Kini, tak akan ada yang berani melakukan hal itu pada dirinya. Dia bukanlah Ari yang dulu. Kini Januar merubah segalanya.

Apa Bali masih sama seperti dulu? Apa teman-teman SMA-ku masih mengenaliku? Apa mereka masih akan menghinaku? Apa kabar Lisa? Apa dia masih sama seperti dulu? Aku rindu dengan mereka.

Bayangan gadis yang pernah ia tolong melintas dalam pikirannya. Januar tersenyum malu. Ia mengingat akan kelakuan konyolnya. Wajah gadis itu masih lekat dalam ingatannya. Rambut lurus, tubuh ramping, dan poni ratanya masih teringat jelas dalam pikirab. Januar menggelengkan kepala. Ia tak ingin semakin tenggelam memikirkan orang-orang yang pernah masuk dalam kehidupannya. Hanya tinggal menunggu waktu untuk memastikan semuanya. Hanya butuh waktu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro