36. Tentang Waktu Yang Hilang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perihal dia pergi dan tidak pernah kembali, aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Karena jika memang cinta sejati, tak akan menghilang hingga aku mati.

***

Awan yang bergumpal menghiasi langit biru terlihat indah. Tidak bisa dibayangkan jika hamparan biru itu tidak ditemani oleh kapas-kapas putih yang mengapung di sana. Yah, selalu ada awan di langit mana pun. Selalu ada matahari, bulan dan bintang juga di sana. Karena semua yang telah diciptakan, pasti tidak pernah sendirian.

Saat seorang hamba merasa kesepian, ditinggalkan dan terpojok sendirian, maka hal yang sebenarnya terjadi adalah bahwa ia telah lebih dahulu melupakan Tuhannya. Dia merasa ditinggalkan, padahal Tuhan selalu ada untuknya. Dia merasa kesepian, padahal Tuhan selalu siap mendengar keluh kesahnya. Dia merasa terpojok sendirian, padahal Tuhan tidak pernah melupakannya. Kesalahannya hanya satu, lupa akan Tuhan.

Yah, pada akhirnya manusia tetapnya makhluk yang selalu merasa benar. Menyalahkan takdir saat hidupnya berantakan. Bahkan menyalahkan Tuhan akan hidup yang telah ia jalani bertahun-tahun lamanya. Seolah tahun-tahun hebat dan istimewa itu hilang hanya karena satu masalah yang ia tidak mampu lalui.

Masalah. Suatu ujian yang selalu ada untuk pengujian. Semakin berat masalah, maka semakin banyak pelajaran hidup yang didapatnya. Hidup itu dikendalikan bukan mengendalikamu.

Lantas, sudah sejauh ini Nandara menempuh hidupnya apakah ia harus mengeluh dengan masalahnya? Jalani dan selesaikan dengan baik. Maka prosesnya akan mencapai sesuatu yang baik pula.

Lalu benak Nandara bertanya pada awan yang terlihat di luar besi terbang itu, kenapa awan dan pesawat tidak bisa menyatu?

"Nda, are you okay?"

Nandara tersentak dari lamunanya. Memandang wajah sang mama yang memasang wajah khawatir.

"Always be okay. Don't worry, Ma."

Nandara tersenyum menandakan bahwa ia baik-baik saja saat ini. Sagitta mencium puncak kepala putrinya lalu membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Ma, kenapa harus Malaysia?" tanya Nandara mengeluarkan unek-uneknya.

"Enggak, hanya saja Manda pengen kamu jalan-jalan sekaligus ketemu Zuma. Kamu enggak kangen?"

Nandara mengernyit. "Kak Zuma bukannya ada di Indonesia? Dia balik lagi?"

"Kamu tahu?" Sagitta tampak tidak percaya. Nandara mengangguk.

"Kita mau jalan-jalan? Bukannya mau berobat?"

"Yah, memang. Kamu butuh refreshing. Zuma bakal bantuin kamu. Pulang dari sana, kita bakal terapi sama Om Sean."

"Kak Zuma bisa apa?"

Nandara tidak tahu apakah pertemuannya dengan Zuma selama ini adalah bagian dari halusinasi atau nyata. Karena sungguh, ia masih memusingkan semua ini.

"Nda, Kak Zuma punya sesuatu yang mungkin Manda, Panda dan Oktan enggak tahu. Istrinya lagi sakit sekarang, enggak mungkin Zuma yang datangi kamu."

"Istri? Kak Rafflesia?"

Sagitta mengerutkan keningnya, lalu mengangguk. Ia tampak terdiam sesaat, seolah sudah yakin bahwa hal ini akan terjadi.

"Kamu bahkan tahu hal itu. Manda yakin, pemikiran kamu akan berubah setelah ketemu Zuma."

"Ma!"

Nandara menatap mamanya tidak percaya.

"Apa Manda enggak percaya sama Nanda?"

"Manda tahu, kamu masih terjebak sama sosok-sosok lain kamu. Manda tahu, kamu enggak mau mereka pergi, terutama Xilon. Kamu enggak pernah berniat sembuh. Gitu, kan?"

Nandara menghela napas pasrah. Ia menundukkan wajahnya. Sedikit merasa bersalah.

Ya, inilah masalahnya dari awal. Nandara masih tidak percaya pada apa pun yang telah dikatakan oleh Manda dan Panda. Ia menganggap mereka berbohong hanya untuk menyembunyikan Xilon darinya. Namun, tidak hanya Xilon, bahkan sosok lain yang dikatakan sebagai sosok ciptaannya pun tidak pernah terlihat. Jadi, apa ini kenyataan yang sebenarnya?

Nandara sendiri sulit membedakan mana kenyataan dan mana halusinasinya. Karena selama ini yang ia rasakan itu sangat nyata.

"Ma, kalau Xilon, si kembar, Mauryn, Madam adalah halusinasi. Apa keluarga Azadirachta termasuk Kak Zea dan Om Sega juga halusinasi?"

Sagitta terdiam. Ia menatap lekat netra putrinya. "Nda, Manda enggak bisa jawab itu. Jumpai Zuma, dan yakini hati kamu untuk sembuh. Maka Manda akan jawab pertanyaan kamu."

Jadi, sudah sejauh mana ia berhalusinasi?

***

Ketimbang memikirkan hal aneh itu, Nandara memilih untuk tidur. Memejamkan mata hingga pesawat yang ia tumpangi tiba di tempat tujuan.

Malaysia. Nandara tidak tahu rahasia apa yang harus ia temukan lagi. Hal-hal fantastis tiba-tiba berubah. Padahal ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya. Terutama kejiwaannya.

Bukannya menemukan jawaban, otak Nandara malah memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Apa dirinya sebenarnya mengidap skizrofenia alias gila?

Tidak. Rasanya sangat mustahil. Ia masih waras. Bahkan hal-hal yang mustahil di sekitarnya terasa benar-benar nyata. Namun, anehnya dalam sekejap berubah karena ucapan Oktan. Apa yang telah diperbuat dunia padanya?

Sebuah sentuhan lembut membuat Nandara membuka matanya perlahan. Ia malah mendapati sesosok lelaki yang terus muncul di benaknya. Bukannya tadi ia bersama sang mama?

Nandara hendak mengatakan sesuatu, tetapi lelaki itu terlebih dahulu meletakkan telunjuknya di bibir Nandara. Mata mereka saling menatap satu sama lain.

Gadis itu ingin menangis, tetapi ia mencoba menahannya. Tidak ingin terlihat lemah di depan lelaki itu.

"Menangislah, jika itu memang perlu."

Lalu, di detik selanjutnya terdengar isakan. Nandara melepaskan seluruh keluh kesahnya lewat tangisan. Membiarkan buliran air mata itu membasahi pipi bakpaonya.

"Ra ...."

"Tolong aku. Jangan biarkan aku berhalusinasi lagi. Kalau emang kamu enggak nyata, tolong segera pergi. Tapi, kalau kamu nyata, tolong jangan pernah pergi," isak Nandara.

"Kamu beneran pengen aku pergi?"

Nandara memalingkan wajahnya ke luar jendela. Ia tidak sanggup memandang wajah lelaki yang duduk di sebelahnya itu. Lelaki yang telah menjungkarbalikkan dunianya. Membuatnya gila dan waras secara bersamaan.

"Ra ...."

Nandara kembali memandang lelaki itu.

"Kak Xilon, apa yang udah terjadi sama aku? Apa yang udah Kakak lakuin? Apa? Kenapa aku sampai kayak gini? Tolong kasih aku penjelasan!" Kesabaran Nandara telah habis. Tergantikan dengan rasa kecewa dan putus asa. Pemberontakannya tergolong wajar untuk apa yang telah ia alami.

Ya, lelaki itu adalah Xilon. Nandara memukul dada lelaki itu dengan kuat. Xilon memasang wajah sendu. Sungguh, ia tidak ingin melihat gadisya terluka seperti ini. Namun, hal yang sudah diawali, maka harus segera diakhiri.

"Ra ... apapun yang udah terjadi sama kamu, maka tolonglah tetap bertahan."

"Setelah apa yang terjadi sama aku? Aku bahkan enggak tahu kamu nyata atau enggak!" Nandara memandang Xilon penuh amarah.

"Nda, semuanya akan baik-baik aja. Percaya sama aku. Jadi, tolong cintai kamu sendiri. Masalah yang datang harus kamu hadapi, bukan malah lari. Karena sejauh apa pun kamu melangkah, masalah itu akan tetap mengikutimu."

"Dan beri aku jawaban atas semuanya, Kak!" Nandara bahkan mengerang frustrasi.

Xilon mencengkram kedua bahu Nandara. "Tenang, Ra. Sekarang lihat mata aku. Lihat mata aku, Ra!"

Nandara sedikit kaget dengan bentakan Xilon. Sesuai ucapan Xilon, ia menatap mata Xilon. Tidak ada lagi pemberontakan.

"Cintai kamu sendiri, Ra. Dari awal ini adalah masalahnya. Aku ada atau tidak ada, semuanya tergantung kamu. Sudah saatnya kamu kembali, Ra. Tolong sembuh."

Nada lirih Xilon membuat hati Nandara merasa sakit. Seolah ada pedang tumpul yang ditusuk ke jantungnya lalu ditarik perlahan. Semenyakitkan itu.

"Kalau aku sembuh, apa yang terjadi? Kamu akan menghilang?" tanya Nandara terbata-bata.

"Seperti aturan awalnya, Ra. Kamu yang mati atau aku. Bunuh aku, Ra. Bunuh aku dan karakter kamu yang lain. Selamanya terjebak dalam halusinasi enggak baik, kan?"

"Ka-kamu mati?" Nandara berharap ia salah dengar.

"Apa mulai terjawab, Ra? Oke, sebagai perkenalan, aku Myroxilon Azadirachta. Seorang karakter yang dibuat Nandara Jasmine Granitama. Dengan ini, aku rela dibunuh oleh Nandara asal dia hidup dengan normal."

"Kak Xilon ...."

***

"Nda ... Nda ... Nda ...."

Nandara tersentak. Seolah bangun dari tidurnya. Sosok Xilon menghilang, digantikan dengan wajah ayu sang mama.

"Ma ...."

"Nda ... kamu kenapa, Sayang? Mimpi buruk?"

Nandara mengernyit. Hal yang terasa nyata tadi adalah mimpi?

"Manda ... apa yang bisa Kak Zuma bantu? Tanpa dia, aku udah seyakin ini untuk sembuh."

Nandara tidak tahu apa yang ia katakan. Nyaris tak terpikirkan sama sekali. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk seyakin ini.

"Kamu beneran?" Mamanya tampak kaget. Lalu senyuman semringah terpancar dari wajahnya.

"Bener, Ma."

"Manda seneng, Nda."

"Seseneng itu? Manda tahu Nandara enggak pernah nolak, kan?"

"Enggak, Manda hanya takut kamu akan berubah pikiran."

"Kenapa?"

Kali ini ada apa lagi?

"Sebenarnya, ada seseorang yang perlu kamu temui di Malaysia. Dan hanya Zuma yang bisa ngantarin kamu ke 'dia'. Manda berharap, kamu tidak akan berubah pikiran. Percaya sama Manda dan ingatlah, kamu adalah kamu. Tak akan pernah jadi orang lain. Jangan pernah menunjukkan kebencianmu terhadap orang lain, terutama ... pada diri kamu sendiri."

Ketika mereka menginginkanku untuk mencintai diriku sendiri, maka apa ada alasan kenapa aku harus membenci diriku sendiri? Lalu siapa 'dia'? Apa hubungannya dengan kebencian?

***
Note:
Maaf baru update. Sejauh ini bagaimana? Apa kalian udah mendapat jawabannya? Tentang siapa Xilon? Tentang rahasia Xilon?

Btw, aku udah bikin grup WA khusus readers. Silakan liat di bio. Siapa tau mau join hehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro