Dua Pulh Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope you ol, Gaesss...

**

Hara baru keluar dari pintu IGD ketika Andrew tiba-tiba muncul di depannya. Dia tidak terlalu terkejut lagi karena memang sudah mengantisipasi kehadirannya sejak beberapa hari terakhir. Dia mengira ibu Andrew akan segera memberitahu Andrew tentang Pelita setelah pertemuan mereka di mal. Ternyata tidak, karena laki-laki itu butuh waktu hampir satu minggu setelah pertemuan itu untuk datang menemuinya.

"Kita harus bicara." Raut Andrew tidak terbaca. Namun, gesturnya tegang. Sikap tubuh yang sangat jarang ditampilkan selama Hara mengenalnya dulu.

"Ya, aku tahu." Hara tidak menghindar. Semakin cepat dibicarakan, semakin cepat pula masalah Pelita selesai, sehingga dia bisa hidup tenang. "Kita bertemu di kafe dekat sini saja." Dia menyebutkan tempat dia biasa minum kopi dan mengudap roti isi. Dia dan Andrew juga pernah bertemu di sana.

"Kalau kamu nggak bawa kendaraan, kita pergi sama-sama saja," kata Andrew. "Aku nggak mau duduk lama-lama di sana dan nungguin kamu yang ternyata nggak muncul."

"Baiklah." Hara mengikuti Andrew menuju tempat parkir.

Perjalanan mereka ke kafe itu dilalui dalam diam. Tidak ada yang membuka percakapan. Hara jelas tidak berniat memulai. Dia tahu pembicaraan dengan Andrew kali ini akan alot, dan tidak mau memulainya dari mobil.

Saat tiba di kafe itu, Hara mengambil tempat di sudut yang jauh dari pintu masuk. Dia tidak mau menjadi perhatian banyak orang ketika nada suaranya dan Andrew meningkat.

"Kita punya anak," kata Andrew setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi. "Dan kamu sama sekali nggak pernah memberitahu aku kalau kamu hamil. Dulu kamu menghilang begitu saja. Teganya kamu melakukan itu padaku!"

Hara bersandar di kursinya. Dia mencoba terlihat tenang dan bersedekap sambil menatap Andrew. "Jangan berani-berani menyalahkanku. Kamu yang dulu bilang nggak mau punya anak waktu aku tanya soal itu."

"Aku nggak tahu kamu nanya soal itu karena kamu hamil, Hara!" Andrew tampak geram. "Jawaban untuk pertanyaan itu bisa berbeda tergantung situasinya. Aku memang terkesan nakal dan nggak pernah serius, tapi aku nggak mungkin biarin kamu begitu saja kalau tahu kamu hamil."

Kali ini Hara melepas pandangan. Dia memusatkan perhatian pada bunga kecil yang ada di meja mereka. "Bagaimana aku mau bilang kalau reaksi kamu kayak gitu dulu?" Dia kembali mengangkat kepala untuk menatap Andrew. "Mungkin ibu kamu nggak pernah cerita, tapi dia menemui aku dan bilang kalau aku bukan orang yang tepat untuk kamu. Dia akan meyakinkan kalau aku nggak akan mendapatkan kamu, walaupun dengan perangkap kehamilan sekalipun. Menurut kamu apa yang harus kulakukan? Mengemis padamu untuk memilih aku dibandingkan ibu kamu?"

"Tetap saja kamu nggak bisa menyembunyikan hal sebesar itu dari aku, Hara. Gimanapun brengseknya aku, aku berhak tahu kalau ternyata aku sudah jadi ayah seseorang."

"Kamu nggak berhak!" Hara tertawa getir. "Dia anakku. Kedatanganmu yang tiba-tiba kayak gini nggak menjadikan kamu lantas bisa merasa punya hak. Kamu nggak pernah ada. Kamu—"

"Aku nggak ada karena kamu yang memutuskan kalau aku nggak berhak tahu! Kamu mengambil keputusan sendiri untuk sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama." Andrew mencodongkan tubuh mendekati Hara. "Aku melakukan kesalahan padamu. Itu benar. Apa yang ibuku lakukan padamu juga keliru. Aku mengakui itu semua. Tapi aku berhak tahu, Hara. Kamu nggak tahu gimana rasanya tiba-tiba diberitahu sudah menjadi ayah dari anak yang sudah besar. Kamu menghilangkan kesempatanku untuk melihat anakku tumbuh. Aku berutang banyak hal padamu. Itu benar. Tapi kamu juga punya utang yang nggak bisa kamu bayar padaku karena sudah menyembunyikan anakku."

Hara kembali membuang padangan. Dalam hati dia mengakui ada kebenaran dalam kalimat Andrew. Laki-laki itu memang berhak tahu, tapi bagaimana dia bisa memberitahunya setelah kejadian di masa lalu? Pernyataan Andrew tentang keengganannya punya anak saat mereka masih bersama dulu, ditambah ultimatum ibunya adalah alasan paling tepat untuk melarikan diri. Di mana harga dirinya kalau dia terus tinggal? Ibu Andrew akan menganggapnya sebagai pengemis selama sisa hidupnya. Hara tidak mau hidup seperti itu.

"Hara, aku minta waktu untuk bicara sama kamu bukan untuk mengajak kamu bertengkar dan mengungkit siapa yang paling salah di antara kita. Aku minta maaf sudah marah kayak tadi. Aku hanya merasa perlu mengungkapkan kekecewaanku. Aku tahu hidup kamu pasti sulit dengan menjadi orangtua tunggal tanpa menikah. Itu bukan keputusan gampang," Andrew memberi jeda sejenak, seolah memberi Hara waktu untuk menyerap ucapannya. "Aku mau bertemu dia. Aku ingin melihat anakku."

Hara menggeleng. "Tidak. Kamu nggak akan bertemu dia."

"Aku tahu tempat kalian tinggal. Nggak akan sulit untuk bertemu dia. Tapi aku nggak mau melakukannya seperti itu. Aku ingin bertemu dia baik-baik melalui kamu, karena aku menghormati kamu."

Hara mengusap pipinya. Seharusnya dia tidak menangis. Dia sudah memantapkan hati untuk menghadapi Andrew dan keluarganya tanpa air mata atau merasa ketakutan. Tapi lihat bagaimana jadinya sekarang? Dia tetap saja emosional.

"Bagaimana ibumu tahu kalau Pelita ada hubungannya denganmu?" Hara mengelak untuk menjawab permintaan Andrew. Dia mengalihkan percakapan pada topik lain, meskipun dia tahu itu hanya akan berhasil sementara.

"Jadi namanya Pelita?" Ada senyum yang mencuat dari sudut bibir Andrew saat menyebut nama itu. "Ibu bilang Pelita sangat mirip kakak perempuanku waktu kecil. Aku pernah cerita soal dia. Kakakku meninggal karena malaria saat bertugas di Papua. Jadi ibuku langsung tahu saat melihat Pelita. Dia juga bisa mengira dari umur Pelita."

Hara juga sudah mendengar tentang kakak Andrew dari ibu mereka. Dia memilih tidak menanggapi.

"Hara, aku mohon, izinkan aku bertemu dengan Pelita," ulang Andrew memanfaatkan jeda yang tercipta. "Aku tahu kamu nggak menginginkan apa pun dari aku, tetapi aku bersedia melakukan semua yang kamu mau aku lakukan, atau memberikan apa pun, asal kamu mengizinkan aku bertemu dengan dia."

"Kamu dan ibumu menginginkan Pelita," tuduh Hara, mengungkapkan apa yang sejak awal mengganggu pikirannya. "Kalian tidak akan mendapatkannya. Pelita akan selamanya bersamaku."

"Aku ingin bertemu Pelita, bukan merebutnya dari kamu," sambut Andrew. "Aku tahu diri. Sudah kubilang kalau aku tidak menemuimu untuk bertengkar soal ini. Aku hanya minta kesempatan untuk menemui anakku. Tolonglah."

"Ibu kamu pasti nggak berpikir seperti itu!" Hara terus mengelak untuk menjawab dan memberi keputusan.

"Apa pun yang dia pikirkan, bukan dia yang akan mengambil keputusan. Masalah ini muncul karena dia yang memaksa untuk memisahkan kita, kan?" Andrew mengangguk dan melanjutkan sebelum Hara sempat bicara. "Iya, dia akhirnya mengakui bahwa dia memang memintamu menjauhiku seperti yang kamu bilang tadi. Tapi dia juga nggak tahu kamu hamil."

"Itu bukan alasan untuk menghinaku!" sergah Hara. "Aku memang melakukan kesalahan, tapi aku nggak menggodamu untuk membuatmu terikat denganku." Hara masih merasakan kegetiran saat teringat bagaimana kata-kata dan ekspresi ibu Andrew yang melecehkan saat memintanya menjauhi Andrew.

"Aku tahu. Aku yang menggodamu. Aku mengerti perasaanmu. Permintaan maaf saja nggak akan cukup untuk memperbaiki semuanya. Aku ada di sini bukan untuk mendebatmu. Aku hanya meminta belas kasihanmu dan membiarkan aku bertemu Pelita. Tolonglah, aku mohon."

Arah percakapan ini melenceng daripada apa yang semula benak Hara simulasikan dalam benak. Dia mengira harus bersitegang dengan Andrew, bukannya melihat laki-laki itu mengemis belas kasihannya untuk bertemu Pelita. Meskipun enggan mengakui, Hara merasa sedikit goyah.

"Kalau aku mengizinkan kamu bertemu Pelita," kata Hata menimbang-nimbang. "Aku juga harus menjelaskan siapa kamu kepadanya. Pelita pasti akan menanyakannya." Dia mengarahkan telapak tangan ke depan Andrew untuk menahan laki-laki itu menjawab. "Tidak, kamu nggak bisa tiba-tiba muncul dan menjadi ayahnya. Jangan coba-coba memikirkan kemungkinan itu!"

"Kenapa?" protes Andrew. "Jangan bilang kamu mengatakan kalau aku sudah mati!"

Hara tidak menjawab.

"Tunangan kamu tahu kalau aku ayah Pelita? Dia yang memintamu untuk tidak mempertemukan kami? Bagaimana hubungannya dengan Pelita? Bisa jadi dia hanya menginginkan kamu, bukan Pelita. Tidak semua laki-laki ikhlas menerima anak calon istrinya. Bisa saja dia melakukannya hanya untuk mendapatkan kamu."

"Robby nggak seperti itu!" Hara tidak menyangka hal itu yang akan muncul dalam pikiran Andrew saat mereka akhirnya bicara soal Robby. "Dia sangat perhatian sama Pelita." Itu benar. Robby tidak peduli pada Hara, tetapi laki-laki itu akan melakukan semua yang Pelita minta darinya.

"Kamu belum telanjur menikah dengannya, Hara. Kamu masih bisa membatalkan pertunangan. Aku tahu kalau aku sudah bilang akan melepasmu. Tapi itu sebelum aku tahu tentang Pelita. Kita bisa bahagia bersama. Bertiga. Tuhan mempertemukan kita seperti sekarang pasti ada alasannya."

Hara menggeleng kuat-kuat. "Aku nggak akan kembali sama kamu!"

"Kenapa tidak? Sudah kubilang pertunangan itu bisa dibatalkan. Kalau dia meminta kompensasi atau apa pun, aku bisa membayarnya."

Hara berdiri. "Kita nggak akan melanjutkan percakapan ini. Kamu mulai melenceng dari topik. Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang kalau kamu akan melakukan apa pun yang aku mau asal mempertemukanmu dengan Pelita? Kelihatannya jadi nggak kayak gitu. Kamu sekarang sedang berusaha memaksakan pendapatmu. Kamu benar-benar anak ibumu!"

"Hara, tenang dulu." Andrew ikut berdiri dan berusaha meminta Hara duduk kembali. "Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud seperti itu. Hanya saja, aku melihat situasinya secara berbeda. Kamu perempuan yang aku cintai, dan kita punya anak bersama. Sulit untuk nggak memikirkan kemungkinan itu karena kamu toh belum telanjur terikat pada orang lain."

"Aku sudah bertunangan!"

"Bertunangan tidak sama dengan menikah, Hara," balas Andrew tidak mau kalah.

Hara mendesah sambil menatap laki-laki keras kepala di depannya. "Kamu pernah punya kesempatan. Dulu. Itu cukup. Aku nggak bisa memberikan kesempatan yang lain sekarang."

"Kenapa tidak?"

"Karena keadaan sudah berbeda." Hara melanjutkan dengan tegas. "Karena perasaanku sudah berubah. Aku tidak mencintaimu lagi. Itu sebabnya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro